Jumat, 25 Januari 2013

Tukang Pangua

Tukang Pangua

Untuk menerangkan kata-kata bahasa Minang yang satu ini kita harus mulai dengan buah kelapa. Ya, kelapa. Kelapa bumbu dapur untuk berbagai jenis makanan, untuk membuat gulai, untuk membuat urap, untuk dicampur dengan ketan, untuk membuat kalamai alias dodol, membuat ajik atau wajik dan masih banyak lagi. Kelapa itu harus diparut untuk diambil santannya atau digunakan parutannya. Untuk memarut kelapa, sebelum ada mesin pemarut kelapa seperti sekarang, orang Minangkabau menggunakan alat yang namanya pangua

Bagian untuk memarut pangua tersebut terbuat dari besi dengan ujung seperti kipas (melengkung) dengan ukuran sekitar tiga jari tengah tangan. Bagian luar besi berbentuk kipas ini bergerigi seperti mata gergaji dan di belakangnya ada tangkai dari besi yang bengkok bagaikan leher unta. Tangkai ini dipakukan ke sebuah bangku-bangku kayu tempat duduk. Orang memangur (mamangua karambia) duduk di bangku kayu kecil itu sambil mengais-ngaiskan kelapa yang masih ada tempurungnya ke mata pangur. Dengan gerakan mendorong bagian daging kelapa turun naik, daging kelapa akan berjatuhan dalam bentuk serpihan. Panjang juga cerita untuk menjelaskan bentuk dan cara bekerja pangua ini.

Namun entah kenapa, istilah tukang pangua dilekatkan kepada orang yang suka mengambil untung secara tidak wajar dari orang lain. Baik dari yang memangua kecil-kecilan atau yang memangua agak besar-besaran. Yang kecil-kecilan seumpama tukang parkir di Pasa Ateh Bukit Tinggi yang dengan seenaknya meminta ongkos parkir lima ribu rupiah. Kalau ditanya karcis parkir mendelik-delik matanya.

Atau ketika kita makan di sebuah lepau di bagian lain Bukit Tinggi juga. Lepau dengan samba buruak-buruak istilahnya. Ada ikan bilih, ikan nila digoreng, telor dadar yang merupakan kekhususannya. Enak memang makan di sana. Datang giliran membayar, kita makan berempat dengan samba buruak-buruak itu, tidak ada perincian tapi dikatakannya seratus sekian ribu rupiah. Yang membayar segan pula mau menyelidik benar rincian harga makanan. Baru setelah berjalan dari lepau dicoba-coba mereka-reka, memperkirakan. Sepertinya seporsi telor dadar dihargai lebih dari lima belas ribu rupiah. Jelas kurang wajar rasanya. Artinya....... kita sudah kena pangua.

Bukan pedagang-pedagang saja yang pandai memangur. Badan-badan resmi di pemerintahpun seringkali bisa dibuktikan telah melakukan pangua. Perhatikanlah ketika kita akan berangkat di bandara. Dikenai pajak bandara. Yang bepergian di dalam negeri dipajaki 40.000 rupiah. Yang keluar negeri 100.000 rupiah. Pakai rumus apa ini kalau bukan rumus pangua? Orang sama-sama menompang lewat di bandara dikenai pajak yang berbeda.

Contoh lain lagi, penggunaan jalan tol. Jalannya masih yang itu juga. Bahkan mungkin kondisinya sudah lebih buruk karena jalan yang tidak diperbaiki. Bukan hanya itu, jalan itu tidak lagi bebas hambatan tapi berlimpah ruah hambatannya. Jarak 20 kilometer perlu waktu satu jam untuk menyeberanginya. Namun biaya tol selalu saja dinaikkan. Istilahnya disesuaikan. Inilah contoh lain dari ilmu pangua. Pokoknya asalkan  mata pangua dapat makan. Toh orang tidak akan protes. Kalau maupun protespun sudah terlambat, biasanya. 

*****                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar