Kamis, 30 Oktober 2014

Seberapa Bersih Makanan (Jajanan) Kita

Seberapa Bersih Makanan (Jajanan) Kita  

Seorang kenalanku, 'urang awak' mengeritik dengan rasa..... maaf, 'jijik', rumah makan Padang. Apalagi, katanya, dengan disediakannya tusuk gigi di meja makan. Orang-orang yang baru selesai makan, sambil berbincang-bincang, mencongkel gigi sementara di hadapan mereka masih bertabur lauk-pauk yang tidak dimakan, yang nantinya akan dihidangkan lagi kepada pengunjung berikutnya. Bagaimana kalau sesuatu yang menyelip di gigi yang dicongkel itu, terhambur ke piring-piring berisi lauk itu tadi? Begitu katanya.

Kalau mau ikut-ikutan meragukan hidangan di rumah makan itu, memang mungkin pula terjadi yang dikhawatirkan oleh beliau ini. Menurutnya, untuk menghindarkan kekhawatiran itu, seharusnya RM Padang menghidangkan lauk-lauk yang dipesan saja. Sebuah usulan yang seharusnya cukup masuk di akal. Sebenarnya, beberapa puluh tahun yang lalu, ada  restoran, Salero Bagindo namanya, yang mencoba pelayanan seperti ini. Pelayan restoran datang menghampiri tamu dengan sebuah 'gerobak' penuh dengan aneka lauk, dan menanyai tamu, makanan mana saja yang ingin dipesan. Lalu menghidangkan sesuai pesanan tersebut. Entah kenapa restoran tersebut bubar, meski sudah sempat punya beberapa cabang di seantero Jakarta. Cara pelayanan yang sama, menghidangkan hanya yang dipesan, aku temukan di sebuah restoran Padang di Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu.

Cerita lain, kami mampir membeli jajanan di pinggir jalan, martabak. Martabak ini ada yang manis dan ada yang asin. Martabak-martabak itu dibuatkan sesuai pesanan kita. Kita harus menunggu. Apa lagi kalau kebetulan yang memesannya banyak. Aku memperhatikan si tukang martabak itu bekerja. Udara panas dari api tungku martabaknya, menyebabkan keringat si tukang martabak mengalir. Tiap sebentar keringatnya itu dilapnya dengan handuk kecil yang sudah tidak jelas warnanya. Lalu dia melanjutkan pekerjaannya, menyiapkan kulit martabak (asin) dari adonan sebesar tinju anak kecil yang diputar-putarkannya ke udara sampai menjadi sebuah lembaran yang langsung diletakkan di wajan rata sebelum diisi dengan campuran daging, telor dan irisan bawang. Tangannya begitu cekatan mengerjakan semua itu. Sekali-sekali dia juga harus menyeka keringatnya. 

Koki yang berkeringat ketika menyiapkan masakan tidak terbatas pada tukang martabak saja. Hal yang sama bisa dialami oleh mereka yang bekerja dihadapan tungku panas lainnya, seperti koki masakan Cina, seafood, nasi goreng, mie goreng dan sebagainya. 

Pada kesempatan lain, aku melihat seorang penjaja gudeg menyiapkan pesanan pembelinya, di Jogya sana. Beberapa macam sayuran yang sudah dimasak itu diambil dari bakulnya dengan tangan telanjang untuk dibungkus dengan daun pisang dan kertas. Tangan yang sama menerima uang pembayaran serta pengembaliannya, sebelum dia melayani pembeli berikutnya, dengan tangan yang sama tanpa perlu dicuci dulu.

Masih banyak contoh-contoh lain, yang kalau dipikir-pikir akan menjadikan kita tidak berkeinginan lagi untuk jajan atau makan di luar. Jadi, kalau ingin menikmati jajanan atau makanan mana saja, lihat sajalah penampilan akhirnya. Tidak perlu dibayangkan proses pembuatan, atau cara penyajiannya. Karena yang benar-benar bersih mungkin akan sulit kita jumpai.

****

                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar