Kamis, 13 Agustus 2015

Berhutang

Berhutang

Sesuatu yang pantas aku syukuri adalah ketidaksukaanku berhutang. Bukan berarti aku tidak pernah berhutang. Tentu saja pernah. Seperti ketika aku jadi mahasiswa kere dulu di Bandung. Yang adakalanya karena sangat terdesak terpaksa berhutang kepada teman. Tapi aku tidak merasa tenang kalau sedang terlibat dalam hutang. Dan ingin cepat-cepat melunasinya. Setelah bekerja dan memperoleh gaji tetap aku tidak pernah mau berhutang, kecuali hutang yang memang diskenariokan seperti pinjaman lunak untuk membeli rumah dari perusahaan yang cicilannya dilakukan dengan pemotongan gaji. 

Aku menggunakan kartu kredit alias kartu berhutang sejak tahun-tahun 1980an. Kartu ini memudahkan ketika bepergian dalam tugas, seperti untuk membayar hotel ataupun berbelanja yang perlu-perlu selama dalam perjalanan. Begitu tagihannya datang beberapa hari kemudian, aku segera melunasinya. Tidak sekalipun aku mau mencicil pembayarannya karena dengan mencicil aku akan dikenai bunga, yang adalah riba. Hal yang sangat aku hindari.

Aku melihat kebiasaan berhutang itu sebagai sebuah masalah kejiwaan. Aku mengenal orang yang sangat senang berhutang entah melalui pemakaian kartu kredit ataupun langsung meminjam entah ke bank atau ke pribadi-pribadi. Berhutang dengan kartu kredit atau ke bank sudah pasti dikenai bunga. Dan biasanya pula bunga berbunga. Yang kalau tidak pandai-pandai merencanakan pembayarannya hutang itu akan semakin besar dan mencekik.

Kebalikannya, aku juga pernah dihutangi. Baik dalam jumlah kecil maupun dalam jumlah cukup besar (relatif). Pengalaman dengan mereka-mereka yang berhutang ini hampir seragam. Betapa susahnya mereka untuk membayar. Entah benar-benar susah karena tidak mampu atau karena sengaja melupa-lupakan, wallahu a'lam. Padahal pinjaman-pinjaman itu tidak berbunga. Seandainya yang dipinjam seribu rupiah, aku berharap akan mereka kembalikan seribu rupiah juga. Dan aku malas untuk menagihnya. Sebenarnya dalam urusan hutang piutang ini, Allah memerintahkan agar ditulis dan disaksikan oleh dua orang laki-laki seperti firman Allah dalam surah al Baqarah ayat 282. Tapi kita, termasuk aku, lalai karena beranggapan bahwa yang berhutang tidak akan melupakan tanggung jawabnya. 

Malas membayar hutang ini mungkin juga merupakan penyakit. Di mesjid kami pernah dibuat baitul maal dari infaq jamaah untuk dipinjamkan kepada mereka-mereka yang ingin membuat usaha kecil-kecilan. Misalnya seperti pedagang sayur, pedagang bakso dan sebagainya. Pinjaman tanpa bunga dan membayarnya dicicil. Dibuatkan surat perjanjian hutang. Sekitar 70% dari dana itu hanyut begitu saja. Peminjamnya enggan untuk mengembalikan.

Seandainya orang-orang yang berhutang tahu, bahwa hutang yang tidak dilunasi di dunia ini nanti di akhirat tetap akan disuruh lunasi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tidak mau menyalatkan jenazah seseorang yang masih terlibat dalam hutang. 

**** 

                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar