Kamis, 27 Februari 2014

Hujan, Banjir Dan Jalan Rusak

Hujan, Banjir Dan Jalan Rusak 

Inilah trio yang selalu datang dengan teratur setiap tahun di negeri kita. Terlebih-lebih di Jakarta dan kota-kota sepanjang pantai utara Jawa. Atau bahkan di tempat lain. Datangnya musim hujan adalah kepastian dalam sunatullah. Hujan yang sedianya jadi rahmat, karena dengan air hujan itu jadi subur tanam-tanaman. Yang nantinya untuk dikonsumsi manusia dan hewan ternak. Air hujan yang turun ke bumi itu mengalir dan sebagian meresap ke dalam tanah. Yang mengalir di permukaan mencari tempat yang kerendahan dan berakhir di muara, di laut lepas.  

Banjir adalah tumpahan air yang mencari tempat kerendahan itu dalam volume besar. Volume sangat besar ketika curah hujan sangat tinggi (dengan izin dan kuasa Allah Ta'ala) sementara permukaan bumi yang  berbukit-bukit tidak mempunyai cukup pohon-pohonan untuk menahan sebagian dari air itu. Disini terlibat campur tangan manusia ketika mereka menggunduli bukit-bukit yang dilakukan dengan ceroboh.  

Air yang sudah tidak ada yang menahan, lalu menerjang dengan kekuatan dahsyat adalah sunatullah jua. Manusia seyogianya dapat belajar dari alam. Alam terkembang seharusnya dijadikan guru. Ketika kita tahu bahwa hutan yang gundul beresiko mempermudah air mengalir lebih keras, beresiko menjadikan tebing-tebing runtuh, terban karena berat mengandung air, maka seyogianya kita tidak hantam kromo menggunduli hutan perbukitan. Tapi apa boleh buat, mungkin karena manusia semakin banyak, lahan semakin sempit dan ditambah pula dengan perangai orang-orang yang malas berfikir panjang. Hutan perbukitan itu, bukan sekedar dibabat kayunya, yang lebih parah lagi ditukar dengan bangunan tembok permanen, yang menutup kesempatan air untuk meresap.

Di bahagian hulu, di perbukitan yang berhawa sejuk, orang-orang kaya berlomba-lomba mekonversikan hutan kayu-kayuan menjadi bangunan bungalow berbagai model dan bentuk. Atas mengatasi tanpa sedikitpun memikirkan bahwa mereka mengancam lingkungan di hilir, menjadikannya semakin rentan terhadap banjir.  

Lalu derita berikutnya. Derita jalan rusak sesudah datangnya banjir, sesudah ditimpa hujan lebat. Jalan aspal itu sebegitu rapuhnya bak kayu lapuk. Jadi penuh dengan lobang-lobang besar dan dalam. Khususnya di tempat-tempat air tergenang karena salurannya dibuat asal-asalan dan tersumbat pula. Oleh sampah yang dibuang sembarangan. Lengkaplah sudah semua itu. 

Seperti itulah mutu jalan di ibu kota negara. Baru sekali ini kita dengar pengakuan gubernurnya yang menyadari bahwa mutu jalan-jalan di Jakarta di bawah standar jalan-jalan internasional. Baru sekarang terdengar ungkapan ini. Selama ini, jalan-jalan yang rusak, tidak saja yang di Jakarta, adalah merupakan proyek besar yang selalu menelan anggaran setiap tahun. Kita sampai bosan menengar berita ketika jalan pantura dipersiapkan (lagi) untuk menampung arus mudik lebaran setiap tahun. Tidak pernah terpikir oleh beliau-beliau yang berwenang itu untuk membuat jalan yang mampu bertahan berpuluh tahun tanpa perlu diutak-utik lagi tiap sebentar. Rasa-rasanya inilah yang dimaksud gubernur DKI bahwa jalan-jalan kita tidak memenuhi standar internasional. Padahal apa benarlah susahnya merumuskan jalan kwalitas internasional itu, mustahil kita tidak akan mampu menirunya.

Tapi ya itulah. Capek kita memikirkannya. Aku sangat terusik karena 200 meter dari tempat tinggalku, di jalan Jatibening menuju pasar Sumber Arta, ada genangan di sepotong jalan, yang tidak pernah mau kering selama musim hujan ini. Genangan itu menyembunyikan dua lobang besar. Berderam bunyi mobil sedan ketika terperosok melaluinya. 

*****                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar