Qunut
Baru-baru
ini aku membaca sebuah kisah ironis di Internet. Ada sebuah mesjid , baru selesai dibangun, terpaksa
meniadakan shalat subuh berjamaah. Penyebabnya, masalah qunut. Ada jemaah yang
maunya berqunut, dan sebaliknya ada di antara mereka yang tidak mau berqunut.
Lalu antara yang pro dan kontra qunut ini saling tidak sepakat sambil emosi.
Akhirnya, ditempuh jalan tengah, tidak ada shalat subuh berjamaah di mesjid
itu. Ironis sekali.
Ada
contoh toleransi qunut yang masyhur
antara Buya Hamka dengan K.H. Abdullah Syafei. Disebutkan bahwa pada
suatu kesempatan Buya Hamka bertamu ke mesjid yang dipimpin oleh K.H. Abdullah
Syafei dan diminta memimpin shalat subuh. Lalu Buya Hamka berqunut, padahal
semua orang tahu, ketika jadi imam di mesjid Al Azhar Kebayaoran Baru beliau
tidak pernah melakukannya. Sebaliknya, pada kesempatan lain giliran K.H.
Abdullah Syafei bertamu ke mesjid Al Azhar di Kebayoran Baru itu dan diminta
jadi imam shalat subuh. Kali ini K.H. Abdullah Syafei menjadi imam shalat subuh
tanpa berqunut seperti kebiasaan beliau sehari-hari. Begitu saling harga
menghargai antara kedua tokoh pimpinan umat itu.
Namun,
kejadian itu berlaku hanya sekali (sekali), dan untuk menghormati tuan rumah
saja. Dalam ke sehari-hariannya kedua beliau itu tentu tetap dengan keyakinan
masing-masing.
Ketika baru pindah ke Jatibening di akhir tahun 1993,
pada suatu subuh aku diminta oleh
seorang jamaah senior di mesjid untuk menjadi imam. Aku menolak dengan alasan
bahwa aku masih berstatus ‘tamu’. Tapi beliau dengan gigih dan bersungguh-sungguh
menyuruh aku jadi imam. Agak gugup, aku berterus terang mengatakan bahwa aku
tidak membaca qunut. Dengan harapan beliau berhenti menyuruhku maju menjadi
imam. Ternyata beliau tetap ‘keukeuh’ dan hanya mengingatkan agar aku melamakan
i’tidal di rakaat kedua. Karena dengan cara seperti itu, yang akan membaca
qunut juga dapat melakukannya sendiri-sendiri.
Akhirnya aku terpaksa maju jadi imam. Dan melakukan
seperti yang diusulkan beliau, melamakan i’tidal di rakaat kedua. Di mesjid
Nabawi aku pernah merasakan bahwa imam berdiri lebih lama di saat i’tidal
di rakaat kedua.
Apa yang dibaca ketika melamakan berdiri itu? Pada kitab
shahih Muslim hadits nomor 431, disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi
wa sallam membaca; ‘Allahumma lakal hamdu mil-us samaa-i, wa mil-ul ardhi, wa
mil-u ma syi’ta min syai-in ba’du. Allahumma thahirni bits tsalji wal baradi,
wal ma-il baradi. Allahumma thahhirni minadz dzunubi wal khathaya kama
yunaqqats tsaubul abyadhu minal waskhi. (..... Wahai Allah! Sucikanlah aku
dengan salju, air es dan air dingin. Wahai Allah! Sucikanlah aku dari segala
dosa dan kesalahan, sebagaimana kain putih dicuci dari kotoran.)
Demikianlah, sejak saat itu, kalau aku disuruh maju jadi
imam, aku melakukan hal yang sama. Sampai aku dipilih jadi imam tetap di
mesjid. Jamaah mesjid terbiasa dengan cara seperti itu tanpa protes. Bahkan
ustadz yang rutin memberi ta’lim di mesjid kami, kalau aku minta menjadi imam, juga
melakukan hal yang sama.
Tentu saja pelaksanan shalat dengan i’tidal yang dipanjangkan
ini disertai dengan keterangan dan penjelasan untuk para jamaah.
Pada waktu yang lain kami membaca qunut nazilah. Ketika ada umat Muslim di mana saja sedang dizhalimi dengan kezhaliman yang luar biasa. Qunut nazilah kami lakukan pada i'tidal terakhir semua shalat fardhu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar