Rabu, 11 Juni 2014

Heran

Heran 

Politik, bagi para ahli dan pakar politik, menurut seorang kolumnis Malaysia (Hishamuddin Rais namanya) ujung-ujungnya adalah di penguasaan ekonomi. Orang mau terjun berpolitik, dan bahagia kalau berhasil memenangkan jabatan politik, karena dengan demikian nanti dia (atau mereka) lah yang akan mengatur perekonomian. Pengaturannya itu bisa dilakukan baik dengan cara halus maupun dengan cara kasar. Bisa untuk kepentingan organisasi politik alias partai, dan tentu saja juga bisa untuk kepentingan pribadi-pribadi dan kroni-kroni. Kalau dalam bahasa sederhana di negeri kita, UUD, ujung-ujungnya duit. Dan ini semakin kasat mata saja tampaknya. 

Kita terheran-heran melihat begitu berambisinya orang-orang tertentu untuk terjun ke dunia politik. Apakah untuk jadi anggota legislatif mulai dari tingkat kabupaten / kota sampai anggota DPR pusat. Ambisi yang didukung dengan kesanggupan berkorban, mengeluarkan biaya besar. Padahal sangat besar biayanya untuk berkampanye, untuk menjajakan diri agar dipilih orang. Dan yang lebih mengherankan lagi, sebahagian dari mereka sepertinya hanya bermodalkan nekad. Kalau kita tanyakan secara jujur apa yang akan mereka lakukan atau perjuangkan seandainya nanti terpilih jadi anggota dewan, banyak di antara mereka tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. 'Pokoknya saya akan berjuang untuk rakyat,' begitu katanya. Berjuang apa dan bagaimana caranya? kita tanya. Lalu dijawab, pokoknya kita lihat nanti sajalah.

Dan mereka yang ikut mendaftar ini kebanyakannya lagi adalah orang yang entah siapa-siapa dan tidak dikenal masyarakat banyak. Sebagai contoh. Dia calon dari daerah Bekasi Selatan, tapi tidak ada yang tahu apa kiprahnya selama ini. Tidak pula dia pernah mencoba memperkenalkan dirinya dengan baik, datang kepada calon pemilih, membawa rencana kerja yang akan dilaksanakannya. Paling-paling hanya fotonya (berukuran besar) saja yang terpampang di beberapa tempat. 

Tapi toh akhirnya pemilihan anggota legislatif itu selesai juga. Yang beruntung di antara mereka berhasil terpilih menjadi anggota dewan. Baik dari muka-muka lama ataupun dari muka-muka baru. Yang muka lamapun ada yang kita terheran-heran karena tidak pernah rasanya mendengar apa saja yang sudah diperjuangkannya selama lima tahun terakhir.  

Sekarang sedang ramainya persiapan pemilihan presiden. Ada dua pasangan calon resmi dan sedang bersiap-siap untuk dipilih tanggal 9 Juli 2014 mendatang. Kali ini yang mengherankan adalah fanatisme masing-masing pendukung. Fanatik dalam membela calonnya dan fanatik pula dalam memburuk-burukkan lawan (calonnya). Gejala fanatisme ini terlihat di jaringan-jaringan internet. Di mailing list suatu organisasi (misalnya saja IA-ITB) ada dua kelompok yang berseberangan ini dan saling 'jatuh menjatuhkan'. Begitu juga di facebook, di twitter. Bahkan melibatkan kelompok mantan petinggi militer yang ikut-ikutan terpolarisasi di dua kutub yang berlawanan. Hebat sekali. Sebuah gejala baru buah demokrasi. Mudah-mudahan saja gontok-gontokan ini tidak berlanjut di dunia nyata. 

Aku hanya ikut menumpang heran saja. Tentu saja aku akan memilih salah satu dari dua calon itu nantinya, tapi rasanya aku tidak ingin terlalu muluk-muluk dalam berharap. Hanya berharap pemilihan ini cepat berlalu dan mudah-mudahan dengan selamat. Aamiin.

****                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar