Minggu, 07 Oktober 2012

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (2)

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (2)

Jalan menuju ke selatan ini sama bagusnya. Sumatera Barat bolehlah bangga bahwa kualitas jalan raya di seluruh pelosok negeri di atas rata-rata. Kecuali barangkali jalan di Sitinjau Lauik yang memang terletak di atas punggungan bukit yang tidak stabil dan berpatahan. Sudah bermacam cara dilakukan dinas pekerjaan umum untuk memperbaiki ruas jalan itu, sampai sekarang masih saja rawan rusak. Rawan longsor. 

Jalan ke Painan mulus dan lebar. Jalan itu mendaki sejak dari Bungus. Dan tentu saja berkelok-kelok. Pemandangan di sepanjang jalan ini bagiku biasa-biasa saja. Kadang-kadang serasa aku sedang berjalan di daerah Paya Kumbuh. Kadang-kadang serasa sedang di Kamang. Cantik berbukit-bukit dan hamparan sawah. Tapi ya itu, ada mirip-miripnya dengan yang sudah pernah aku kenal. 

Jarak Padang - Painan lebih kurang 70an kilo meter, hampir sama dengan jarak Padang - Padang Panjang. Jalan mendaki mungkin sekitar setengah perjalanan ke Painan. Sesudah pendakian, kita mulai memasuki daerah Pesisir Selatan. Hampir tidak ada pesawangan sepanjang jalan ini. Kampung yang satu sambung menyambung dengan kampung yang lain. Kami lalui sebuah kota (satelit) sebelum Painan. Tampak kantor-kantor pemerintah dengan atap bergonjong. Aku langsung teringat dengan seorang anggota mailing list RantauNet sepuluh tahun lebih yang lalu, berasal dari Pesisir, dan sangat anti bahkan protes keras dengan menggonjongkan atap kantor pemerintah di daerah Pesisir. Karena, katanya, tidak ada satupun rumah penduduk yang bergonjong di daerah itu. Dengan kata lain dia (hendak) menyangkal bahwa orang Pesisir itu sama dengan orang Minang.

Enam kilometer sebelum kota Painan, kami berbelok ke kiri, menuju kampung istri adik ipar. Nama kampung itu Koto Berapak. Pagi tadi ada acara lamaran di rumah itu. Anak laki-laki yang punya rumah dipinang untuk anak dara dari Sijunjung. Nah, ini kan cara atau adat istiadat Minang? Orang laki-laki yang dipinang? Bahasa orang sini pun bahasa Minang. Tak ada ubahnya kecuali dengan dialek yang sedikit berbeda sebagaimana berbedanya dialek orang Lima Puluh Kota dengan orang Agam. Bahkan sebagaimana berbedanya dialek orang Bukit Tinggi dengan orang Tiku. 

Sempat pula aku bertanya tentang keminangan orang tempatan sekedar ingin tahu. Dan aku diberitahu bahwa orang Painan berbalahan dengan orang di Alahan Panjang dan Muaro Labuah. Orang-orang dari sana yang 'turun' ke rantau Painan. Samalah dengan orang Solok yang turun ke rantau Padang. Agaknya si pemerotes di RantauNet itu tidak faham saja. 

Kami tidak berlama-lama di rumah di Koto Berapak itu. Seharusnya, ada objek wisata dekat kampung itu, masih harus terus beberapa kilometer lagi, yakni jembatan akar. Akar pohon beringin yang dijalin bersambungan di atas sungai dan dijadikan titian penyeberangan. Harus memilih satu diantara dua. Ke jembatan akar atau ke tepi pantai. Tidak mungkin kedua-duanya dikunjungi karena hari sudah sore. Akhirnya disepakati bahwa tujuan berikutnya adalah kota Painan dan Pantai Cerocok. Kami kembali ke jalan raya Padang - Painan lalu berbelok ke kiri. Kemudi aku serahkan kepada kemenakan yang jadi sopir cadangan. Painan enam kilometer lagi dari simpang jalan tersebut. Dan Pantai Cerocok terletak di dalam kota itu.

Pantai yang landai dan memanjang sedikit melengkung. Di hadapan ada pulau-pulau kecil. Agak sedikit ke tengah, katanya ada pulau Cingkuak. Mendengar nama pulau Cingkuak aku teringat pelajaran sejarah, bahwa pulau itu adalah tempat Belanda pertama kali menapak, membuat loji alias benteng di pantai barat Sumatera Barat sekarang. Itu terjadi di awal abad ke tujuh belas.

Pantai Cerocok adalah tempat rekreasi. Cukup ramai pengunjung sore hari itu. Bahkan ada juga turis asing kulit putih. Sayang penataan pantainya kurang dirapikan. Lautnya sedang surut. Terlihat banyak onggokan batu dengan cangkang kerang. Ada sebuah jembatan kayu ke pulau kecil beberapa puluh meter ke tengah. Anak-anak pergi menyeberang ke pulau itu. Dari sana mereka bisa pula menyewa perahu untuk ke pulau berikutnya. Aku tidak ikut menyeberang. Kami duduk-duduk saja di bangku-bangku kayu milik pedagang minuman di sana.  

Matahari berada di hadapan kami, tapi sayang ditutupi awan. Jadi tidak bisa melihat matahari terbenam. Sekitar maghrib kami meninggalkan tempat itu. Adik ipar menjamu kami makan di rumah makan, masih di tepi pantai dekat tempat parkir kendaraan. Hidangan laut yang dimasak asam padeh. Lumayan enak. Setelah makan baru kami mencari mesjid.

Sehabis shalat kami mulai perjalanan pulang. Pertama-tama mengarah ke Padang. Untuk mampir sebentar di tempat kemenakan yang ikut rombongan dari Padang tadi. Jam sepuluh malam kami tinggalkan pula Padang menuju Sawahlunto, melalui Sitinjau Lauik, melalui jalan mendaki, beriringan dengan berpuluh-puluh truk besar-besar. Si kemenakan pengemudi cadangan cukup berpengalaman dan sangat hati-hati.

Jam setengah dua malam kami sampai di Sawahlunto, untuk beristirahat, sesudah melewatkan waktu yang panjang dalam perjalanan cukup jauh sehari itu.

*****               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar