Minggu, 26 Juni 2011

Kali Ini Cerita Makan

Kali Ini Cerita Makan 

Kali ini cerita makan di Bandung. Ya, Bandung waktu aku minggu kemarin menginap selama tiga malam. Bandung yang sekarang punya hotel di mana-mana dan punya tempat makan di mana-mana, berserak-serak dari utara ke selatan dari barat ke timur. Segala macam makanan dan masakan, tumpah ruah. Kan penikmat Bandung tidak putus-putus datang dari Jakarta, apalagi di akhir pekan. 

Dan kita makan keluar bersama-sama si Bungsu. Hari pertama kami makan di Setia Budi atas. Si Bungsu yang merekomendasi. Katanya dia makan enak betul disana dan suasananya artistik. Masakan Cianjuran, begitu judulnya. Terbayang pepes ikan mas dan sebangsanya. Waaw. Mari kita coba. Ada satu meja panjang diisi penuh rombongan yang sepertinya sedang arisan. Lalu ada meja lain diisi oleh empat orang. Dan kami. Suasananya artistik? Mungkin. Kami pesanlah ikan (yang ehem, ternyata agak mahal, tapi kalau rasanya enak, kenapa tidak) gurame goreng. Ayam goreng dan lalap mentah yang dibumbui (mungkin maksudnya seperti salad). Rasa????? Aduh..... Ternyata hanya 5.5. Itu sudah untuk keseluruhan. Ayam gorengnya punya nilai lebih rendah lagi. Beneran. 

Besoknya di hari kedua. Kami dibawa si Bungsu ke warung Sunda lagi. Namanya kita singkat SMR sajalah. Disini kita boleh memilih bermacam-macam ayam, ikan, bermacam-macam sayur (di antaranya daun pepaya ditumis, enak sekali dan cendawan atau jamur putih yang juga ditumis). Ayam yang kita pilih itu diolah (digoreng atau dibakar) jadi kita tunggu untuk beberapa menit. Dan lalapan sama sambel yang diambil dan dibawa ke meja kita sendiri. It was best. Nilainya 7.5 lah. 

Malam ketiga, dalam kebingungan mau ke mana akhirnya kami putuskan ke SMR lagi saja. Agak penasaran karena tadi malam nasinya sebenarnya kurang tapi malas mau minta tambah. Dan karena tumis daun serta bunga pepayanya itu, perlu benar diulang. Kali ini kami pergi berempat dengan satu orang teman serumah si Bungsu. 

Rumah makan itu dipenuhi pengendara motor gede (Moge) malam itu. Khawatir kekurangan nasi lagi, kami pesan langsung 5 porsi nasi. Sayang sekali tumis bunga pepaya sudah habis. Ya sudah, toh masih ada yang lain. Aku bersiap-siap untuk makan enak. Seenak tadi malam.

Tapi...... masya Allah....  terjadi malapetaka.  Ketika sedang menanti lauk yang sedang digoreng, aku memotes beberapa lembar daun lalap dan ketimun potong dan memindahkannya ke piring. Tahukah anda malapetaka apa yang terjadi? Seekor ulat seperti lintah berwarna hitam jatuh ke piringku bersama lalap itu. Ulat / lintah hitam yang menggeliat-geliat. Tanpa terlihat oleh ketiga peserta makan malam, aku angkat piring ajaib itu dan aku serahkan kepada pelayan restoran. 'Tolong ganti piring ini!' perintahku. Si Bungsu bertanya, ada apa. Aku jawab 'ada deh'. 

Selera makanku (meski makannya diteruskan juga ), turun 75%. Hidangan yang harusnya seenak yang tadi malam, seperti menggeliat-geliat di kerongkongan. Boro-boro menghabiskan lima porsi nasi, sepertinya kami makan sedikit lebih dari tiga porsi untuk berempat. Si pelayan yang cukup sopan, datang berkali-kali minta maaf. Si Bungsu menghibur, mestinya kan disyukuri, karena itu bukti bahwa lalapannya tidak pakai pestisida. Barangkali iya juga, hanya otakku tidak bisa melupakan mahluk kecil yang menggeliat-geliat itu....

*****    

Jumat, 24 Juni 2011

Hukum Dan Hukuman

Hukum Dan Hukuman 

'Kau mendengar berita bahwa ada seorang tenaga kerja wanita dihukum pancung di Arab Saudi?'

'Ya, aku mendengarnya.'

'Bagaimana pendapatmu? Atau kau seperti biasa tidak komentar dan cenderung setuju-setuju saja?'

(Tersenyum, tak menjawab). 

'Kok cuman cengengesan aja? Apa benar kau tidak keberatan dengan cara keji seperti itu? Manusia hidup dipancung lehernya?'

'Sekarang giliran aku bertanya. Kau tahu kenapa dia sampai dihukum pancung?'

'Katanya karena dia membunuh majikannya. Tapi kenapa sampai dia membunuh majikannya kan kita tidak tahu.'

'Ya, katanya. Katanya karena dia ingin pulang dan majikannya tidak memberi ijin lalu dia naik pitam sampai membunuh.'

'Ntar dulu. Kan kita tidak tahu kenapa sampai dia minta pulang. Mungkin dia disiksa disana. Mungkin dia dijahili. Mungkin dia diperkosa......'

'Stop. Semua mungkinmu itu tidak atau belum bisa dibuktikan.'

'Iya sih..... Tapi kan banyak terjadi kasus seperti itu....'

'Banyak itu berapa? Punya data kongkrit?'

'Ah kau selalu saja 'membela-bela'. Kau tidak tergugah rasa nasionalismemu atas perlakuan itu. Atau kau menganggap rendah seorang pembantu?'

'Berbicara dengan kau susah. Kau penuh dengan prasangka. Penuh dengan su'uzhan'. 

'Buktinya?'

'Itu tadi buktinya. Kau menyangka aku memandang enteng seorang wanita pembantu rumah tangga yang terbunuh? Apa alasan kau? Apa buktinya? Baik.... Begini. Biar kucoba menjelaskan sedikit. Menghukum bunuh orang yang membunuh itu adalah perintah Allah. 'Diwajibkan atas kalian memberlakukan hukum qishash dalam hal pembunuhan..'  Diwajibkan. Bahkan kata-kata diwajibkannya itu sama dengan kata-kata diwajibkan atas kalian berpuasa. Kau bacalah Surah Al Baqarah ayat 178 dan 183. Dua-duanya diawali dengan Yaa ayyuhallatziina aamanuu kutiba 'alaikum..... (wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian....). Jadi mengqishash, menghukum bunuh si pembunuh itu wajib hukumnya. Kenapa? Karena kata Allah 'tegaknya hukum qishash itu menjamin kehidupan bagi kalian wahai orang-orang yang berakal.' Kalau seseorang tahu bahwa dia akan dibunuh pula jika dia membunuh, mudah-mudahan takut dia membunuh orang lain, sehingga terselamatkan kehidupan. Kalau dia nekad juga, maka hukumannya ya, dia juga dihukum bunuh.

Lalu, menghukum bunuh itu dengan cara yang cepat matinya si terhukum itu. Dengan dipancung lehernya, dengan pedang yang tajam, sebentar saja sudah akan hilang nyawanya. Terlihat sadis, tapi si terhukum mendapatkan kematian dengan cepat.

Kau katakan sadis, ketika kepada seseorang itu diberlakukan hukum qishash tapi kau menutup mata atas kekejaman yang dilakukannya. Dia membunuh. Apapun alasannya. Dia membunuh, menghilangkan nyawa seseorang. Bandingkan dengan seseorang yang membunuh satu keluarga, dengan cara yang keji. Atau membunuh beberapa orang dengan cara yang keji. Merinding bulu kuduk kita ketika mendengar kekejian yang dilakukannya. Tapi kemudian orang itu dihukum penjara sekian tahun. Setelah itu bebas dengan remisi. Karena setelah itu dia berkelakuan baik di penjara. Bagaimana perasaan keluarga korbannya. Yang dibunuhnya dengan keji dulu? Hukum memenjarakan itu bukan hukum Allah. Hukum qishash itu hukum Allah. Begitu saja.'

(Termenung dengan sedikit manyun).

'Kasihan betul wanita-wanita yang jadi TKW itu. Banyak yang dizhalimi. Diperkosa, disakiti badannya, tidak dibayar gajinya...... Tidak pernahkah kau mendengar cerita seperti itu?'

'Aku dengar juga. Tapi tidak tahu aku berapa orang jumlahnya. Aku dengar juga sebaliknya wanita-wanita yang bekerja lalu dijadikan anak angkat oleh majikannya. Disekolahkan. Dipekerjakan di tempat yang lebih layak. Apa kau juga tidak mendengar contoh yang terakhir ini?'

'Tapi..... Kalau yang sadis? Yang sampai dibunuh? Sampai bunuh diri karena meloncat dari tingkat tinggi?'

'Sudahlah..... Begitulah manusia di mana saja di muka bumi ini. Ada yang penyantun, ada yang bengis. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang penyabar, ada yang pemarah. Di mana-mana sama!'

'Tapi bagaimana dong?'

'Apanya yang bagaimana? Yang bagaimana itu barangkali, kok dari negeri kita yang dikirim pembantu rumah tangga. Itupun banyak yang tembak langsung dari kampung. Tidak tahu apa-apa, tidak mengerti bahasa orang, tidak pandai bekerja. Ya mbok......... Seperti Pilipina itu setidak-tidaknya. Yang dikirim perawat untuk rumah sakit. Atau pegawai hotel. Atau pelayan restoran. Dan mereka orang-orang yang disiapkan terlebih dahulu untuk bekerja. Sehingga jarang terdengar kasus yang ganjil-ganjil. Sementara kita? Sudah berpuluh-puluh tahun yang dikirim hanya PRT. Yang ketika pulang, tidak kalah pula zhalimnya orang-orang tertentu merampok-i mereka begitu sampai di Bandara. Tidak pernah dengar pula?'


(Melotot, lalu kembali termanyun-manyun).

'Ya, sudahlah....'

'Ya sudah.......'

*****
       

Tidakkah Mencemaskan?

Tidakkah Mencemaskan?  

Bandung sekarang tidak sama dengan Bandung 30 - 40 tahun yang lalu. Tentu saja. Jakartapun juga pastilah demikian pula, dalam ketidaksamaannya. Dalam hal kesemrawutan. Dalam hal bangunan-bangunan tinggi. Bandung seperti tidak mau kalah dalam membuat gedung bertingkat tinggi. Ada banyak sekali hotel bertingkat, apartemen bertingkat terletak di mana-mana. Sejak dari Bukit Dago di bagian utara sampai ke batas kota Padalarang. Bertingkat, megah, mentereng.

Mungkin aku saja agak berlebihan. Ada kecemasanku melihat bangunan-bangunan tinggi besar-besar itu dan hubungannya dengan konsumsi air. Air tanah dekat permukaan adalah sesuatu yang sulit di Bandung. Aku ingat ketika membuat praktikum geologi teknik 35 tahun yang lalu, dan kami melakukan survai muka air tanah di sekitar Dago Atas. Dan hasilnya, ada dan banyak sumur masyarakat yang muka airnya berada sampai 15 meter dari permukaan. Lalu bagaimana dong? Dari mana hotel-hotel besar yang di daerah Dago itu mendapatkan air untuk konsumsi hotel? Tentu saja dengan menggali sedalam mungkin. Sumur artesis istilahnya. 

Sementara ini kelihatannya masih aman-aman saja. Air mencurah deras di tingkat paling tinggi bangunan bertingkat itu. Untuk mandi para tamu hotel. Untuk peturasan. Untuk mengisi kolam renang hotel yang sekali sekian hari airnya diganti. Berkat pompa. Berkat air itu dihimpun ke sebuah tangki besar di puncak bangunan lalu dari sana dipompa lagi mengalirkannya ke setiap kran air. Berapa banyak? Wallahu a'lam. Masalahnya, sanggupkah dataran atau bukit-bukit di sekitar Bandung menampung dan mengisi kembali cadangan air yang dipompa dengan sangat banyak itu?

Ah, tentu para ahli sudah menghitungnya (kalau-kalau iya). Mudah-mudahan begitu dan mereka tidak salah hitung. Karena melihat gelagatnya, bangunan tinggi di Bandung akan tetap bertambah banyak. Dan mereka akan berlomba-lomba menggali mencari air tanah.

*****

Rabu, 22 Juni 2011

Manusia Menuju Krisis Pangan.......

Manusia (kita semua) Menuju Krisis Pangan 

Di rumah aku tidaklah seberapa penonton tv. Kalau menonton juga biarlah yang ringan-ringan saja, bukan berita yang seringkali memaksa kita mengurut dada, saking nyelenehnya. Tapi akhir pekan yang lalu aku berada di Bandung untuk sebuah keperluan kantor. Menginap di hotel. Cerita ini bukan untuk perihal menginap di hotelnya tapi tentang menonton tv. 

Petik sana petik sini, pencet sana pencet sini, tiba-tiba aku terpaku pada sebuah reportase BBC. Laporan tentang krisis pangan. Diceritakan bahwa akibat globalisasi, sayur mayur yang dibeli di pasar 'tradisional' di London sana tidak lagi merupakan produk lokal Inggeris. Ada tomat dari Spanyol, wortel dari Jerman, buah-buahan dari Brazil dan sebagainya. Itu tidak seberapa menakjubkan. Meski ditekankan bahwa petani Inggeris dirugikan. Tapi kalau tomat Spanyol memang lebih baik kan tidak masalah. Dan sepertinya, kita sudah sejak lama hidup dalam suasana seperti itu sejak kita makan nasi beras Thailand.

Lalu diceritakan pula betapa pertanian (moderen) saat ini sangat artifisial dan tergantung sangat dengan minyak bumi. Yang dimaksud tentulah pertanian di negara-negara moderen seperti di Eropah, Amerika, Australia dan Jepang. Maksudnya, perlu bermacam-macam pupuk, bermacam-macam pestisida (yang ini mah termasuk di negeri kita) dan tentu saja tergantung pada diesel untuk menggerakkan combined harvester yang berat dan rakus minyak. Belum lagi kalau air perlu dipompa untuk dialirkan yang artinya juga memerlukan bahan bakar untuk menggerakkan pompa.

Cerita tantang menuju krisis pangan itu bermula dari masalah pertanian yang memerlukan  air. Sementara siklus peredaran air terganggu akibat global warming. Akibatnya semakin sering terjadi gagal panen. Bukankah ini juga terjadi pula di negeri kita? Sawah yang menjelang panen, tiba-tiba musnah direndam air bah. Akibat banjir, akibat cuaca yang tidak bisa lagi diprediksi. Jadi sampai disini cerita itu ya begitu adanya, dan kita, di negeri inipun sudah mengalaminya.

Ketika minyak bumi semakin langka dan semakin susah mencarinya, muncul ilmu baru yakni mengganti minyak bakar (yang sekali pakai habis, tidak bisa diperbaharui) dengan minyak hasil tumbuh-tumbuhan yang bisa ditanam dan berarti bisa diperbaharui. Terkesan jenial dan menyelesai masalah. Padahal tidak demikian. Minyak itu kita kenal dengan nama minyak jarak karena bahan bakunya biji buah jarak. Di India, tanah (pemerintah?) yang diusahakan masyarakat untuk tanaman pangan diambil alih oleh negara untuk diganti dengan tanaman jarak. Ini kan benar-benar berarti menyelesaikan masalah dengan (membuat) masalah, tidak sama dengan iklan Pegadaian itu. 

Masih dari India, kali ini dari Punjab, yang konon artinya lima sungai besar, sebab ada lima buah sungai besar-besar terdapat di daerah ini. Dulu air terbit dari mana-mana dan mengalir sampai jauh. Tapi sekarang air itu mulai langka. Lha, memang bisa. Petani terpaksa menggali sumur untuk mengairi ladang. Inipun menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Air tanah itupun ternyata semakin susah dan terpaksa digali lebih dalam. Penyebabnya? Lagi-lagi global warming. Siklus peredaran air jadi tidak beraturan. Artinya semakin jelaslah bahwa mengolah ladang akan semakin sulit dan bahan pangan akan semakin langka.......

Yang lebih menyedihkan adalah penangkapan ikan. Dulu, kata reportase itu, sepanjang berpuluh-puluh kilometer di pantai Yorkshire berlimpah ruah ikan Cod. Dulu itu masih di tahun 60 an. Sekarang sudah tidak ada lagi. Sekarang untuk mendapatkan ikan (bukan cod) harus pergi jauh-jauh ke Afrika. Tersebutlah Senegal, sebuah megara miskin, tapi dulu cukup kaya dengan hasil ikan untuk dipanen para nelayannya. Sekarang ikan mereka disapu bersih oleh kapal penangkap ikan dari Eropah. Dan sebentar lagi, ikan di Senegal itupun akan habis.

Yang inipun kita sedang mengalaminya. Beramai-ramai pencuri ikan dari Jepang, China, Thailand, Vietnam dan Malaysia menjarah laut kita yang sangat luas. Pertanyaan yang sama, suatu ketika, dengan cara menangkap yang membabi buta sehingga sampai bayi-bayi ikan disedot oleh jaring raksasa kapal penangkap ikan, maka dalam waktu tidak terlalu lama ikan di laut kita itupun akan habis. Jadi kita memang sedang menuju krisis pangan.......

*****        

Senin, 20 Juni 2011

Gerhana Bulan

Gerhana Bulan

Hari Selasa pagi pekan yang lalu, ketika sedang menuju ke tempat kerja, aku menerima sebuah pesan singkat, mengingatkan bahwa hari Kamis malam akan terjadi gerhana bulan. Pengirimnya adalah Ketua Pengurus mesjid. Maksudnya mengingatkanku untuk bersama-sama melaksanakan shalat gerhana. Karena biasanya, setiap kali terjadi gerhana kami melakukan shalat khusuf itu di mesjid.

Aku terperangah. Masalahnya, aku akan ikut rombongan rapat yang akan dilaksanakan di Bandung dan kami akan berangkat hari Kamis sore. Tentulah aku tidak akan bisa ikut shalat bersama jamaah. Aku tidak segera menjawab pesan singkat itu. Sore harinya, sesudah shalat maghrib, aku sampaikan rencana kepergianku itu dan mengingatkan agar menghubungi salah satu ustad untuk memimpin shalat gerhana tersebut. Aku tidak tahu apakah ustad itu jadi dihubungi.

Hari Rabu, secara kebetulan aku membaca informasi tentang gerhana bulan tersebut yang ternyata akan terjadi malam Kamis (bukan Kamis malam). Lhah, kalau begitu insya Allah aku bisa ikut. Sore hari Rabu itu aku di tempat bekerja sampai maghrib karena kami menyiapkan bahan-bahan rapat yang akan dibawa besok sore. Sebelum maghrib aku hubungi  Ketua Pengurus mesjid untuk memberi tahu bahwa insya Allah aku bisa ikut shalat malam nanti dan agar diumumkan kepada jamaah mesjid.

Sesudah shalat maghrib aku langsung pulang. Ternyata lalu lintas sangat lancar. Jam tujuh kurang seperempat aku sampai di rumah dan bisa ikut shalat isya di mesjid. Kembali kami beritahukan rencana shalat khusuf yang insya Allah akan dilaksanakan sesudah jam tiga pagi.

Pada jam yang disepakati itu aku dan istriku berangkat ke mesjid. Alhamdulillah sudah hadir cukup banyak jamaah. Kami shalat khusuf, shalat dengan empat kali rukuk dan empat kali sujud dengan membaca ayat yang lumayan panjang. Dulu sekali, beberapa belas tahun yang lalu, ketika aku mengajak jamaah untuk melakukan shalat seperti ini, aku membaca (sambil memegang) mushaf. Menamatkan surat al Baqarah dalam rangkaian shalat itu dalam waktu sekitar dua jam. Shalat selama dan sepanjang itu ternyata agak memberatkan bagi kebanyakan jamaah sehingga tidak banyak yang mau ikut. Terakhir-terakhir ini kami shalat dengan membaca juz pertama atau juz terakhir tanpa memegang mushaf. Shalat itu diselesaikan dalam waktu hampir satu jam.

Sesudah shalat aku sampaikan khutbah ringkas. Tentang fenomena gerhana yang adalah salah satu bukti ke-Maha Kuasaan Allah. Dan kita dituntun oleh Rasulullah SAW untuk mengerjakan shalat (gerhana) pada saat terjadinya gerhana itu. Bukan untuk ditafsirkan macam-macam dan bukan pula untuk sekedar ditonton.

*****   

Senin, 13 Juni 2011

Syukur......

Syukur 


Syukur ya Allah
Atas segala nikmat dan karunia
Atas segala rezeki dan rahmat
Atas segala kemurahan


Beberapa tahun berlalu
Sejak Engkau limpahi keluarga besar ku
Dengan dua cucu kembar
Dan sekarang mereka sudah semakin besar


Muhammad Rafi Aulia
Muhammad Rasyid Hakim
Tanpa terasa telah lima tahun
Jadi penyemarak 
Penyejuk hati dan harapan


Ya Allah Yang Maha Agung
Lindungi dan bimbinglah mereka ya Allah
Agar menjadi pembela agama Engkau
Menjadi imam dan pemimpin
Untuk kebaikan di atas ridhaMu


Ya Allah padaMu ku bersyukur
Bagi Engkau segala puji
Kepada Engkau kami penuh harap
Untuk keselamatan
Dunia dan akhirat kami


Aamiin......


*****
      

Rabu, 08 Juni 2011

Sampai Kapan Kita Hanya Jadi Konsumen????


Apa yang anda bayangkan ketika melihat suatu iklan? Iklan apa saja? Dari barang tetek bengek sampai barang gembul besar? Sampai mobil wah dan rumah yang harganya hanya 2M dan besok harganya naik pula? Apakah anda segera tergiur untuk membeli dan lalu menghitung-hitung sekian DP lalu sekian cicilan yang harus dibayar tiap bulan sampai sekian lama? Apakah anda pernah terpikir (sebelum hanyut dengan mimpi kepingin sangat membeli itu) untuk mengingat-ingat apakah barang yang ditawarkan itu benar-benar perlu atau tidak? Atau anda tidak terlalu pusing dengan kegunaan atau manfaatnya tapi tetap ngotot saja mau membeli karena saking kagumnya dengan rayuan gombal sang iklan?

Jawabannya pastilah akan sangat beragam.

Aku hanya ingin sekedar terheran-heran dengan semangat atau lebih tepatnya nafsu konsumptif 'kita' bangsa Indonesia ini. Apa saja yang tidak dijual orang di sini. Rumah mewah, apartemen kondo, mobil seharga 3M, barang elektronik keluaran terakhir dari ukuran sebesar entah-entah apa sampai sekecil entah-entah apa. Dan semua laku. Semua dibeli orang. Semua dibeli orang baik tunai maupun mencicil.

Kan itu berarti orang-orang pada berduit. Orang-orang pada kaya. Selama dia mampu membeli dengan uangnya sendiri apa urusan kita? Begitu komentar seorang teman. Kalau itu sih, benar. Tidak ada urusan kita selama mereka, orang-orang berduit itu berbelanja dengan uang mereka. Dengan hasil keringat mereka sendiri. Iya kan?

Tidak. Kataku pelan-pelan dalam hati. Takut terdengar oleh teman yang memang agak pemburansang itu. Tidak, sekali lagi tidak. Bukan itu maksudnya. Cobalah tengok sebuah 'mode'. Sekarang ini 'mode' mempunyai BB. Sangat banyak manfaat dari memiliki BB. Banyak sekali. Dia lebih dari sekedar teka-teki 'dibuka selebar alam, ditutup selebar kuku'. Kata seorang professor, dunia tergenggam di tangan awak, kalau awak memiliki BB. Mau apa saja. Mau mencari informasi apa saja. Mau mengirim berita, foto, makalah, apa saja, kemana saja. Semua terletak di ujung jari. Cukuplah pencet-pencet apa yang mau dikirim, yang mau dicari, yang mau dibaca, yang mau didengar, yang mau ditonton. Semua ada.

Berapa harga sebuah BB? Ah tidak mahal-mahal sangat. Terjangkau. Hanya sekitar 4 juta saja. Masak mau sempilit dengan uang 4 juta untuk manfaat sebegitu besar?

Di sinilah kita mulai coba berhitung kanti!. Jangan kau katakan uang 4 juta itu hanya sekian jam bekerja sudah dapat kau hasilkan. Tahukah kau berapa arti 4 juta itu sebenarnya? Di negeri kita yang kita cintai ini? Kalau kau mau memakai takaran minyak bumi, karena minyak bumi ini masih tersedia di perut bumi negeri ini, maka uang itu lebih kurang setara dengan 4 barrel minyak mentah. Lho? Berapa itu? Satu barrel itu setara dengan 159 liter minyak. Berapa orang pemakai BB di Indonesia Raya ini sekarang? 5 juta? (Aku mana pula tahu). Seandainya sekian, maka ketahuilah wahai kanti, kita terpaksa menyerahkan 4 x 5 juta barrel minyak mentah kita ke Kanada sana. Untuk BB yang akan dipakai setahun dua tahun. Karena sebentar lagi akan keluar lagi BB jenis lain yang lebih canggih. Kalau harganya mau dihitung dengan hasil beras atau padi (karena memang padi ini yang di antara lain bangsa kita mampu menanamnya), seandainya harga beras kita anggap 8000 rupiah sekilo, maka untuk sebuah BB perlu kita jual 500 kilo beras. Jadi berapa kilo beras untuk 5 juta buah BB? 2500 juta kilo. Hitunglah sendiri! Berapa besar sawah diperlukan untuk menghasilkan beras sebanyak itu.

Lha! Orang memang kita perlu. Memang ada manfaatnya. Situ aja yang sirik......

Bukan kawan. Bukan sirik. Lihatlah betapa kita ini tidak belajar dari pengalaman. Dari dulu sampai sekarang hanya bisa jadi konsumen. Jadi pembeli. Jadi penikmat. Kita tidak pernah berpikir untuk menutupi keperluan kita sendiri. Memproduksi sendiri barang keperluan kita, kalaulah tidak mungkin untuk menjualnya ke negeri orang. Dari dulu sampai sekarang. Dulu 40 tahun yang lalu kita sama-sama tarafnya dengan Korea. Sama-sama negara berkembang. Kini? Mereka sudah menjadi negara maju, kita masih negara kembang-kempis. Kita harus mendongak menengadah melihat kemandirian mereka. Contoh di atas baru sekedar BB. Padahal di segala aspek kita seperti itu. Ada betulpun iklan yang berbunyi, 'cintailah produk-produk Eindonesia'. Kita tahu produk itu masih bermerek asing. Berlogo dan berlambang asing. Kita bahkan tidak tergugah ketika sebuah iklan berbunyi bahwa, dia (maskapai besar itu) 'inspire the next'. Kita masih berpikir, 'will buy the next when it comes'.

Jadi sampai kapan? Kita hanya akan jadi konsumen? Membeli sebuah produk orang dengan berjuta-juta kilo beras? Yang padahal bangsa kita kelaparan? Atau berjuta-juta barrel minyak? Yang padahal untuk dipakai sendiri saja sudah tidak mencukupi? Atau berton-ton kayu? Sementara hutan kita sudah semakin gundul......

Ah...... Sebegitu sajalah.....

***** 

Senin, 06 Juni 2011

Kematian Secara Tragis

Kematian Secara Tragis 

Kematian kadang kala terjadi dengan cara tidak diduga-duga. Secara tragis. Begitu biasanya kata kita yang masih hidup, ketika menyaksikan kematian yang datang secara tiba-tiba. Secara ganjil. Secara mengejutkan. Bagi si mati barangkali sama saja, mau tragis atau bukan. Yang jelas ruh mereka sudah pergi meninggalkan badan atau jasad kasar. Berpindah ke alam lain yang kita (yang masih hidup) tidak tahu dimana letaknya.

Seorang warga komplek kami kemarin meninggal dengan cara tragis. Sekitar jam delapan dia berangkat dari rumah untuk pergi main tenis, olah raga kegemarannya, dengan mengendarai sepeda motor. Di pertigaan antara jalan raya Kalimalang dan jalan Haji Naman, tanpa diduga-duga terjadi kecelakaan fatal. Motornya ditabrak motor lain yang datang dari arah jalan Haji Naman. Begitu menurut cerita. Entah bagaimana tepatnya kejadian kecelakaan itu, tapi yang pasti kedua-dua pengendara masing-masing sepeda motor itu tewas. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Jenazah keduanya dibawa ke RSCM.

Jam setengah dua belas, istri dari tetangga tersebut berusaha menelpon suaminya, karena tidak biasanya sampai selama itu dia main tenis. Ternyata yang mengangkat telepon di ujung sana bukan suaminya tapi orang lain yang ternyata adalah polisi. Entah bagaimana pula tepatnya pembicaraan telepon mereka itu, yang pasti pak polisi memberi tahu sambil minta maaf bahwa pemilik hp itu saat itu sudah almarhum. Masya Allah..... Terenyuh kita membayangkan bagaimana perasaan si istri. Tadi pagi dilepasnya suaminya pergi berolah raga, seperti yang biasa dilakukannya. Ditunggunya untuk makan bersama-sama, karena biasanya begitu kebiasaan suaminya sesudah menguras keringat, makan bersama keluarga di rumah. Dia telepon suaminya untuk mengingatkan bahwa makanan sudah siap. Tetapi yang diterimanya berita yang tidak sedikitpun terbayangkan.

Jadi begitulah cara datangnya kematian itu. Tidak bisa diprediksi. Tidak bisa diperkirakan apalagi direncanakan. Kadang-kadang dia datang secara mengejut dan tiba-tiba. Kematian itu pasti datang. Hanya kita tidak tahu kapan tepatnya, di mana tempatnya, dengan cara apa datangnya. Jadi memang sangat perlulah kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebelum kematian itu datang kepada kita.

*****        

Sabtu, 04 Juni 2011

Antara Mau Percaya Dengan Tidak

Antara Mau Percaya Dengan Tidak 

Menantuku sakit. Badannya panas dan kepalanya pusing terus menerus. Subuh dua hari yang lalu, sebelum kami berangkat ke mesjid untuk shalat subuh, anakku (yang tinggal bersebelahan) menelepon, memberi tahu bahwa dia akan mengantar suaminya ke rumah sakit. Maksudnya dia mau menitipkan anak-anaknya yang masih tidur. Kami bergegas ke rumahnya. Akhirnya, istriku tidak pergi ke mesjid, menunggui cucu-cucu yang masih tidur, sementara puteri kami pergi mengantar suaminya itu.

Di rumah sakit dia diperiksa (harusnya dengan seksama), dengan pemeriksaan darah dan foto rontgen. Dia dianjurkan untuk dirawat inap. 

Sore hari, atau lebih tepat malam hari sesudah maghrib aku, istri dan dua cucu kembar kami pergi mengunjunginya ke rumah sakit. Puteri kami dan bayi bungsunya, menemani di rumah sakit sejak pagi tadi. Si menantu terlihat lemas. Badannya panas. Rasa pusing masih ada meski sudah berkurang. Menurut dokter, rasa pusing dan demam itu dikarenakan radang di tenggorokan (sinusitis). Dokter menganjurkan agar sinusitisnya dioperasi saja. 

Inilah yang aku maksud dengan judul di atas. Antara mau percaya dengan tidak kita dengan analisa dokter. Terutama dengan kesimpulan untuk mengoperasi yang sepertinya sangat cepat benar datangnya. Setahun yang lalu aku sakit. Sakit perut bersangatan disertai dengan gejala mual dan bahkan muntah-muntah. Ketika itu (malam hari sekitar jam delapan) aku dibawa ke rumah sakit. Aku langsung diperintahkan untuk diopname. Menurut analisa sementara dokter, setelah memeriksaku dengan bantuan peralatan USG, kemungkinan aku mengalami radang usus buntu. Di samping itu, katanya, ada batu di kandung empedu dan ginjal. Ada beberapa pengamatan seperti rontgen dan pemeriksaan darah yang harus aku jalani keesokan harinya.

Besoknya itu aku diberitahu bahwa ada tiga tindakan yang 'harus' segera diambil. Membuang usus buntu, mengeluarkan atau bahkan membuang empedu yang berisi batu dan mengeluarkan batu di ginjal. Lebih heboh lagi, nomor satu dan dua bisa dikerjakan sekali jalan. Tinggal, kesediaanku, kapan mau menjalani operasi itu.

Sebentar dulu, kataku. Usus buntu, menurut pengetahuanku yang bukan dokter, ada ciri yang sangat utama, yakni rasa sakit jika kaki ditekuk dan dirapatkan ke perut. Dua orang puteriku sudah menjalani operasi pembuangan usus buntu, yang ketika itu keduanya punya gejala rasa sakit ketika kaki ditekuk itu. Sementara aku tidak merasa apa-apa. Batu empedu, ada dua butir, di dalam empeduku menurut pengamatan dokter. Aku kenal seorang sepupu yang punya sepuluh butir batu dalam empedunya dan hidup normal-normal saja. So.......? Aku belum mau atau tepatnya tidak mau dioperasi. Tiga hari kemudian aku pulang dari rumah sakit dan alhamdulillah sampai sekarang aman-aman saja.

Ini pula yang aku ingatkan kepada menantu. Jangan terlalu dipikirkan anjuran operasi dokter itu. Dan alhamdulillah, dia hari ini sudah akan pulang pula dari rumah sakit setelah panas badannya kembali normal dan rasa pusingnya hilang.

Antara mau percaya dengan tidak kita dengan hasil analisa dokter. Terutama yang menyangkut anjuran untuk menjalani tindakan medis (operasi) yang datangnya terlalu cepat......

*****       

Kamis, 02 Juni 2011

Stok Buku 'Anak Manusia Korban Politik'

Stok Buku 'Anak Manusia Korban Politik' 

Masih tentang buku karanganku itu. Yang judulnya 'Anak Manusia Korban Politik'. Yang kata beberapa orang yang membacanya membuat mereka meneteskan air mata. Buku yang dicetak di sebuah penerbitan di Bandung. Lalu didistribusikan ke toko-toko buku. Tapi....... Karena aku bukanlah seorang yang dikenal ramai, tidak pula ada yang meng-endorse, tidak pula ada iklan, maka buku itu tidak terkenal.  Sekali waktu aku memeriksanya di Gramedia MM Bekasi. Buku itu tidak di-display dan waktu aku tanyakan, petugas Gramedia menemukan tiga eksemplar tersembunyi di belakang tumpukan buku lain di sebuah rak. Pernah pula ada kemenakanku bertanya di Gramedia yang lain, dijawab bahwa buku tersebut habis.

Lalu, aku diberitahu oleh pemilik penerbit. Beliau bercerita bahwa buku itu banyak yang kembali. Istilah beliau di-retour. Ya, iyalah (barangkali), orang buku karangan orang tak dikenal. Lalu aku minta dikirimi beberapa karena ada yang masih bertanya bagaimana mendapatkan buku tersebut. Nah, kemarin aku pergi menjemput kiriman seratusan bukuku ini ke kantor ekspedisi. Dipak rapi dalam sebuah kotak karton. Dan buku itu sekarang ada di rumah.

Jadi maksudnya....... Bagi yang mungkin penasaran belum mendapatkan buku tersebut, sekarang bisa pesan kepadaku. Ya nggak apa-apa kan? Tulis dan karang sendiri, terbitkan (sendiri) dan sekarang coba menjualnya sendiri. Harga buku itu ditetapkan penerbit rp 35,000. per eksemplar. Bagi yang berminat di Jabotabek, harga sedemikian sudah termasuk ongkos kirim dengan Tiki insya Allah.......

Jadi begitu. Kali ini tulisanku merangkap iklan.......

*****