Jumat, 22 Juni 2012

Modus Baru Penipuan

Modus Baru Penipuan                                                                                         

Jam enam kurang lima tadi pagi. Telepon berdering. Persis ketika aku sedang menghadapi komputer. Telepon aku angkat dan aku sapa, assalamu'alaikum. Tidak serta merta ada jawaban, ada jeda beberapa detik, tiba-tiba dari seberang sana terdengar suara tangisan disertai ratapan dari seorang remaja laki-laki. 'Pa... pa.. Maaf pa... Aku ditangkap polisi....' Aku berusaha menanya, ini siapa? Karena jelas suara itu bukan suara anakku. Dia tidak menjawab hanya dengan lirih, meratap, 'pa, tolong dong pa...' Aku ulangi pertanyaan sampai tiga kali, menanyakan siapa yang menelpon, karena jelas bukan suara anakku. Tiba-tiba gagang telepon diambil alih oleh seseorang yang berbicara dengan lancar, 'Saya Aiptu..... (aku tidak terlalu memperhatikan namanya) dari kepolisian, dengan bapak siapa saya bicara?' katanya. 'Lho, sampeyan mau berbicara dengan siapa?' aku balik bertanya.

Beberapa detik itu otakku langsung ingat cerita dan pengalaman adikku yang persis sama, terjadinya pada suatu tengah malam. Kebetulan dia memang punya anak laki-laki, katakan saja bernama Joni. Waktu menerima telepon pertama kali, dia menyangka bahwa anaknya Joni itu yang menelpon sambil meratap dan menangis, dan dia bertanya 'kamu dimana Jon?' Nah pada saat itu telepon diambil alih 'seorang polisi' yang memberi tahu bahwa Joni ditangkap karena kedapatan membawa narkoba.

Adikku tidak habis pikir, sejak kapan pula anaknya Joni berurusan dengan narkoba. Tapi, bukankah sering dikatakan bahkan dikhotbahkan khatib di mesjid, anak manis yang kita kenal sangat boleh jadi, karena pandainya bersandiwara, ternyata sudah terlibat dalam penggunaan obat terlarang itu. Dan waktu itu, bukanlah saat yang tepat untuk menyiasat sejak kapan si Joni mengenal narkoba. Dia sedang di tangan polisi, dan urusannya pasti tidak akan sederhana.

Itu pulalah yang ditawarkan oleh Aiptu Fulan kepada adikku waktu itu. Mau si Joni ditahan, atau mau diselesaikan secara kekeluargaan. Kalau diselesaikan secara kekeluargaan maksudnya bagaimana? tanya adikku. 'Bapak transfer saja ke rekening ini, sekian juta (puluh juta), maka Joni kami lepas.'

Suasana berubah jadi mencekam. Adikku sebenarnya masih tidak terlalu yakin bahwa Joni benar-benar sedang ditahan polisi. Tapi istrinya, yang hanya mendengar keterangan sambil adikku berbicara di telepon, terlanjur panik dan hampir pingsan. Suara tangis terisak-isak masih tetap terdengar di seberang sana. Tapi adiku tidak dijinkan lagi berbicara dengan Joni. Bahkan istrinya yang memohon minta bicara dengan anaknya, juga tidak dikasih. Terjadilah tawar menawar malam itu. Adikku tidak punya uang sebanyak yang diminta. Hebatnya, sang Aiptu mau memberikan diskon, cukup sekian saja (berkurang separo dari permintaan mula-mula). Yang anehnya lagi, uang harus ditransfer dan setelah itu Joni baru boleh dijemput.

Sedang mereka tawar menawar itu, adiknya Joni mencoba menghubungi teman satu kost si Joni, untuk menanyakan kebenaran berita itu. Ternyata Joni sedang tidur mendengkur di tempat kostnya. Berakhirlah drama minta uang tebusan secara kekeluargaan tadi, setelah adikku sempat juga memperolokkan si penelpon, menyuruhnya datang saja menjemput uang tunai ke rumah. 

Cerita adikku ini yang teringat olehku tadi pagi. Ketika sang aiptu bertanya, 'maaf, dengan bapak siapa saya bicara?' Aku balas bertanya, 'Lha, sampeyan mau bicara dengan siapa?' Ketika dia mengulangi lagi bahwa ini dari kantor polisi, aku langsung menutup telepon.  

****                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar