Senin, 03 Oktober 2011

Fatwa

FATWA

Kata-kata fatwa jadi bahan pembicaraan. Tiba-tiba ada fatwa tentang ini, tentang itu. Tentang yang boleh dan tidak boleh. Tentang sesuatu yang sah dan tidak sah. Fatwa maksudnya adalah penjelasan. Fatwa keluar ketika ada keragu-raguan di sementara orang. Ketika ada pertanyaan. Yang mengeluarkan fatwa tentulah orang yang mumpuni. Yang punya pengetahuan tentang yang ditanyakan. Kadang-kadang dalil pengetahuan itu cukup luas sehingga jadi sangat lentur dan masih berkisar di arena keragu-raguan. Atau sebaliknya tidak memuaskan yang bertanya.

Orang awam selalu saja banyak bertanya. Banyak ragu-ragu. Bukan saja mengenai sesuatu yang  tidak terlalu jelas dalilnya tetapi kadang-kadang sesuatu yang sudah terang benderang.  Maka keluarlah keterangan dari orang yang diakui mempunyai pengetahuan tentang masalah yang dipertanyakan.

                                                                        *****

Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah ‘kumpulan’ para ulama. Sesuai dengan namanya, sebuah majelis para ulama. Tempat para ulama duduk bermusyawarah. Mencari keterangan bersama-sama tentang pertanyaan yang timbul di tengah-tengah umat. Pertanyaan umat itu, sudah sejak jaman para khalifah sesudah Rasulullah Saw adakalanya seperti main-main. Kepada Khalifah Umar bin Khaththab  ada yang bertanya, bagaimana cara wudhu’ wanita yang kebetulan berjanggut lebat? Perlukah wanita itu menggosok-gosok janggutnya pula seperti halnya laki-laki?

Ada pertanyaan kepada para ulama di Indonesia tentang hal yang ‘aneh-aneh’. Ulama wajib memberikan jawaban dan keterangan. Sayangnya, jawaban itu kadang-kadang tidak memuaskan semua fihak. Ada yang tersinggung. Ada yang protes lagi. Lebih hebatnya lagi ada yang menghujat dan memaki.

                                                                        *****

Timbul pertanyaan, seperti yang sedang dihebohkan. Bagaimana hukumnya merokok? Ada yang berpendapat boleh dengan syarat. Ada yang berpendapat tidak boleh. Ada yang berpendapat  boleh saja. Mereka datang kepada ulama untuk bertanya. Ulama agak terpojok juga untuk menjawab karena, di antara para ulama itu ada yang merokok. Maka dibahas bersama-sama. Dikaji manfaat dan keburukannya. Dibandingkan dengan kondisi di zaman Nabi SAW. Ramai pembahasan. Tapi intinya, merokok itu membawa keburukan. Membawa mudharat. Menimbulkan bahaya. Meski terlibat dalam sebuah debat akhirnya para ulama itu bersepakat untuk menetapkan pendapat. Pendapat inilah yang diberikan untuk menjawab pertanyaan orang yang bertanya. Itulah fatwa rokok.

Ternyata heboh. Ada orang yang menilai Ulama kurang kerjaan dan terlalu iseng. Lalu bagaimana seharusnya ? Apakah kalau ada umat bertanya dijawab saja tidak tahu ? Padahal di antara umat yang bertanya itu bersungguh-sungguh ingin mendapatkan keterangan untuk dijadikan pertimbangan. Antara akan berhenti merokok atau terus merokok.

Timbul pula pertanyaan. Wahai ustad, bagaimana hukumnya tidak ikut memilih dalam pemilu ? Lalu bagaimana harusnya ustad itu menjawab? Apakah ulama cukup menjawab tidak tahu saja? Atau menjawab sekedar jawab saja tanpa dalil? Karena beliau-beliau itu merasa tanya harus dijawab untuk kebaikan umat maka dijawablah pertanyaan itu. Perintah Rasulullah, seandainya kalian berjalan berdua, maka hendaklah kalian jadikan satu orang jadi pemimpin. Apalagi kalau kalian berjamaah. Kalau kalian kumpulan orang banyak. Begitu untuk shalat, begitu juga untuk bermasyarakat. Artinya, hendaklah angkat seorang pemimpin. Entah itu ketua RT, ketua RW, Lurah, Wali Nagari dan sebagainya. Sebab nanti kalian akan memerlukannya. Kalian akan memerlukan seseorang tempat kalian nanti menguji kebenaran. Minta keadilan. Itu gunanya.

Jadi kalian harus ikut menentukan siapa yang kalian cenderungi untuk memimpin. Dengan kata lain, wajib hukumnya berpartisipasi dalam menentukan pemimpin. Kebalikan dari wajib itu, haram. Haram artinya terlarang. Terlarang hukumnya bagi kalian masak bodoh saja. Terlarang kalian tidak mau tahu dengan urusan mengangkat pemimpin.

Ternyata heboh pula. Keluar pula sumpah serapah. Ulama ikut-ikut pula berpolitik. Padahal, ulama menjawab orang yang bertanya.

Hebatnya lagi di antara yang memaki dan menyumpah itu cenderung mengatakan bahwa aturan agama, ketentuan al Quran, firman Allah sudah tidak lagi relevan. Tidak jamannya lagi. Mereka merasa lebih hebat. Lebih moderen. Lebih tahu dari sekedar keterangan al Quran. Kata al Quran jangan dekati zina. Mendekati saja dilarang. Kata al Quran boleh kalian menikahi wanita sampai empat. Lalu ada yang merasa berzina lebih baik dari menikahi wanita sampai empat. Karena zaman sudah berubah. Na’utzubillah.

Ya boleh-boleh saja kalau memang maunya seperti itu. tapi sadarkah orang-orang seperti ini bahwa masih banyak umat yang berfikir sebaliknya? Mereka ingin berhati-hati dalam kehati-hatian yang sungguh-sungguh untuk urusan dunia dan akhirat? Sehingga dalam keragu-raguan mereka bertanya? Mereka bertanya kepada orang yang mereka ketahui lebih berpengetahuan dari mereka? Mereka bertanya kepada ulama. Dan jawaban para ulama itu memang mereka nantikan.

                                                                        *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar