Rabu, 18 September 2013

Sia-sia Hutang Tumbuh

Sia-sia Hutang Tumbuh

Terheran-heran kita melihat tingginya animo sementara orang untuk jadi pemimpin di negeri ini. Untuk jadi presiden. Entah berapa orang saat ini yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menduduki kursi Indonesia-1. Begitu pula untuk jadi gubernur, untuk jadi bupati, jadi walikota. Bahkan untuk jadi lurah dan wali nagari. Mungkin karena sangat nyamannya hidup ketika jadi pemimpin pemerintahan.

Dalam pemilihan bupati dan walikota di beberapa daerah di Sumatera Barat beberapa pekan yang lalu ada tujuh sampai delapan pasang calon yang maju. Ada yang diusung oleh partai-partai dan ada pula yang maju sebagai perorangan. Setiap mereka berlomba-lomba memperagakan 'kelebihannya'.  Pamflet yang dicetak beribu-ribu lembar ditempel di mana-mana dan dibagi-bagikan. Begitu pula baliho-baliho serta lembaran spanduk yang dipajang di tiap sudut. Lengkap dengan foto besar sambil tersenyum sumringah. Dihiasi dengan titel dan gelar kebesaran. Sudah di bibir rasanya tepi cawan.

Tujuh pasang yang bertanding. Yang masing-masing merasa bahwa dirinya sudah sangat pantas untuk memegang tampuk kuasa di pemerintahan. Maju jadi calon petinggi negeri seperti itu pastilah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukanlah murah ongkos membuat pamflet. Membuat spanduk. Apalagi untuk berkampanye. Dan berkampanye itu tidak pula mungkin dikerjakan bersendirian. Harus ada tim sukses yang membantu menganjungkan. Di beberapa tempat perlu dibuat pos komando. 

Jelas sangat banyak biaya yang harus dikeluarkan. Bagi yang diusung partai, biasanya adalah dapat sumbangan biaya kampanye dari partai. Tapi tentu tidak seratus peratus. 'Awak' sendiri jelas harus berturun. Tidak kayu jenjang dikeping. Tidak emas bungkal diasah. Pokoknya usaha harus maksimal untuk menang.

Namun apa boleh buat, pemenang hanya satu pasang. Kalau ada tujuh pasang calon yang bertanding, yang enam adalah pecundang. Padahal pokok yang habis oleh masing-masing calon sudah sama-sama segerobak tolak. Sudah sama-sama berhabis-habis. Menurut kabar-kabar angin, untuk bertanding menuju jabatan bupati atau walikota, perlu dana berMM. Untuk jadi gubernur jauh lebih besar lagi. Apalagi untuk jadi orang nomor satu di republik ini. Berapa tepatnya tidaklah kita tahu. Tapi kalau melihat biaya yang dikeluarkan untuk segala urusan tetek bengek, ditambah biaya kampanye dari satu ke lain tempat dalam kabupaten, biaya transport anggota tim sukses, kita jadi faham bahwa modal yang diperlukan memang cukup besar. 

Bagi yang diusung partai, katakanlah separuh biaya kampanye ditalangi partai (karena partai nanti juga akan ikut memperoleh kebajikan (baca: untung!) seandainya calon yang mereka usung menang). Separuh dari berMM masih tetap berMM juga. Kalau itu uang pribadi?  

Kalau kita amati dengan sedikit teliti, kelihatan bahwa para calon petinggi itu sama-sama menggunakan prinsip orang berdagang. Dimodali dahulu untuk menjemput untung. Untung? Dari mana? 

Bagi yang berhasil seolah-olah terbuka jalan untuk mendapat duit. Bukan sedikit uang anggaran belanja negeri dan semua keluar melalui tangan kepala daerah. Sama tahu pulalah kita kalau uang itu dapat diatur-atur. Namun celakanya, ujung-ujungnya kalau tidak pandai-pandai, terpaksa berurusan dengan KPK. Ditangkap, diadili dan dimasukkan ke kandang situmbin. Sudah banyak contoh.

Kata orang tua-tua dahulu, sia-sia hutang tumbuh. Sangat sia-sia kalau niat untuk jadi kepala daerah sejak semula adalah untuk mencari untung. Sia-sia berhabis pokok. Tidak terpilih, sudah terbuang hangus biaya kampanye. Kalau terpilih, lalu tidak pandai 'bermain' sehingga sampai ditangkap KPK, merana pula akibatnya.

*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar