Sabtu, 27 Juli 2013

Qunut



Qunut

Baru-baru ini aku membaca sebuah kisah ironis di Internet. Ada sebuah mesjid , baru selesai dibangun, terpaksa meniadakan shalat subuh berjamaah. Penyebabnya, masalah qunut. Ada jemaah yang maunya berqunut, dan sebaliknya ada di antara mereka yang tidak mau berqunut. Lalu antara yang pro dan kontra qunut ini saling tidak sepakat sambil emosi. Akhirnya, ditempuh jalan tengah, tidak ada shalat subuh berjamaah di mesjid itu. Ironis sekali.

Ada contoh toleransi qunut yang masyhur  antara Buya Hamka dengan K.H. Abdullah Syafei. Disebutkan bahwa pada suatu kesempatan Buya Hamka bertamu ke mesjid yang dipimpin oleh K.H. Abdullah Syafei dan diminta memimpin shalat subuh. Lalu Buya Hamka berqunut, padahal semua orang tahu, ketika jadi imam di mesjid Al Azhar Kebayaoran Baru beliau tidak pernah melakukannya. Sebaliknya, pada kesempatan lain giliran K.H. Abdullah Syafei bertamu ke mesjid Al Azhar di Kebayoran Baru itu dan diminta jadi imam shalat subuh. Kali ini K.H. Abdullah Syafei menjadi imam shalat subuh tanpa berqunut seperti kebiasaan beliau sehari-hari. Begitu saling harga menghargai antara kedua tokoh pimpinan umat itu.

Namun, kejadian itu berlaku hanya sekali (sekali), dan untuk menghormati tuan rumah saja. Dalam ke sehari-hariannya kedua beliau itu tentu tetap dengan keyakinan masing-masing.

Ketika baru pindah ke Jatibening di akhir tahun 1993, pada suatu subuh aku  diminta oleh seorang jamaah senior di mesjid untuk menjadi imam. Aku menolak dengan alasan bahwa aku masih berstatus ‘tamu’. Tapi beliau dengan gigih dan bersungguh-sungguh menyuruh aku jadi imam. Agak gugup, aku berterus terang mengatakan bahwa aku tidak membaca qunut. Dengan harapan beliau berhenti menyuruhku maju menjadi imam. Ternyata beliau tetap ‘keukeuh’ dan hanya mengingatkan agar aku melamakan i’tidal di rakaat kedua. Karena dengan cara seperti itu, yang akan membaca qunut juga dapat melakukannya sendiri-sendiri.

Akhirnya aku terpaksa maju jadi imam. Dan melakukan seperti yang diusulkan beliau, melamakan i’tidal di rakaat kedua. Di mesjid Nabawi aku pernah merasakan bahwa imam berdiri lebih lama di saat i’tidal di rakaat kedua.

Apa yang dibaca ketika melamakan berdiri itu? Pada kitab shahih Muslim hadits nomor 431, disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam membaca; ‘Allahumma lakal hamdu mil-us samaa-i, wa mil-ul ardhi, wa mil-u ma syi’ta min syai-in ba’du. Allahumma thahirni bits tsalji wal baradi, wal ma-il baradi. Allahumma thahhirni minadz dzunubi wal khathaya kama yunaqqats tsaubul abyadhu minal waskhi. (..... Wahai Allah! Sucikanlah aku dengan salju, air es dan air dingin. Wahai Allah! Sucikanlah aku dari segala dosa dan kesalahan, sebagaimana kain putih dicuci dari kotoran.)

Demikianlah, sejak saat itu, kalau aku disuruh maju jadi imam, aku melakukan hal yang sama. Sampai aku dipilih jadi imam tetap di mesjid. Jamaah mesjid terbiasa dengan cara seperti itu tanpa protes. Bahkan ustadz yang rutin memberi ta’lim di mesjid kami, kalau aku minta menjadi imam, juga melakukan hal yang sama.

Tentu saja pelaksanan shalat dengan i’tidal yang dipanjangkan ini disertai dengan keterangan dan penjelasan untuk para jamaah. 

Pada waktu yang lain kami membaca qunut nazilah. Ketika ada umat Muslim  di mana saja sedang dizhalimi dengan kezhaliman yang luar biasa. Qunut nazilah kami lakukan pada i'tidal terakhir semua shalat fardhu.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar