Kamis, 21 Februari 2019

Di Balik Sulitnya Menasehati Pendukung Fanatik Petahana

(Sebuah tulisan yang sangat menarik)

DI BALIK SULITNYA MENASEHATI SEBAGIAN PENDUKUNG FANATIK PETAHANA
By: Ichsanudin Noorsy
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi saya berinteraksi (sekedar ngobrol dan berdebat) dengan kelompok “pemuja” petahana. Saya beri istilah “pemuja”, karena mereka ini sudah menganggap petahana satu-satunya sosok yang akan menyelamatkan Indonesia. “Ratu Adil”-lah istilahnya.
Petahana tidak ada cacat sedikitpun bagi mereka. Ketika ditunjukkan kebodohan, kebohongan dan kegagalan petahana mereka tetap tak bergeming. Pernah saya tunjukkan beberapa video petahana yang gagap dan gugup di depan kamera saat menjawab pertanyaan wartawan.
Pernah juga saya tunjukkan betapa petahana mengaku tidak membaca apa yang ditandatangani nya, mengaku IPK nya tidak lebih dari 2, sampai ketidakmampuan beliau berbahasa asing.
Berbagai macam data yang seharusnya menggiring pemahaman bahwa petahana tidak kompeten atau tidak smart, tidak diindahkan oleh mereka. Awalnya saya tidak ambil pusing, karena itu biasa.
Saya pikir, ini adalah fenomena defens mechanism saja. Namun, saya melihat argumentasi menarik dari mulut mereka, yang menggiring saya pada kesimpulan bahwa defense mereka bukan defens biasa.
Saya ingat salah satu teori tentang perilaku relijius orang-orang pagan (penyembah berhala). Mereka menyembah benda-benda, atau makhluk-makhuk seperti hewan dan tumbuhan, bukan karena akal tapi mereka yakin bahwa yang disembah itu mampu memberikan kebaikan.
JIka dipikir dengan akal, maka mereka tahu bahwa benda dan makhluk yang disembah itu tidak logis dapat memberikan kebaikan kepada mereka. Namun mengapa terus disembah? Pakar psikologi agama mengatakan, justru karena tidak logis itulah maka berhala-berhala itu disembah. Para penyembah berhala itu disebut sebagai orang-orang yang “mabuk keajaiban”.
Mereka adalah orang-orang yang menyukai keajaiban secara berlebihan. Sebagai contoh, untuk menjelaskan kejaiban yang dimaksud: para penyembah berhala itu tahu, kalau ingin kaya, mereka harus bekerja dengan rajin. Jadilah pedagang atau jadilah pegawai. Namun itu rasional, bukan keajaiban.
Ajaib itu menjadi kaya dengan menyembah batu! Tidak masuk akal, namun justru itulah yang namanya keajaiban. Kalau masuk akal, itu bukan keajaiban tapi logis/rasional.
Saya perhatikan, dinamika psikologis inilah yang berkerja dalam otak kelompok pemuja petahana tersebut. Semakin ditunjukkan bahwa petahana memiliki kekurangan-kekurangan dan tidak logis kalau beliau dapat memperbaiki Indonesia, semakin mereka bersemangat mendukung petahana.
Beberapa diantara mereka mendebat dengan nasehat adiluhung orang Jawa, “wong pinter ora mesthi bener, wong bener ora mesthi pinter”.
Mereka mau mengatakan, “ya, petahana memang bodoh, tapi dia orang yang benar”. Padahal nasehat Jawa itu maksudnya, “wong (sing ketok) pinter ora mesthi bener, wong sing bener (ora kudu ketok) pinter”, karena tidak mungkin orang dapat mencapai kebenaran tanpa ilmu, dan orang yang pintar adalah orang yang berilmu.
Para pendukung jenis ini, akan semakin khusyuk membela petahana justru ketika ada bukti kekurangan petahana. Bagi mereka, dunia ini berjalan tak logis dan semuanya bertentangan. Dengan kondisi hutang melambung tinggi, BUMN merugi, nilai tukar rupiah yang cenderung melemah, harga-harga naik, dan kepercayaan terhadap pemerintah menurun, masih ada pemuja-pemuja yang percaya bahwa petahana mampu membalikkan keadaan.
Padahal kualitas pribadi beliau secara intelektual lemah, literasinya kurang, gagap dan gugup jika tampil tanpa teks, pergaulan dunianya kurang berwibawa, dan boneka partai. Namun justru kualitas-kualitas itulah yang membuat mereka semakin berharap keajaiban, “bisa saja orang ini yang justru yang menyelamatkan Indonesia”. Itulah sebabnya Ruhut mengatakan, “Joko wi adalah rahmat Tuhan untuk Indonesia”.
Perilaku seperti ini bukan barang baru di Indonesia. Ingatlah Ponari, dukun cilik yang dikabarkan mampu menyembuhkan segala macam penyakit dengan sebuah batu.
Masuk akal? Tidak! 

Tapi justru itulah yang mendorong orang-orang datang untuk merasakan keajaiban. Kalau Ponari itu seorang dokter spesialis dengan gelar akademik doktor (S3), pasti yang datang tidak sebanyak itu. Kenapa? 
Kalau dokter bisa menyembuhkan penyakit, itu bukan keajaiban. Itu logis! Biasa!

Saya sering tersenyum, namun berterima kasih atas perhatian kawan dan murid-murid saya yang menasehati, “Pak, jangan sering ngatain orang dungu. Tidak baik”. Namun, bagi saya, tidak ada kata yang pas untuk perilaku seperti ini selain “dungu”, karena mereka menolak ajakan berpikir logis, dan malah memaksa akalnya berpikir terbalik.
Mengapa bisa begitu? Jiwa mereka mabuk keajaiban. Orang yang mabuk, selalu ingin merasakan sesuatu yang memabukkan itu. Kalau sesuatu yang memabukkan itu berupa khamr, maka khamr lah yang diinginkan. Dalam kasus ini, sesuatu yang memabukkan itu adalah “keajaiban”, maka keajaiban akan menjadi klangenan buat mereka.
Terakhir, saya ingin mengingatkan, buat kawan-kawan muslim yang masih mabuk keajaiban. Sadarlah! Ingat, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallama mukjizat terbesarnya ialah Al-Qur’an. Beliau, shalallaahu ‘alaihi wa sallama, tidak memfungsikan Al-Qur’an sebagai alat pertunjukkan (show) keajaiban kepada orang beriman.
Beliau tidak pernah terbang walaupun kalau beliau minta kepada Allah, pastilah dikabulkan. Beliau tidak membelah lautan seperti Nabi Musa a.s., tidak pula tahan dibakar api seperti Nabi Ibrahim a.s. Mengapa? Karena keajaiban-keajaiban itu ditujukan untuk orang-orang yang sulit memahami kebenaran dengan akalnya.
Sedangkan Rasulullah shalallaahu ’alaihi wa sallama menunjukkan mukjizat Al-Qur’an kepada orang-orang beriman dengan penjelasan rasional, sehingga keyakinan itu menancap kuat dalam sanubari orang beriman.
Jangan biasakan akalmu mabuk keajaiban, karena itu sama dengan menutup pintu hidayah. Bagaimana Al-Qur’an yang logis dan rasional itu dapat diterangkan kepada otak yang sudah dibiasakan mabuk keajaiban, kawan? Please...

Suka
Komentari
Komentar


Tulis komentar...

Senin, 18 Februari 2019

Sadar Bahwa Sudah Tua

Sadar Bahwa Sudah Tua

Seorang teman mengeluh bahwa ternyata sudah banyak yang hilang atau berkurang pada dirinya. Tenaga sudah tidak seperti dulu lagi, kesehatan sudah semakin rapuh, dan... penampilan tubuhnya sudah semakin tua... Pada saat yang sama dia teringat tentang keperkasaannya dulu. Dulu dia seorang olahragawan bertubuh atletis. Sampai suatu saat dia diperingatkan dokter bahwa dia mengidap penyakit gula, ketika usianya masih sekitar empat puluhan akhir. Dia berusaha untuk mengendalikan selera makannya sejak saat itu yang alhamdulillah sangat membantu untuk menjaga kesehatannya.

Apa yang dirasakannya sebenarnya adalah sesuatu yang biasa-biasa saja, yang sangat umum dialami oleh kebanyakan orang. Di usia menjelang tujuhpuluh tahun, lalu terasa banyak yang sudah hilang dari kesanggupan tubuh kita adalah sesuatu yang wajar. Karena memang seperti itu yang sudah ditetapkan Allah sebagaimana firmannya dalam surat Ar Ruum ayat 54; 'Allah yang telah menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian menjadi kuat, kemudian menjadi lemah dan beruban,,,,'

Kita terlahir dalam keadaan lemah tak berdaya. Lalu dijadikan Allah kuat dan bertenaga sampai usia tertentu, dan setelah itu dijadikan Allah kembali lemah sebelum akhirnya kita dikembalikan kepada Nya. Seperti itu siklus kehidupan rata-rata manusia. 

Justru pada saat menyadari bahwa kita sudah mulai dijadikan lemah oleh Allah seharusnya kita sadar bahwa kita sudah makin mendekati garis finish. Maka seyogianya semakin ditingkatkan persiapan untuk menghadap Allah. Diperbanyak amal shalih. Tidak usah dikenang dan dikhayalkan juga keperkasaan di masa lalu, yang sekarang sudah jauh tertinggal dalam kehidupan kita. 

****

Jumat, 15 Februari 2019

Setali Pembeli Kemenyan

Setali Pembeli Kemenyan

Ini adalah sebuah pantun lama, 

Setali pembeli kemenyan
Sekupang pembeli ketaya
Sekali lancung ke ujian
Seumur hidup orang tak percaya

Sebuah pantun nasihat, agar seseorang itu senantiasa memelihara kepercayaan. Senantiasa amanah. Jangan suka berbohong dan menipu. Karena sekali saja seseorang dikenal sebagai orang yang tidak amanah maka setelah itu akan sulit bagi orang lain untuk mempercayainya. Sekali diketahui lancung, diketahui bohong, setelah itu orang akan menilai dan mencapnya sebagai orang yang tidak bisa dipercaya.

Pantun di atas adalah  pantun lama. Sekarang orang tidak kenal lagi dengan uang sekupang atau setali. Dan pesan yang disampaikan oleh pantun itupun kelihatannya sudah tidak cocok lagi.

Pantun yang lebih cocok adalah;

Tersauh tali di ujung dahan
Burung terbang di atasnya
Berpuluh kali lancung ke ujian
Namun gerundang percaya juga

Kalaulah sekali dua kali seseorang itu berbohong kita mungkin akan masih menyangka bahwa dia hanya terkhilaf saja. Tapi kalau sudah berpuluh kali kata-katanya tidak bisa dipercaya......

Dan yang mengherankan, masih ada juga yang sangat percaya kepadanya.

****

Rabu, 13 Februari 2019

Rumah Tempat Tinggal

Rumah Tempat Tinggal

Keluargaku tinggal di rumah di Jatibening ini sejak akhir tahun 1993, sejak kami pindah dari Balikpapan. Bagiku, rumah inilah tempat kediaman yang paling lama aku tempati dalam kehidupanku. Sebagai perbandingan, ketika menetap di Balikpapan dalam kurun waktu 14 tahun kami pindah tempat tinggal tidak kurang dari lima kali.

