Selasa, 25 November 2014

Urusan Kampung Tangah Di Kampung

Urusan Kampung Tangah Di Kampung

Satu ketika dulu, kita biasa mengatakan, enak tinggal di kampung (maksudnya di Ranah Minang) karena apa-apa murah harganya. Berbelanja murah ini terasa bagi mereka yang datang dari Jakarta, atau orang-orang (karyawan Caltex) yang datang dari Riau. Atau katakanlah oleh orang-orang berduit.

Kebalikannya, ada pula yang mengeluh bahwa mereka merasa kena pakuak alias membayar terlalu mahal di rumah makan di kampung. Salah satu penyebabnya adalah, kebiasaan baru menghitung harga sesudah belanjaan masuk ke dalam perut.

Tersebutlah sebuah kejadian, ketika dua orang teman makan dengan cara biasa-biasa dalam arti tidak berlebih-lebihan di sebuah rumah makan di tengah kota. Katakan masing-masing makan dua potong lauk, sepotong tunjang dan sepotong dendeng paru. Yang lainnya sepotong rendang dan telor dadar. Sayur cubadak dikongsi satu piring berdua. Masing-masing minum teh es manis segelas. Itu saja. Waktu disuruh hitung pelayan rumah makan itu dengan tangkas mencoret-coret di kertas bon. Dan ketika kertas bon dibawa ke kasir dia sebutkan harga yang harus dibayar 190 ribu rupiah. Harga ini tidak bisa dikatakan murah. 

Kebanyakan orang biasanya malas untuk bertanya, bagaimana rincian sampai sebanyak itu. Walaupun seharusnya tidak perlu merasa malu untuk minta penjelasan. Setelah keluar dari rumah makan tersebut, dihitung-hitung dalam hati. Seandainya sepotong lauk dihargai 20,000 rupiah (di Restoran Padang terkenal di Jakarta saja tidak sampai semahal itu), maka empat potong lauk ditambah sepiring sayur cubadak belum akan sampai seratus ribu. Lalu dua piring nasi plus nasi tambah, terakhir dua gelas teh manis, masakan akan dihargai hampir seratus ribu pula?  

Waktu pulang kampung pekan lalu, aku menyempatkan (karena memang menyukai) mampir di kedai nasi Kapau 'uni' Lis di Pasa Ateh. Kami berempat orang, masing-masing makan dengan sepotong lauk. Tiga orang minta nasi tambah. Waktu membayar mula-mula dikatakan harganya Rp 98 ribu. Dalam hatiku, ini masih harga biasa seperti setahun yang lalu, ketika aku makan berdua saja dengan istri tidak sampai Rp 50 ribu. Tapi ternyata 'uni' kasir salah hitung. Harga Rp 98 ribu adalah untuk bertiga, padahal kami berempat. Dijelaskannya lagi bahwa sepiring nasi dan sepotong lauk harganya Rp 30 ribu. Tidak mengapa, karena harga  rinciannya jelas. 

Besoknya, kami berempat singgah makan sate mak Syukur di Padangpanjang. Yang di tengah pasar, bukan yang di pinggir jalan raya Padang - Bukit Tinggi. Ada terpampang tarif yang ditempel dekat gerobak sate. Harga satu piring sate Rp 22 ribu, setengah piring Rp 14 ribu. Untuk kami dihidangkan sepiring sate terpisah (tidak tahu berapa tusuk jumlahnya) dan masing-masing satu piring ketupat yang sudah dikuahi. Dugaanku, jumlah sate itu sekitar 40 tusuk. Sepiring sate tanpa dipisah dengan ketupat biasanya terdiri dari 8 tusuk daging. Waktu akan membayar orang kedai menanyakan berapa harga sate ke tukang sate, karena minuman dan kueh-kueh dihitung terpisah. Jawabnya, Rp 124 ribu. 

Malu pula untuk bertanya. Tapi aku menduga-duga, mungkin jumlah sate yang dihidangkan terpisah setara dengan 5 porsi alias 40 tusuk. Kalau begitupun, kata salah seorang di antara kami setelah kami pergi dari kedai itu, harusnya harganya baru 5 x Rp 22 ribu seperti yang tertulis di gerobak sate. Jadi bagaimana perhitungan sebenarnya, tidak ada di antara kami yang tahu, karena tidak bertanya. 

Memang seyogianya, pemilik rumah makan menyediakan daftar harga. Dan pembeli, kalau merasa ada yang kurang jelas, jangan malu untuk bertanya.

****                                         

Selasa, 18 November 2014

BBM Naik Lagi

BBM Naik Lagi  

Harga BBM dinaikkan lagi. Sejak rencana kenaikan harganya disebut-sebut oleh petinggi baru negeri ini harga kebutuhan masyarakat sudah lebih dahulu naik. Betapa melelahkannya kenaikan-kenaikan harga itu bagi rakyat kecil. Rakyat boleh protes tapi hasilnya hampir tidak pernah ada. Pernah harga BBM itu diturunkan kembali sesudah dinaikkan, misalnya dari Rp 6000 per liter kembali ke Rp 4500 per liter. Namun harga barang-barang, ongkos transport tidak ikut turun ketika itu. Dan ketika harganya dinaikkan lagi menjadi Rp 6500 per liter harga-harga berikut ongkos transport kembali dinaikkan. Benar-benar sangat menyakitkan, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Kenaikan harga BBM kali ini (sebesar 30% untuk premium) terasa ganjil karena dilakukan pemerintah yang baru sebulan berkuasa di tengah turunnya harga minyak mentah dunia  dari US$ 110 per barrel ke level US$ 76 per barrel. Di saat negara lain menurunkan harga BBM, Indonesia malah menaikkannya. Sepertinya ada yang tidak beres dalam keputusan kali ini. 

Seorang kemenakan yang biasa menggunakan jasa angkutan bus untuk pergi ke tempat kerjanya langsung merasakan akibat kenaikan harga BBM yang diberlakukan tengah malam kemarin. Ongkos bus yang biasanya Rp 6000, hari ini naik jadi Rp 8000. Bagi pengemudi bus, tidak ada pilihan lain. Kita belum tahu bagaimana ongkos transport yang lain. Tapi hampir bisa dipastikan bahwa harga-harga belanjaan akan ikut naik. Karena pengalaman-pengalaman terdahulu membuktikan demikian.

Inilah pengalaman negara tercinta ini yang tidak pernah berubah. Nilai uang rupiah tidak pernah bisa bertahan stabil karena selalu saja disentak dengan kenaikan-kenaikan harga yang dilakukan pemerintah. Entah kenaikan harga BBM, kenaikan tarif listrik, kenaikan tarif jalan tol, atau devaluasi nilai tukar rupiah itu sendiri. Kita heran, bahwa negara sebesar Cina dan India dengan jumlah penduduk jauh lebih banyak dapat mempertahankan nilai tukar mata uangnya. Sedangkan kita? Entah dimana salahnya. 

Apakah yang akan terjadi di hari-hari yang akan datang sesudah kenaikan harga BBM kali ini? Wallahu a'lam. Kita hanya berharap agar tidak timbul gejolak yang berujung pada tindakan merusak di tengah masyarakat.

****

         

Senin, 17 November 2014

Wisata Ranah .... (lanjutan)

Wisata Ranah .... (lanjutan)  

Jam 4 subuh aku terbangun, langsung ke kamar mandi dan berwuduk. Lalu kubangunkan istri untuk bersiap-siap pula. Aku memperkirakan waktu subuh kurang dari jam setengah lima. Jam 4.20 pintu kamarku diketuk. B bertiga rupanya sudah siap untuk berangkat. Kami memang telah berniat untuk pergi shalat subuh ke mesjid subuh ini. Untuk sampai di mesjid Raya di Pasa Ateh (Pasar Atas) hanya perlu waktu kurang dari 5 menit. Jam setengah lima kurang kami sudah sampai di sana. Mesjid itu terang benderang tapi tidak ada satu orangpun di dalam. Jadi kami adalah jamaah pertama yang hadir di subuh itu. Ternyata azan subuh baru dikumandangkan jam 4.40. Bersahut-sahutan antara beberapa mesjid berdekatan.   

Bacaan imam shalat subuh itu sangat indah dan tartil. Sehabis zikir dan doa sesudah shalat ada ta'lim yang disampaikan ustadz yang lain. Kami mendengar ta'lim itu sampai selesai. Sudah mulai terang waktu kami keluar dari mesjid. Sekarang kami menuju ke Taluak - Jambu Ayia, di jalan arah ke Padang untuk sarapan di sebuah warung. Keistimewaan warung itu adalah hidangan sup panas untuk sarapan. Sebuah makan pagi yang lumayan berat. Setelah sarapan, kami kembali ke hotel.  

Jam delapan kami mulai kunjungan wisata untuk hari itu. Pertama sekali kami mampir lagi ke Pesantren di Koto Tuo untuk melihat keadaannya di waktu siang. Cuaca cukup cerah. Gunung Marapi dan Singgalang terlihat utuh di sebelah selatan. Indah dan gagah sekali. Murid-murid sedang belajar di kelas masing-masing. Aku menyempatkan berbincang-bincang sebentar dengan ustadz A, kepala sekolah.

Seterusnya kami lanjutkan perjalanan menuju Lembah Harau. Kami berkendaraan dengan santai. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang di pagi itu. Jam setengah sepuluh kami sampai di Harau, di dekat air terjun utama. Hanya kami pengunjung pagi ini. Kami beristirahat di sebuah warung di depan air terjun, sambil memandang air yang jatuh cukup deras. 



Kami tidak lama di Harau. Tujuan berikutnya adalah Pagaruyung. Dari Harau kami susuri kembali jalan ke Payakumbuh, terus arah ke Bukit Tinggi. Di Piladang, kami berbelok ke kiri menuju Batusangkar, dan akhirnya terus ke Istano Basa Pagaruyung. Tempat ini pernah kami kunjungi (aku dan B dalam rombongan karyawan Total) di tahun 2003. Istano yang lama sudah terbakar tahun 2007. Yang kami kunjungi kali ini adalah bangunan baru pengganti yang terbakar.  

Azan zuhur berkumandang ketika kami masih di rumah gadang Istano Basa ini. Kami segera menuju mesjid yang terletak beberapa puluh meter dari sini. Sesudah shalat kami tinggalkan Pagaruyung. Kali ini menuju Padangpanjang dan kampung Ombilin di tepi danau Singkarak.  

Jalan mulus dan berliku menuju Padangpanjang. Tidak banyak kendaraan sehingga kami dapat melaju dengan santai. Melewati kampung Ombilin beberapa kilometer, kami berhenti di pinggir danau. Memandang keelokan danau Singkarak dengan airnya yang lebih bersih dibandingkan air danau Maninjau karena di sini tidak ada keramba tempat pemeliharaan ikan. 

Setelah berhenti di pinggir danau itu lebih kurang 20 menit kami berputar arah, kembali menuju Padangpanjang. Kunjungan ke kota ini khusus untuk singgah ke kedai sate mak Syukur. Saat itu sudah hampir jam tiga siang. Sudah lumayan lapar.

Dari kedai sate kami lanjutkan perjalanan pulang ke Bukit Tinggi.

****                          

Minggu, 16 November 2014

Wisata Ranah Dan Mengunjungi Ma'had Syekh Ahmad Khatib

Wisata Ranah Dan Mengunjungi Ma'had Syekh Ahmad Khatib

Sudah lama seorang teman (yang adalah donatur pembangunan Ma'had Syekh Ahmad Khatib) ingin berkunjung ke sekolah itu di Koto Tuo Ampek Angkek Bukit Tinggi. Namanya B, seorang rekan sekerja di Balikpapan dan Jakarta, sejak hampir 30 tahun yang lalu. Dia bukan orang Minang tapi sudah pernah berkunjung ke Bukit Tinggi sebelumnya. Alhamdulillah, hari Senin tanggal 10 November yang lalu kunjungan itu terlaksana. Kami berangkat dari bandara Soeta Jakarta  dengan pesawat Citilink yang take off jam 7.30 pagi. 4 orang alias dua pasang. Jam sembilan lewat beberapa menit kami sudah mendarat di bandara Minangkabau. Rupanya putera sulung mereka, yang bekerja di Balikpapan juga menyusul, langsung dari Balikpapan. Pesawatnya mendarat setengah jam setelah kedatangan kami. 

Sebuah mobil Avanza sudah aku pesan dari beberapa hari sebelumnya dan sudah siap di bandara. Sudah lewat jam sepuluh ketika kami meninggalkan bandara. Setelah mampir mengisi bensin kami berhenti lagi di rumah makan Lamun Ombak beberapa kilometer dari bandara arah ke Bukit Tinggi. 

Setelah itu kami lanjutkan perjalanan. Di Lubuk Alung kami berbelok ke kiri arah ke Pariaman. Sampai di Pariaman pas saat berkumandang azan zuhur. Kami berhenti untuk shalat di sebuah mesjid, ikut berjamaah dan setelahnya menjamak shalat asar. Lalu meneruskan lagi perjalanan melalui Tiku, Lubuk Basung dan Maninjau. Di Maninjau kami berhenti sebentar untuk minum teh di sebuah restoran di tepi danau. Tercium lamat-lamat bau anyir. Beberapa pekan yang lalu ada berita bahwa berton-ton ikan di keramba mati di danau ini.

Kami daki kelok 44 dari Maninjau. Cuaca agak mendung dan hujan rintik-rintik. Kami lintasi kelok demi kelok itu. Terlihat kawanan monyet di pinggir jalan di kelok ke 13. Di bagian atas terlihat awan dan kabut. Meskipun udara berkabut dan berawan kami singgah juga ke Puncak Lawang. Ternyata pemandangan benar-benar ditutupi awan putih dan pandangan tidak lebih dari sepuluh meter. 


Dari Puncak Lawang kami terus melewati Lawang, Matur dan terus ke Bukit Tinggi di bawah siraman hujan rintik-rintik. Jam setengah lima kami sampai di Bukit Tinggi. Sudah agak gelap karena hujan. Aku salah orientasi ketika mencari hotel Graha Muslim tempat kami akan menginap yang tadinya aku pikir di jalan arah ke Payakumbuh, yang ternyata terletak di jalan Lambau. Yang ternyata di tanah perumahan tempat tinggal kami (orang tuaku) tahun 1958. Aku menyadarinya karena hotel itu berhadap-hadapan dengan Kantor Pertanian. 

Setelah bertanya dan diberitahu dimana lokasi hotel Graha Muslim, kami yang telah terlanjur mengarah ke Payakumbuh, meneruskan saja perjalanan ke kampungku di Koto Tuo Balai Gurah, tempat berdirinya Ma'had Syekh Ahmad Khatib. Kami sampai di sekolah itu menjelang maghrib. Hari masih saja hujan. 

Setelah shalat maghrib kami berbincang-bincang dengan ustad A, pimpinan sekolah. Pak B dan istrinya cukup terkesan melihat keadaan Ma'had dan santri-santrinya. Kami menyaksikan santri-santri itu makan 'berjamaah', berkelompok-kelompok 6-7 orang menghadapi piring besar. Mereka terlihat  ceria.  

Jam 7 kami tinggalkan pondok pesantren itu untuk kembali ke Bukit Tinggi, ke hotel Graha Muslim tempat kami menginap. Sebuah hotel sederhana dan murah tapi cukup bersih. Ada air panas di kamar mandinya, sesuatu yang sangat diperlukan di Bukit Tinggi yang  dingin apalagi di bawah guyuran hujan. 

Jam 8 kami keluar ke rumah makan Simpang Raya dekat tanah lapang Kantin untuk makan malam. Tidak lupa mencicipi ampiang badadiah yang rupanya disukai oleh B. 


(akan disambung)

****                                    

Jumat, 07 November 2014

Siapa Yang Harus Lebih Ditaati Istri, Suami Atau Orang Tua

Siapa Yang Harus Lebih Ditaati Istri, Suami Atau Orang Tua 

Wanita-wanita yang menganut faham kesetaraan pria dan wanita tidak akan senang dengan bahasan ini. Karena bagi mereka yang fanatik dengan pemahaman tersebut tidak ada istilah 'ketaatan' istri kepada suami. Istri dan suami adalah setara, harus saling setia, saling menghormati, tidak boleh seorang suami dilebih-lebihkan kedudukannya atau tidak boleh seorang istri direndah-rendahkan wibawanya. Begitu konon pendapat mereka.

Di dalam Islam, ketaatan istri terhadap suami itu diatur dengan sangat jelas. Firman Allah Ta'ala dalam surah An Nissa' ayat 34: Pria menjadi pemimpin terhadap wanita...... Dan beberapa hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam seperti berikut:  "Ad dunya mata', wa khairu mata'iha al mar'atus shalihat." (Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah isteri shalihat).  "Wanita shalihat adalah yang menyenangkan bila dipandang, taat bila disuruh dan menjaga apa-apa yang diamanahkan padanya." Hadits yang lain "Jika seorang isteri shalat lima waktu, shaum di bulan Ramadhan dan menjaga kehormatan dirinya serta suaminya dalam keadaan ridha padanya saat ia mati, maka ia boleh masuk surga lewat pintu yang mana saja." (HR Ahmad dan Thabrani).  "Jika manusia boleh menyembah manusia lainnya, maka aku perintahkan isteri menyembah suaminya." (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Tersebutlah kisah, suatu ketika  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa si Fulanah adalah seorang wanita penghuni surga. Fathimah puteri beliau penasaran dengan pernyataan Rasulullah tersebut dan mencoba menyelidiki apa keistimewaan si Fulanah. Datanglah beliau (Fathimah) mengunjungi rumah wanita itu ditemani putera beliau Hasan. Setelah mengetok pintu, terjadilah dialog singkat menanyakan siapa yang datang. Fathimah memberi tahu siapa dirinya. Fulanah bertanya lagi, dengan siapa anda datang. Fathimah menjawab, dengan puteraku Hasan (yang masih kanak-kanak ketika itu). Jawab Fulanah, kalau begitu aku tidak bisa menerima kedatangan anda, karena anda datang dengan seorang laki-laki. Suamiku beramanah agar aku tidak menerima tamu laki-laki datang ke rumah ini. 

Beberapa waktu kemudian, Fathimah datang kembali sendirian, dan diizinkan masuk. Fathimah bertanya, apa keistimewaan amalan Fulanah sehingga sampai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa dia adalah seorang wanita ahli surga. Tidak ada yang istimewa, kecuali ketaatannya kepada suaminya. Setiap kali suaminya pulang dari perjalanan mencari nafkah disambut dan dilayaninya dengan sebaik-baiknya. Dan yang mengherankan, wanita itu juga menyediakan sebuah cambuk. Fathimah menanyakan apa kegunaan cambuk tersebut dan dijawab, bahwa cambuk itu disiapkannya untuk suaminya seandainya si suami ingin mendera dirinya jika menurut penilaian suami layanannya tidak menyenangkan. Fathimah bertanya, seringkah suaminya menderanya. Jawab wanita itu, belum pernah sekali juga. 

Dan kisah lain. Tersebutlah seorang wanita yang sedang ditinggal pergi suaminya mencari nafkah ke perantauan yang jauh. Suatu hari datanglah utusan orang tua wanita itu membawa kabar bahwa ibunya sedang sakit dan memintanya pulang mengunjungi ibunya tersebut. Jawab wanita itu, tolong sampaikan salam hormatku kepada ibuku, aku mohon maaf karena tidak bisa mengunjungi beliau saat ini, karena suamiku melarangku meninggalkan rumah ini. Beberapa hari kemudian datang pula utusan yang sama, kali ini membawa kabar bahwa kesehatan ibunya semakin buruk, memintanya untuk pulang. Wanita itu terlihat sangat sedih, tetapi jawabannya masih sama, dia mohon maaf tidak bisa mengunjungi ibunya. Beberapa hari lagi kemudian, utusan itu datang lagi, kali ini memberitahu bahwa ibunya sudah meninggal. Wanita itu larut dalam kesedihan tapi kepada utusan itu jawaban masih tetap sama. Dia tidak bisa pulang ke rumah orang tuanya. Cerita ini akhirnya disampaikan orang kepada  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jawaban beliau shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bahwa kedua wanita, ibu dan anak itu insya Allah adalah penghuni surga. Sang ibu adalah wanita shalihah yang telah mendidik puterinya menjadi seorang muslimah yang taat. Sang puteri adalah seorang yang amanah dan taat kepada perintah suaminya.

Wallahu a'lam.

****

                                        

Rabu, 05 November 2014

Mana Yang Harus Diutamakan, Suami Menafkahi Istri Atau Ibu Kandungnya? (Dari Islamedia.com)

Mana yang Harus Diutamakan, Suami Menafkahi Istri atau Ibu Kandungnya?

Islamedia.co -  Assalamualaikum wr. Wb. Ustad/ustadzah saya Iva, wanita dan sudah menikah. Saya bekerja dan memiliki anak 1 masih balita. Saya ingin bertanya, bagaimana Islam memandang apabila dalam rumah tangga istri harus memenuhi kebutuhan sendiri & anak, dikarenakan suami harus membyar cicilan pinjaman di bank dan memberikan nafkah ke ibunya, sedangkan ibu mertua mampu dan masih dapat nafkah dari bapak mertua dan dari kakak ipar setiap bulannya. Suami takut ibunya marah jika tidak dikasih. Jadi suami tidak bisa menafkahi istri dan anak. Apakah dalam Islam berdosa ustad/ustadzah ? Apakah Islam memandang apabila tidak memberi nafkah ke ibunya, suami saya berdosa ? Apakah tidak bisa memberi nafkah istri dan anak termasuk mendzalimi istri dan anak ? Mana yang harus didahulukan istri dan anak atau ibunya? Sebelum menikah saya seorang yatim dan saya juga masih menjadi tulang punggung keluarga untuk menafkahi ibu saya dan adik saya sampai saat ini. Bagaimana Islam memandang permasalahan ini, mohon jwabanya ustad/ustadzah. Sukron. Wassalam,

Jawaban

Assalamu alaikum wr.wb Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba'du:

Dalam Islam jelas bahwa seorang suami bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat an-Nisa ayat 34 dan al-Baqarah 233.    Meskipun kondisi isteri mampu, berkecukupan, bahkan kaya, kewajiban untuk memberikan nafkah keluarga tetap menjadi tanggung jawab suami, kecuali kalau isteri ridha dg keadaan yang ada. Namun jika tidak, dan suami tetap tidak mau memberikan nafkah kepada isteri dan anak, maka sang suami berdosa. Rasul saw bersabda, "Cukuplah seseorang mendapat dosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya."

Selanjutnya seorang suami memang dituntut untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anak, serta kepada kedua orang tuanya jika mereka berada dalam kondisi membutuhkan dan kekurangan. Kalau suami bisa memenuhi kebutuhan mereka semua, maka wajib baginya untuk memenuhi.    Namun jika penghasilan atau hartanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan semua, maka harus ada prioritas. Yaitu yang harus didahulukan adalah isteri dan anak yang memang berada dalam tanggung jawab utamanya sebagai seorang suami. Hal ini berdasarkan sabda Rasul saw, "Mulailah dari dirimu dengan bersedekah (memberikan nafkah) untuknya. Lalu jika ada yang tersisa maka untuk keluargamu (isteri dan anakmu). Jika masih ada yang tersisa, maka untuk karib kerabatmu (orang tua, saudara dst), dan begitu seterusnya."

Imam an-Nawawi berkata, "Apabila pada seseorang berhimpun orang-orang membutuhkan dari mereka yang harus ia nafkahi, maka bila hartanya cukup untuk menafkahi semuanya, ia harus menafkahi semuanya, baik yang dekat maupun yang jauh. Namun apabila sesudah ia menafkahi dirinya, yang tersisa hanya nafkah untuk satu orang, maka ia wajib mendahulukan isteri daripada karib kerabatnya yang lain...(Raudhah ath-Thalibin).

Melihat pada kasus Anda, hendaknya suami mendahulukan yang menjadi kewajibannya, yaitu menafkahi isteri dan anak. Jika kondisinya benar-benar tidak mampu menafkahi ibunya, maka suami tidak berdosa karena Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya. Hanya saja, hal ini harus dibicarakan secara baik-baik disertai dg pemberian pemahaman. Kalau ibu masih tetap bersikeras untuk mendapat nafkah suami, sementara Anda sebagai isteri ridha demi untuk menjaga keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga, maka Anda mendapatkan pahala yang besar insya Allah. Namun jika tidak ridha, Anda berhak untuk menuntut suami.   Semoga Allah memberikan keberkahan dan jalan keluar terbaik bagi Anda sekeluarga.

Wallahu a'lam.

Wassalamu alaikum wr.wb.

Tim syariahonline.com