Selasa, 13 Mei 2014

Imam Shalat

Imam Shalat

Suatu ketika beberapa pekan yang lalu, pada shalat isya aku membaca beberapa ayat dari surah An Nissa (sampai ayat 147). Ternyata pada ujung ayat ke 147 itu aku salah membacanya. Bagian akhir ayat itu seharusnya berbunyi: 'Wa kaanallahu syaakiran  'aliimaa.' dan aku membaca 'innallaaha syaakiran 'aliimaa...' Tidak ada yang membetulkan.

Sesudah selesai shalat dan akan beranjak keluar mesjid mau pulang, seseorang (jauh lebih muda dariku) menghampiriku. Dia memberi tahu bahwa aku tadi salah dalam membaca ayat seperti di atas. Kenapa sampeyan tidak membetulkannya tadi dalam shalat? tanyaku. Dia beralasan bahwa dia berdiri agak jauh. Aku berterima kasih kepadanya. Hatiku langsung berdetak bahwa orang (muda) ini pasti lebih menguasai bacaan al Quran.

Beberapa hari kemudian, waktu shalat isya juga, aku melihatnya di barisan jamaah. Mungkin karena agak grogi, aku salah dan lupa lagi dalam membaca ayat. Kali ini terdengar seseorang mengingatkannya dan aku membetulkan bacaan itu serta meneruskan sampai beberapa ayat yang lain. 

Baru ketika itu ada jamaah yang memberi tahu bahwa orang (muda) yang membetulkan bacaanku itu adalah seorang hafidz dan beliau itu imam mesjid Al Azhar Jaka Sampurna. Kalau memang demikian adanya, setiap kali dia hadir, aku akan menyuruhnya mengimami shalat. Tidak pantas aku yang hanya hafal beberapa bagian kecil (sedikit sekali) ayat al Quran jadi imam bagi seorang hafidz, begitu pendapatku.

Dan aku lakukan demikian. Setiap kali dia hadir di mesjid kami, baik waktu shalat isya ataupun subuh, aku mempersilahkannya menjadi imam. Dia menerimanya dan mengimami kami shalat. Bacaannya bagus dengan irama yang bagus pula (irama bacaanku biasanya lurus-lurus dan sederhana saja).  

Pada kesempatan ta'lim hari Ahad subuh dengan seorang ustadz yang rutin mengisi pengajian dua minggu sekali, masalah imam ini didiskusikan dengan ustadz tersebut. Karena rupanya ada di antara jamaah mesjid kami yang kurang puas dengan pergantian imam shalat. Ustadz itu menyarankan agar aku (yang diangkat oleh jamaah menjadi imam rawatib di mesjid kami) tetap menjadi imam dan jangan menyerahkan tugas imam ini begitu saja, karena aku menerima amanah untuk itu. Tapi, kataku, bukankah dia lebih baik dan lebih banyak hafalan bacaannya dariku. Oleh ustadz itu ditambahkan bahwa beliau itu hanya tamu di mesjid ini. Jadi imam mesjid tetaplah sampeyan, katanya kepadaku. Memang biasanya, dengan ustadz inipun, yang hafalannya juga lebih banyak dariku, aku biasa saja mengimami shalat, karena beliau bukan jamaah tetap di mesjid kami.

Itulah yang terjadi sementara ini di mesjid di komplek kami.   

****                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar