Minggu, 31 Desember 2017

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (6, habis)

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (6, habis)       

Sawahlunto dahulu dikenal sebagai kota batubara. Sepertinya kota ini dahulu lahir karena aktifitas penambangan di tahun 1800an. Luas kota mula-mula hanya sekitar 5 km persegi, dalam sebuah lembah, seperti sebuah kuali memanjang. Di area itu bertumpuk perkantoran, pertokoan, pasar, rumah sakit, perumahan rakyat, barak tempat tinggal pekerja tambang. Tambang itu sendiri terakhir dikenal sebagai PT TBO alias PT Tambang Batubara Ombilin. Sekarang PT itu sudah 'mati' karena sejak era reformasi penambangan batubara dikelola oleh masyarakat tempatan, yang menambang di tanah-tanah ulayat mereka. Waktu aku mengerjakan tugas perpetaan untuk thesis selama 4 bulan di tahun 1978 kami (7 orang) 'menompang' di mess milik PT TBO dan ketika itu PT ini masih sedang jaya-jayanya. Jadi aku punya jugalah sedikit kenangan di kota ini.

Hari Kamis pagi sesudah check-out dari penginapan, kami mengunjungi bukit Cemara, untuk memandang lembah Sawahlunto asli. Bukit yang tadinya bagian dari fasilitas PT TBO ini sekarang oleh pemerintah kota dijadikan taman rekreasi. Sebenarnya ada objek-objek lain di kota ini sebagai peninggalan kegiatan tambang, tapi kami tidak punya cukup waktu untuk mengunjunginya. Jam sebelas kami meninggalkan Sawahlunto, ditemani rombongan nenek N dan inyiak R untuk mampir di warung sate di Silungkang. Sesudah makan sate kami berpisah untuk melanjutkan perjalanan ke Padang.

Perjalanan ke Padang sangat lancar sampai ke Indarung. Tapi dari Indarung memasuki kota Padang lalulintas macet. Tujuan pertama di Padang adalah tempat makan es durian di daerah Pondok. Ada beberapa buah lapau es durian berdekatan, tapi hanya satu yang ramai pengunjungnya. Kamipun merapat ke tempat yang ramai ini.  

Selanjutnya kami menyeberangi jembatan Siti Nurbaya menuju ke pantai Ayia Manih. Cuaca sore ini sangat cerah. Di pantai ini cukup ramai. Begitu sampai Izan tersenyum melihat banyak motor ATV sewaan. Izan dan Fathimah ditemani ayah mereka menikmati mengendarai motor tersebut di pantai yang landai dan bersih. Inyiak, nenek dan si Tengah menunggu saja sambil duduk-duduk menikmati kelapa muda. 

Sudah menjelang maghrib kami menuju hotel di daerah Pondok. Ini adalah malam terakhir dalam kunjungan ini. Besok pagi kami akan kembali ke Jatibening. Alhamdulillah bahwa Hamizan dan Fathimah menikmati kunjungan ini. Mereka bercanda dan ketawa-ketawa selama dalam perjalanan. Si Tengah dan suaminya juga cukup senang melewatkan acara yang lumayan padat. 

**** 

                     

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (5)

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (5)     

Rabu adalah hari kelima perjalanan pulang kampung ini. Sampai hari ini kami telah mengunjungi tempat-tempat sesuai dengan yang direncanakan. Kunjungan ke Sungai Janiah yang tertunda karena hujan di hari pertama,  sepulang dari Maninjau di hari kedua, telah pula terlaksana. 

Hari ini kami check-out dari hotel di Bukit Tinggi. Siang ini kami akan ke Sawahlunto, mengunjungi nenek N dengan anak cucunya. Nenek N adalah kakaknya nenek. Tapi sebelumnya kami akan singgah di Pagaruyung, mengunjungi istano basa. Dan sebelumnya lagi, atas saran inyiak R (adik nenek) kami akan makan nasi Kapau di nagari Kapau. Makan nasi Kapau adalah pesanan khusus si Tengah. Semula dia mengusulkan makan di lapau uni Lis di Pasa Ateh. Tapi dengan pertimbangan dan saran dari inyiak R, mengingat jalan ke Pasa Ateh itu tertutup karena dipakai oleh pedagang korban kebakaran Pasa Ateh beberapa pekan yang lalu, usulan si Tengah akhirnya dialihkan. 

Sayangnya lapau di Kapau yang direkomendasi inyiak R tutup. Kami singgah di sembarang lapau saja akhirnya. (Rupanya di kampung ini ada beberapa rumah yang membuka lapau nasi). Yang ini memang tidak terlalu istimewa, tapi ya sudahlah. Sesudah makan perjalanan dilanjutkan menuju Pagaruyung. Sempat pula singgah untuk mencicipi kawa daun di depan sebuah mesjid sesudah kami berhenti shalat.

Ketika kami sedang di lapau kawa daun, inyiak R rupanya menyusul kami dan akan ikut ke Sawahlunto. Perjalanan dilanjutkan menuju istano basa. Si Tengah ingat waktu kami mampir ke sini melihat puing setelah kebakaran ketika kami pergi mengantarkan sumbangan untuk korban gempa di tahun 2007.


Hanya kami berlima yang masuk ke dalam istano basa sementara nenek dan inyik R menunggu di pelataran parkir. Si Tengah cukup antusias. Dia naik sampai ke tingkat tiga. Hamizan dengan tekun mendengar keterangan inyiak tentang rumah gadang Minangkabau ini. Sementara Fathimah, minta naik kuda, ketika dia melihat dari jendela ada beberapa kuda tunggangan di pekarangan. Dia pergi ditemani ayahnya. 


Selesai pula kunjungan ke istano basa. Lanjut lagi sekarang menuju Sawahlunto. Nenek ikut di mobil inyik R. Kami ikuti mobil inyiak R yang mengambil jalan arah ke Lintau.  Aku belum pernah menempuh bagian jalan ini.

Hampir jam lima sore ketika kami sampai di rumah nenek N. Kepada Hamizan dijelaskan bahwa cucu-cucu nenek N itu adalah saudara sepupunya. Semua sekampung di Simawang yang kita kunjungi kemarin. Entahlah kalau Izan faham. Nenek N dengan dua anak perempuannya tinggal di kota ini. Pertemuan yang cukup ramai. Kami beramah tamah sampai jam sebelas malam. Hamizan dan Fathimah sudah tidur kecapekan. Kami menginap di hotel di tengah kota Sawahlunto malam itu.


Besok siang kami akan melihat-lihat kota Sawahlunto sebelum melanjutkan perjalanan ke Padang.



****

                            

Jumat, 29 Desember 2017

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (4)

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (4)  

Acara pulang kampung tidak akan pernah terpisah dengan acara makan lamak. Orang sekarang menyebutnya wisata kuliner. Makan di rumah makan di Ranah Minang memang sangat berbeda tingkat lamak (enak)nya dengan di restoran Padang di luar. Ada dua rumah makan favoritku di antara bandara Minangkabau dan Bukit Tinggi. RM Lamun Ombak yang hanya sekitar sepuluh menit dari bandara dan yang satunya lagi RM Ayie Badarun, 6 kilometer di luar kota Padangpanjang arah ke Bukit Tinggi. Yang pertama dikunjungi kalau kami mendarat menjelang jam makan. Yang kedua, jika waktu agak santai, karena untuk mencapainya perlu waktu sekitar satu setengah jam dari bandara.  

Lamun Ombak sudah dikunjungi di hari pertama kami datang. Sekarang giliran Ayie Badarun pula. 


Kami sarapan di hotel hari Selasa pagi. Hari ini kami akan ke danau Singkarak dan diteruskan dengan mengunjungi kampung Hamizan di Simawang. Sebelum ke Ombilin di pinggir danau Singkarak kami mampir di RM Ayie Badarun. Sang menantu bercerita bahwa dia diingatkan teman sekantornya agar tidak lupa singgah ke rumah makan ini. Jadi acara yang kami buat ternyata sangat cocok. Apa istimewanya rumah makan yang satu ini? Mereka menjuluki rumah makannya dengan spesifikasi masakan rumahan. Dan memang itulah kelebihannya. Ada sambalado cangkuak dengan kerecek, ada pepes (asam padeh) telor ikan, asam padeh ikan mas,  yang tidak kita temukan di rumah makan lain. Maka kamipun makan batambuah-tambuah.....



Setelah makan barulah dilanjutkan perjalanan ke Ombilin di pinggir danau Singkarak. Di sini kami menyewa perahu motor untuk mengharungi danau. Acara yang semakin populer di sini. Beberapa tahun yang lalu ada rombongan saudara dari Jeddah yang kami bawa naik perahu ini. Sebagai balasannya, waktu kami pergi umrah berombongan di tahun 2012, kami dibawa mengharungi Laut Merah di sekitar Jeddah dengan perahu bermotor yang jauh lebih canggih.  


Ada yang menitip minta dibelikan ikan bilih Singkarak. Sayang sekali bahwa ikan bilih itu sudah sangat langka kalaupun tidak untuk dikatakan hampir punah. Karena tidak ada aturan dalam menangkapnya dan masyarakat menangkap semau-maunya. Aku berkomentar kepada seseorang di dekat dermaga perahu motor itu, kenapa pemerintah tidak membuat aturan larangan dalam penangkapan ikan bilis. Maksudnya, diadakan pembatasan atau larangan penangkapan pada bulan-bulan tertentu. Jawab orang itu, susah pak. Kalau kami dilarang menangkapnya, dengan apa kami beli beras. Mungkin benar, tapi ketika ikan itu (hampir) punah seperti sekarang, lalu dengan apa mereka membeli beras? 



Sesudah berperahu-perahu kami lanjutkan perjalanan menuju kampung Simawang. Kampung asal istriku menurut aturan urang Minang. Yang sayang tidak dikenalnya pasti di mana tumpak rumah nenek moyangnya itu, karena ibunya (mertua perempuanku) tidak pernah tinggal di kampung itu. Hanya mereknya saja mereka berasal dari Simawang. Kami (aku dan istri) pernah mencoba mengunjungi kampung ini dua tahun yang lalu, masuk dari Ombilin, tapi tidak berhasil karena jalan yang kami tempuh terlalu kecil, mendaki cukup terjal. Kali ini kami ditemani adik istriku dan kami masuk dari arah berbeda. Dan alhamdulillah berhasil. Kami lalui jalan nagari sampai ke kantor wali nagari Simawang. Tapi dimana tumpak perumahan nenek buyut Izan? Adik iparku pun tidak tahu pasti. Dan kami tidak perlu pula nyinyir bertanya-tanya. Cukuplah bahwa kami sudah singgah di nagari Simawang.


****                               

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (3)

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (3)   

Hari Senin, hari ketiga dalam perjalanan ini, tujuan kami adalah ke arah Payakumbuh. Dimulai dengan kunjungan ke ngalau (gua batu gamping) di pinggir kota. Beberapa bulan yang lalu aku membawa menantu kemenakan ke ngalau ini, yang juga merupakan kunjungan pertama bagiku. Selama ini aku merasa ngalau Payakumbuh tidak sebagus ngalau Kamang, sehingga aku tak pernah tertarik untuk melihatnya. Ternyata aku keliru. Gua inipun sangat bagus untuk dikunjungi. 

Kita harus membeli karcis untuk memasuki area ngalau. Ada pelataran parkir cukup luas dan taman yang juga cukup terpelihara. Hanya kami saja pengunjung di pagi itu, karena memang bukan hari libur. Karena harus menaiki tangga yang cukup tinggi, kali ini aku tidak ikut masuk karena menemani istri di taman di luar gua. Hanya si Tengah dengan suami serta Hamizan dan Fathimah saja yang masuk.

Cukup lama mereka berada di dalam gua. Artinya, mereka menikmati apa yang mereka lihat. Terutama untuk kedua bocah itu. Ada pemandu yang cukup sopan menemani mereka. Pemandu yang sopan dan tidak memaksa-maksa ini menjadi catatan khusus bagiku ketika mengunjungi tempat ini beberapa bulan yang lalu.

Dari ngalau kami lanjutkan perjalanan ke Lembah Harau. Lembah dengan tebing batu tegak lurus dan air mancur. Ada beberapa air terjun atau air mancur di Lembah Harau. Kami hanya mengunjungi air terjun utama yang ada kolam di bawahnya. Di sini lebih banyak pengunjung. Hamizan memperhatikan kenampakan alam yang indah ini dengan sungguh-sungguh. 

Kami mampir di titik dinding bersipongang di pinggir jalan. Sebuah tapak yang sangat sederhana untuk berdiri dan berteriak untuk mendengarkan lantunan (sipongang) suara dari bukit batu di seberang sana. Sudah lama aku merasa tapak ini seyogianya dibuat lebih besar dan lebih rapi. Sepertinya tidak ada atau belum ada yang sepemikiran denganku.  

Dari Harau kami lanjutkan perjalanan ke Lubuk Bangku untuk makan siang. Kenapa Lubuk Bangku? Karena ada rumah makan favorit kami di sana. Dulu, beberapa tahun yang lalu, dalam perjalanan ke Pekan Baru kami sangat menikmati ayam bakar di rumah makan ini. Agak sayang bahwa sekarang rasa masakannya tidak lagi seenak dahulu.

Setelah makan siang kami kembali ke Koto Tuo untuk berkemas-kemas. Sore ini kami akan pindah ke penginapan di Bukit Tinggi. Sempat pula membeli durian yang sebenarnya bukan musimnya. Kata si penjual, durian itu didatangkan dari Padang Sidempuan. Durian sekedar pelepas taragak, tidak pula sempurna, ternyata membawa sedikit masalah untuk si Tengah. Dia sakit perut tidak lama sesudah makan durian.   

****                            

Rabu, 27 Desember 2017

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (2)

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (2)      


Jadwal untuk hari kedua adalah ke Puncak Lawang dilanjutkan dengan melewati Kelok 44 turun ke Maninjau. Kami cukup santai di hari Ahad pagi itu. Setelah sarapan dengan kue-kue ringan yang kemarin dibeli di Biaro, kami lalu jalan-jalan melihat sawah di dekat rumah nenek buyut ini, sebelum berangkat meninggalkan Koto Tuo sekitar jam setengah sebelas pagi. Memang diatur demikian, karena kami akan makan siang di Simpang Raya dekat lapangan Kantin. Seperti itu yang diatur inyiak. 


Izan adalah pencinta ayam pop. Dia bertanya-tanya kenapa waktu makan siang dan malam kemarin tidak menemukan ayam pop. Tapi kata inyiak ayam pop yang asli itu adalah yang buatan Simpang Raya di Bukit Tinggi ini.



Sudah lewat jam sebelas ketika kami sampai di rumah makan Simpang Raya. Di saat lapar-laparnya. Dan ayam pop dihidangkan. Semua makan cepak cepong. Terutama Izan, yang sangat menikmati ayam pop itu tentu saja. 



Sesudah kekenyangan barulah kami mengarah ke Puncak Lawang. Melintasi jalan yang lumayan macet sampai ke persimpangan Padang Lua. Tapi untunglah sesudah itu jalan lancar. Kami melintas di Matua dan terus berbelok menuju Lawang. Banyak gerobak penjual sari tebu di sepanjang jalan ini, di pinggir jalan di antara parak tabu. Tebu lawang yang dulu dibuat gula lawang....


Kami sampai di area Puncak Lawang ketika azan shalat Zhuhur berkumandang. Seorang petugas menghampiri menanyakan berapa orang anggota rombongan kami. Ada karcis dan yang diharuskan membayar hanya orang dewasa saja. Dengan membeli karcis, parkir kendaraan gratis. Sebuah pengaturan yang sudah sangat baik. Ramai sekali kendaraan yang terparkir. 

Sayangnya, di bagian puncak itu sedang ada pekerjaan bangunan. Kabarnya bangunan sebuah hotel. Jalan ke puncak diperpanjang dan berputar melalui punggungan bukit dengan anak tangga melingkar-lingkar. Sangat berkurang kenyamanannya. 

Kami berhenti di sebuah dataran sebelum puncak. Pemandangan ke bawah, ke danau Maninjau tetap memukau.  Sang menantu sepertinya menikmati keindahan itu. Kami tidak meneruskan ke bagian paling puncak karena harus melalui beberapa tingkat anak tangga lagi, dan istriku sepertinya sudah kecapekan. 

Kami tidak lama di Puncak Lawang. Tujuan berikutnya adalah melalui kelok 44 ke arah Maninjau. Tapi kami tidak akan mengunjungi pinggir danau yang sudah tidak ada daya tariknya karena banyaknya keramba ikan. Selama perjalanan ini stir mobil selalu dipegang menantu. Dia seorang pengendara yang baik. Aku mengingatkan, bahwa aturan berkendara di sepanjang kelok ini adalah memberi prioritas kepada kendaraan yang sedang mendaki di setiap kelok. 

Kami lalui kelok demi kelok itu. Hamizan sangat senang. Di kelok nomor belasan ada kawanan monyet di pinggir jalan. Akhirnya kami sampai di Maninjau. Langsung menuju ke mesjid Raya Maninjau untuk shalat. 

Sesudah shalat aku mampir di sebuah warung di pinggir jalan, menanyakan dimana kami bisa menemukan kedai yang menjual rinuak. Rinuak adalah jenis ikan sangat kecil yang dulu terkenal sekali di Maninjau ini. Jawaban orang kedai itu sangat menyedihkan. Sekarang tidak ada lagi orang menjual rinuak, karena rinuak itu sudak tidak ada lagi. Danau Maninjau sepertinya memang sedang kritis dengan kandungan ikan-ikan khasnya seperti bilih dan rinuak.

****                                

Selasa, 26 Desember 2017

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (1)

Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung (1) 



Pekan yang lalu kami pulang kampung. Kami (aku dan istri) menemani keluarga si Tengah. Sebuah perjalanan yang sudah direncanakan sejak beberapa bulan yang lalu, sejak mereka baru kembali ke Indonesia di pertengahan tahun ini. Keluarga si Tengah ini masih tetap sangat gemar bepergian. Dua bulan yang lalu mereka berkunjung ke kampungnya menantu di Jawa Timur. 


Inyiak membuat itenerary sederhana untuk perjalanan ini. Kami rencanakan untuk bertemu di bandara Soeta di hari  Sabtu pagi tanggal 16 Desember, karena mereka berangkat dari Balikpapan. Penerbangan ke Padang dengan Batik Air yang berangkat jam 9.30 dari bandara Soeta, meski ternyata sedikit terkendala karena antri untuk takeoff. Sampai di bandara Minangkabau menjelang jam dua belas siang. Setelah mengemasi bagasi kami segera bergerak menuju kampung dengan kendaraan sewaan yang sudah dipesan sebelumnya. Tentu saja kami singgah dulu di rumah makan Lamun Ombak, untuk makan siang. 


Perjalanan ke kampung (inyiak) di Koto Tuo - Balai Gurah sangat lancar. Sayang hari hujan ketika kami sampai di kampung. Rencana semula, sesudah menaruh barang-barang kami akan pergi ke Sungai Janiah, melihat ikan larangan.  Acara ini terpaksa ditunda. Kami berkunjung ke Ma'had Syekh Ahmad Khatib menemui ustadz Afdhil, kepala sekolah. Rupanya sekolah libur akhir tahun sejak tanggal 15 kemarin. Kebetulan pula, ustadz Afdhil akan berangkat membimbing jamaah umrah besok. Setelah berbincang-bincang dengan ustadz ini kami ke Biaro untuk membeli cemilan dan air minum untuk di rumah.



Hamizan mengangguk-angguk ketika dijelaskan bahwa ini adalah kampung inyiak dan bukan kampung Hamizan. Kampung Hamizan akan kita kunjungi dalam dua hari ke depan.


Malam itu kami makan malam di rumah makan Pondok Baselo di Batang Air Katiak tidak jauh dari Koto Tuo. Rumah makan yang cukup mentereng ini sepertinya semakin kurang peminat, entah karena apa. 


Syukurlah kami semua bisa tidur nyenyak malam itu, di rumah yang sehari-harinya kosong namun ada yang membersihkan secara rutin. Pagi hari Ahad kami berjalan-jalan di kampung sebelum melanjutkan pelancongan.

****  

Rabu, 13 Desember 2017

Dagelan

Dagelan   

Memperkarakan orang yang satu ini ternyata benar-benar sebuah lelucon. Sebuah dagelan. Sebelum dia ditangkap petugas telah terjadi beberapa adegan konyol. Adegan sinetron film kartun, yang tidak untuk dipercayai namun terjadi. Ada acara dia kecelakaan karena mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Berita tabrakan ini saja sudah merupakan sebuah adegan yang menarik untuk ditonton meski tidak menarik untuk dipercayai.

Konon beliau cedera parah akibat kecelakaan itu dan langsung dibawa ke rumah sakit. Maka berbicaralah penasihat hukumnya dengan bahasa gaya sinetron doraemon lagi. Bahwa beliau cedera parah. Ada luka, ada memar ada benjol sebesar...... ah malas kita mengulangi kata-kata sakti ini. Sedemikian parahnya, kata juru bicara yang sangat mengagumkan ini, hampir-hampir saja beliau itu lewat dalam kecelakaan tadi. 

Dasar cerita doraemon, keesokan harinya dokter dari rumah sakit lain yang datang memeriksa menemukan beliau dalam keadaan sehat-sehat, segar bugar. Tidak ada itu yang namanya luka, memar, benjol dan sebagainya. Singkat cerita, beliaupun digelandanglah. Dipakaikan baju seragam khusus berwarna oranye. Apa boleh buat.  

Proses hukum dilanjutkan. Beliau dihadapkan ke muka majelis hakim dalam sebuah pengadilan resmi. Ditonton oleh banyak penonton. Dan ada pula yang membuat rekaman video. Ini bagian lain dari dagelan itu. Hakim bertanya berkali-kali, sekedar menanyakan identitas beliau. Menanyakan apakah beliau yang bernama....... Apa reaksinya? Dia membisu sepuluh ribu bahasa.  Tidak menjawab sepatah katapun. Sakitkah dia? Apakah kalau sakit yang masih bisa didudukkan di ruang sidang seseorang tiba-tiba bisa tidak pandai berbicara? Itulah bagian lain dari dagelan.

Konon malam sebelumnya, di kamar tahanan beliau mencret sampai dua puluh kali. Tapi dibantah oleh petugas keamanan rumah tahanan. Beliau hanya dua kali masuk ke peturasan sepanjang malam. Dan tidur nyenyak sejak jam delapan malam. 

Lalu ada tiga orang dokter yang memeriksa kesehatannya sebelum dibawa ke ruang sidang, dan ketiga dokter itu menyatakan bahwa dia sehat-sehat saja. Jadi ada apa ini sebenarnya? Tidak ada apa-apa, beliau hanya seorang pemain sandiwara.

****                 

Minggu, 10 Desember 2017

Cucu Di Rumah Orang

Cucu Di Rumah Orang   

Ketika kita beranjak tua, bertemu dengan teman-teman yang sudah berpisah puluhan tahun, salah satu pertanyaan yang cukup umum ditanyakan adalah sudah berapa orang cucu. Dan tentu saja setelah itu dilanjutkan dengan kebahagiaan mempunyai cucu (-cucu) tersebut. Yang agak menyentak ketika aku menanyakan hal yang sama kepada seorang teman wanita (urang awak) adalah jawaban tambahannya. Cucunya empat orang, tapi hanya satu orang cucu di rumah awak..... Orang bukan Minang tidak akan langsung mengerti maksudnya. Dan orang Minang seumurku (66 tahun) mungkin juga banyak yang tidak faham.

Jawaban seperti itu umum di kalangan orang-orang tua kami. Cucu-cucu itu dibagi menjadi cucu di rumah awak dan cucu di rumah urang. Cucu di rumah awak artinya cucu melalui anak perempuannya. Karena orang Minang yang matriakhat itu diikat melalui jalur ibu. Di rumah gadang tinggal nenek (ibu dari ibu) saudara-saudara perempuan ibu dan anak-anak perempuan mereka bersama-sama. Maka cucu melalui anak perempuan juga akan jadi penghuni rumah gadang. Itulah cucu di rumah awak. Sementara anak laki, ketika dia menikah, dia pergi kerumah istrinya. Ketika istrinya melahirkan anak-anak, anak-anak itu jadi cucu di rumah orang bagi ibu dari anak laki-laki. 

Tapi sekarang sudah jarang keluarga besar Minang berkumpul di rumah gadang. Anak-anak mereka sudah pergi merantau. Membangun rumah tangganya di rantau orang. Pulang ke kampung sekali semasa. Baik cucu di rumah orang ataupun cucu di rumah awak, ketika pulang berlibur ke kampung dia tinggal sebentar di rumah gadang. Sudah tidak kentara perbedaan antara cucu melalui anak perempuan dan anak laki-laki. Makanya aku agak terkesiap ketika mendengar penjelasan teman sebayaku tentang cucu di rumah awak dan cucu di rumah orang, yang padahal tidak ada di antara cucu-cucunya itu yang tinggal permanen dengannya. 

Cucu akan tetap saja cucu. Apakah yang melalui anak laki-laki atau melalui anak perempuan. Mereka akan sama-sama memanggil kita kakek / nenek. Dan yang seharusnya kita kasihi dengan kasih sayang yang sama. 

****                    

Jumat, 08 Desember 2017

Mengomel

Mengomel     


Siapa yang tidak pernah mengomel? Mengeluarkan kata-kata umpatan atau penyesalan dikarenakan rasa kecewa atas sesuatu? Meski tidak semua orang suka mengomel. Yang jadi sasaran omelan biasanya adalah orang yang status sosialnya di bawah si pengomel. Atau paling tidak si pengomel merasa bahwa dia lebih gagah dari yang diomeli. 


Kebiasaan mengomel sepertinya juga disebabkan masalah kejiwaan seseorang. Dia merasa bahwa dirinya sempurna dan orang lain selalu punya cacat. Nah cacat orang lain itu yang diomelinya. Seorang sekretaris di kantor minta tolong membelikan makan siang ke pesuruh kantor. Sang pesuruh datang terlambat karena di tempat membeli makanan dia harus antri. Begitu datang menyerahkan bungkusan makan siang bukannya dapat ucapan terima kasih malahan diomeli. Karena kelamaan. Nyata sekali bahwa sekretaris ini  termasuk golongan yang tidak pandai berterimakasih.

Ada nyonya rumah yang juga sangat suka mengomel. Yang sering jadi sasaran omelan biasanya adalah pembantu. Ketika pembantu membuat kesalahan biar sekecil apapun maka dia akan diomeli. Padahal si pembantu sudah bekerja maksimal sebatas kemampuannya. Kalau ada yang kurang beres dari apa yang dikerjakannya kan seharusnya disadari bahwa dia memang seorang 'pembantu'. 

Ada lagi kebiasaan mengomel yang lebih parah. Ketika si pengomel melampiaskan kekesalannya atas kesalahan seseorang yang disampaikannya kepada orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya. Si A kesal karena merasa dikecewakan dan dirugikan oleh si B. Lalu dia mengomel panjang pendek tentang kekesalannya itu kepada si C yang kebetulan berada di dekatnya. Sementara si B sendiri tidak ada di sana. Ketika si C menasihati agar menahan omelan kekesalannya, si A malah mengomeli si C dan mengatakan bahwa dia membela si B. 

Bagi yang suka mengomel sebenarnya mereka harus menyadari bahwa omelan tidak akan pernah membantu menyelesaikan masalah. Jika bawahan anda membuat kekeliruan, jauh lebih bijak untuk mengajarinya, menunjukkan bagaimana seharusnya dia berbuat agar tidak salah, ketimbang memarahi dan mengomelinya.    

****