Rumah ini dibangun tahun 1991 dalam komplek perumahan sederhana atau yang dikenal sebagai perumnas. Kami membeli tanah persis di luar komplek yang ada dan bergabung dengan penghuni komplek. Sejak awal aku sangat betah tinggal di lingkungan ini. Aku mendapat jatah rumah yang dibiayai dengan pinjaman kantor di Pondok Kelapa - Jakarta Timur. Ada keinginan istri dan anak-anakku untuk pindah ke rumah itu ditahun 1996, tapi aku menolak karena terlanjur sudah senang dengan komplek di Jatibening ini.

Dalam perjalanan waktu, sebagian besar rumah-rumah di komplek ini sudah di renovasi menjadi bangunan yang lebih bagus. Banyak pula yang sudah berganti pemilik karena dijual oleh pemilik lama.

Aku amati sekurang-kurangnya ada empat buah rumah yang sudah berganti pemilik tersebut. Rumah-rumah yang dibina oleh pemilik mula-mula lalu  diperbaiki dan diperindah. Kemudian si empunya (suami istri) sesuai dengan ketetapan Allah meninggal dunia. Lalu rumah-rumah itu oleh anak-anaknya dijual. Mungkin karena mereka juga sudah punya tempat tinggal dan mungkin lebih mudah bagi anak-anak tersebut untuk membagi harta pusaka peninggalan orang tua mereka.  

Entah kenapa, terbayang pula olehku, pada waktu aku dan istriku sudah tidak ada nanti, mungkin anak-anak kami akan melakukan hal yang sama. Rumah yang sudah  kami tempati berpuluh tahun ini, tempat anak-anak beranjak dewasa, bahkan dua yang sudah menikah aku nikahkan dari rumah ini, nanti akan kami tinggalkan. Artinya, rumah ini benar-benar hanyalah tempat tinggal sangat sementara.

****

Selasa, 12 Februari 2019

Pohon Mangga Yang.......

Pohon Mangga Yang.......


Ada pohon mangga yang tumbuh di depan rumah, ditanam adik ipar dari biji mangga sekitar awal tahun 1990an. Pohon ini mulai berbuah ketika kami sudah tinggal di rumah ini beberapa tahun kemudian. Pohon itu kami cangkok. Cangkokannya ditanam di pekarangan belakang yang segera pula  setelah beberapa tahun berkembang pesat menjadi pohon yang kukuh, besar dan berbuah pula. Demikianlah sepanjang masa, di saat dia berbuah dengan lebat, di kedua pohon, dengan buah besar-besar yang pernah ditimbang sebijinya hampir 1 kg beratnya. Meski buah itu selalunya dikongsi dengan kalong yang sangat rajin mendatangi kedua pohon itu disaat berbuah.


Pohon yang di depan rumah mempunyai ranting yang menjulai ke kawat listrik. Sebenarnya sudah bertahun-tahun tidak ada masalah dengan ranting seperti itu. Tapi beberapa bulan yang lalu kami setuju memangkas dan merapikan ranting-ranting itu. Dimintalah pertolongan ahli penebang pohon yang datang dengan alat gergaji mesin. Kedua pohon itu dicukur untuk dirapikan. Yang di pekarangan depan mungkin agak sedikit berlebihan pemotongannya sementara yang dibelakang dipangkas jauh lebih sedikit.

Qadarullah..... setelah beberapa pekan, pohon yang di depan terlihat seperti mulai mati. 
Daun-daun yang tinggal sedikit ketika dipangkas mengering dan tidak pernah muncul daun baru. Mula-mula aku berharap di saat musin hujan pohon itu akan kembali menumbuhkan daun. Harapan itu ternyata sia-sia. 

Yang di pekarangan belakang mulanya aman-aman saja. Sampai suatu hari ketika banyak angin, daunnya rontok. Dan tidak ada daun baru yang tumbuh sesudah itu. Ringkasnya, ternyata kedua pohon itu sudah sampai ajalnya. Sedih juga melihatnya.

Dan hari ini kedua pohon malang yang sudah mati itu disingkirkan oleh tukang potongnya dulu itu lagi.

****