Senin, 28 Desember 2009

Pulang Kampung Lagi (3)

Hari Sabtu pagi.

Alhamdulillah, meski baru tidur jam dua tadi malam, aku terbangun persis menjelang azan subuh. Tapi di luar hari hujan. Aku bangunkan istri. Sesudah kumandangan azan jam 4.50 pagi itu selesai, kami shalat berdua di kamar. Aku tidak bisa pergi ke mesjid karena di luar hujan. Ketika aku hampir selesai shalat subuh, di masjid Baitul Haq dan masjid Raya, imam sama-sama takbir. Bacaan imam-imam itu bertanding-tanding, terdengar sangat jelas karena sama-sama menggunakan pengeras suara yang prima. Untunglah di masjid masing-masing bacaan imam dari masjid lain tidak terdengar.

Sesudah shalat disambung tidur sedikit lagi. Jam tujuh terbangun. Acara kami (aku dan istri beserta ipar suami istri pula) adalah pergi minum pagi ke..... Garegeh.

Lepau di Garegeh itu aku temukan pertama kali di tahun 1991, ketika kami pulang dari shalat subuh di masjid Raya, menuju ke kampungku di Koto Tuo Balai Gurah. Di kegelapan subuh berembun kala itu, terlihat pintu lepau terbuka. Kami segera mampir. Bangunan dengan bangku panjang lepau itu tidak pernah berubah. Mungkin yang berubah adalah rumah tembok di belakangnya yang semakin berkilat saja. Yang istimewa, dan juga tidak pernah berubah adalah ketan putih pulut tulang dengan goreng pisang raja serta pilihan lain yaitu bubur samba dengan gulai cubadak. Seperti itu delapan belas tahun yang lalu, seperti itu juga sekarang.

Kesanalah kami pergi minum pagi. Pesananku, seperti biasanya teh telor dan bubur samba. Dan sesudah itu sebuah goreng pisang raja sebagai penutup. Dulu, ketika masih lebih muda, bubur samba ditambah dengan ketan goreng pisang aku sanggup menyelesaikan. Tapi sekarang sudah tidak sanggup lagi.

Kami meraun panik di sekitar Bukit Tinggi sesudah minum pagi. Sementara hari masih gelap dan hujan. Sesudah shalat zuhur kami kembali lagi pergi baralek ke Limbanang. Sedikit saja yang ingin aku komentari tentang perhelatan yang sedang 'in' di Ranah Minang, yaitu menghadirkan orgen tunggal. Orgen itu dihubungkan ke sistim pengeras suara yang entah berapa desibel ukuran kekerasannya, tapi yang pasti sangat memekakkan telinga. Suara orgen itu bahkan lebih keras pula dari suara orang yang berlagu sehingga apa yang dinyanyikan tidak dapat disimak. Baitu caronyo kini. Di sela-sela suara musik yang antahlah maaak itu, terdengar olehku ungkapan seorang tamu, bahwa di Padang Panjang orrgen tunggal itu sudah dilarang oleh Pemda. Aku berharap Pemda Sumatera Barat secara berjamaah akan melarangnya pula.

Sekalian untuk menghindar dari suara musik yang memekak telinga, kami minta izin kepada tuan rumah untuk pergi ke Koto Tinggi. Ini adalah kampung saudara sebapak istriku yang hari itu memestakan anaknya tersebut. Kami pergi ke sana dengan kakak perempuannya. Rumahnya di Koto Tinggi persis di hadapan lapangan pasar Koto Tinggi tempat terletaknya monumen PDRI. Baru sekali itu aku ke tempat ini.

Sesudah maghrib kami kembali ke Limbanang. Suasananya sudah sunyi dari suara orgen tunggal. Ternyata tetangga di sebelah tempat pesta itu sedang kemalangan. Ada anggota keluarganya yang meninggal. 'Syukurlah, ada alasan untuk menghentikan suara musik tadi,' kata istri kakak iparku. Rupanya dia juga terpaksa menghadirkan acara itu. Yang kalau tidak dihentikan, biasanya akan berlanjut sampai tengah malam. Dan konon, semakin larut semakin aneh-aneh tingkah polah baik yang menyanyi maupun yang menonton. Dan konon pula, pada saat yang sudah larut itu beredar bir dan sebangsanya yang bukan disediakan oleh tuan rumah.

Jam sepuluh malam kami kembali ke Bukit Tinggi. Adik ipar yang tinggal di Bukit Tinggi ikut ke mess, membawa ......... duren lagi. Duren yang lebih mantap dari yang kemarin. Aku sedikit lebih berani kali ini. Mencomot sampai lima butir.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar