Kamis, 17 Mei 2012

Ketika Pengurusan Keduniaan Kacau Apa Yang Harus Dilakukan

Ketika Pengurusan Keduniaan Kacau Apa Yang Harus Dilakukan

Sebuah diskusi panjang tengah berlangsung. Diskusi yang hanya sebatas diskusi karena memang tidak ada kesimpulan yang bisa diambil. Atau kalau pun ada kesimpulan maka itu hanyalah sekadar wacana. Sekadar teori. Sekadar angan-angan. Diskusi berketerusan juga. Sambil mengeluh panjang pendek. Kenapa dan kenapa. Kenapa kita yang mempunyai filosofi yang begitu indah tidak diamalkan. Kenapa kata-kata yang seharusnya tidak mengganggu orang lain dan ditujukan khusus kepada umat Islam itu dahulu dihapuskan. Sehingga lihatlah sekarang, karena ketujuh kata itu diabaikan, nah inilah yang terjadi. Kesana sayut, kesini senteng kita jadinya. Coba dulu.....

Tak habis-habis mengeluh. Coba dulu, kata-kata itu dipertahankan. Hah? Lalu akan adakah jaminan bahwa segala sesuatu akan berjalan indah sesuai dengan aturan? Aturan? Kurang apa aturan, meski yang dibikin-bikin manusia seperti sekarang ini yang ternyata juga tidak berjalan? Aturan tinggallah di aturan. Kalau memang tidak ada niat untuk menjadi baik, apa dayanya si aturan. Si Pencilok dihukum, begitu menurut aturan. Tapi si Pencilok bisa mengatur aturan agar dia tidak dihukum. Atau agar hukumannya diatur-atur. Lalu mau apa kita?

Kita salahkan anak kemenakan yang tidak lagi seperintah mamak. Kalau mamak hanya sekadar pandai memerintah-merintah saja, memang jadi sulit. Sekarang anak kemenakan adalah generasi merdeka yang tidak suka diperintah-perintah. Lalu? Lalu terjadilah yang akan terjadi. Di saat 'keduniaan' semakin menjadi-jadi ini. Disaat informasi, cerita, berita, tontonan ada di mana-mana. Ada di kantong baju. Ada di layar sebesar 5 senti. Informasi apa saja. Berita apa saja. Tontonan apa saja. Di dalam kantong baju. Yang layarnya dapat dinikmati kapan saja, di mana saja dengan siapa saja. Di ruang sidang anggota dewan. Di atas kereta. Di dalam lift. Di ruang kerja. Di kakus.

Apa yang akan diperintah? Apa yang akan dilarang? Bagaimana akan melarang? Lalu kita sibuk juga bernostalgia, dulu tidaklah begini. Dahulu, ketika kita teratur mengaji ke surau, kita adalah generasi yang sopan-sopan. Ehem, benarkah? Bukankah dahulu ada juga yang sekali seketika kita 'makan gadang' di surau dengan ayam yang dicekau di kandang rumah orang? Atau kita membakar jagung muda yang diambil begitu saja di ladang mak Tan Ameh, padahal tidak ada anak atau kemenakan mak Tan Ameh yang ikut dengan kita. Ketika itu kita sangat menghormati orang tua. Kita sangat takut dan segan kepada mamak. Kita taat dan patuh kepada orang tua. Alhamdulillah. Dahulu kita berada dalam lingkungan yang lebih sederhana. Yang lebih tertib, ehem, kalaupun ketika itu memang lebih tertib. Karena kan ada juga. Mamak yang dulu sering menasihati kita itu, rajin pula berdamini   di lepau Tan Brain. Ketika kita menghampir pula ke lepau, kita disuruhnya pergi.

Dalam lingkup lebih luas, kita sesali dan sekali lagi hanya bisa kita sesali keadaan. Kenapa negeri ini, yang penduduknya 88% (ini data resmi badan sensus nasional) beragama Islam, kehidupan masyarakatnya hambur adul dalam kemungkaran. Dalam kemaksiatan. Kemaksiatan terang-terangan. Orang mencuri terang-terangan. Orang menipu terang-terangan. Orang bermaksiat terang-terangan. Dan tidak tersentuh hukum. Padahal kita berdalih juga bahwa negeri ini negeri hukum. Hukum yang mana? Lalu kita salahkan hukum yang dibuat manusia itu. Padahal, yang benar-benar bermasalah adalah niat kita untuk menegakkan hukum tadi. Dengan hukum buatan manusia, seorang yang berbuat kesalahan dihukum sekian-sekian, demikian-demikian. Tapi niat untuk memberlakukan hukum itu kosong alias bisa ditawar-tawar. Akan sama saja jadinya, biarpun kita tahu ada ketetapan Allah atas tindak-tindak kejahatan dan bagaimana seharusnya menghukumnya. 'Kita' tidak ada niat untuk mentaati hukum yang manapun.

Kita salahkan cara pengaturan negeri ini. Cara mengangkat pemimpin. Cara mengutus perwakilan. Cara menetapkan undang-undang. Kalau dilihat salahnya, memang semua itu lemah belaka. Kita tiru demokrasi ala barat. Satu orang satu suara. Presiden, gubernur, bupati, wakil rakyat kita pilih dengan aturan satu orang satu suara. Ini cara demokrasi barat. Lihatlah hasilnya. Semua serba kebablasan. Lalu gubernur ditangkap KPK. Menteri ditangkap KPK. Bupati ditangkap KPK karena mereka semua bergelemak peak. Salah.... dimana-mana salah. Kan seharusnya, seperti yang dirancang pendahulu negeri ini dulu, kita mengangkat pemimpin itu dengan musyawarah. Maka ada majelis musyawarah rakyat. Ada dewan wakil-wakil rakyat. Begitu seharusnya. Hah? Bukankah selama berpuluh tahun kita sudah punya lembaga itu? Bahkan sekarangpun masih ada. Dahulu lagi, presiden dipilih oleh majelis syuro, yakni majelis permusyawaratan rakyat, oleh wakil-wakil rakyat. He..he..he.. Bagaimana mungkin kita melupakan betapa majelis ini  selama berpuluh tahun dikangkangi oleh yang berkuasa. Lalu kita punya presiden seumur hidup yang ditetapkan oleh majelis syuro kita tadi itu. Padahal majelis itu telah terang-terangan dikebiri. Di dalamnya duduk orang-orang yang dahulu itu fasih dengan inggih ndoro. Yes Sir. Dan akibatnya ditetapkanlah presiden seumur hidup. Tapi kata Allah tidak jadi. Allah biarkan presiden seumur hidup itu tumbang. Berganti presiden. Diangkat pula oleh majelis syuro kembali. 32 tahun majelis itu dikangkanginya dengan segala macam cara. Diangkat juga sekali lima tahun, tapi yang diangkat dia terus. Wakilnya boleh berganti-ganti tapi dia sendiri tidak. Ada saja caranya agar dia dipilih oleh anggota majelis itu kembali.Tapi akhirnya, kata Allah diapun jatuh pula.

Pertanda apa itu?

Pertanda bahwa tidak ada jaminan kalau Allah tidak berkehendak. Kalau kita secara individu-individu tidak meminta kepada Allah dengan sungguh-sungguh. Di sini seharusnya tugas para ulama kita, yang benar-benar ulama,  mengingatkan kita. Tanpa henti-henti. Agar masing-masing kita memulai dengan diri kita sendiri. Menjaga diri kita dan keluarga kita dari siksa api neraka. Quu anfusakum wa ahlikum naara. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka. Ini diarahkan kepada setiap Muslim yang merupakan 88% dari jumlah penduduk Indonesia kita itu. Ingatkan mereka, setiap mereka, setiap diri. Jaga diri kalian dan anak-istri kalian dari ancaman api neraka. Ingatkan calon presiden, calon wakil rakyat, calon guberbur, calon bupati bahkan sampai calon Ketau RT sekalipun. 'Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan diminta tanggung jawabnya atas kepemimpinannya.' Ketika kalian tidak bisa mempertanggungjawabkannya, maka tempat kalian adalah neraka jahannam. Berhati-hati benarlah kalian karena siksa neraka jahannam itu sangat bersangatan pedihnya.

Maka terserahlah akan berbentuk apa pengaturan negeri ini. Yang penting aturlah diri masing-masing kita agar terhindar dari murka Allah. Dari hukuman Allah. Ingat, ketika kita berdosa kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang. Allah niscaya akan mengampuni kita, sebesar apapun dosa kita, selama kita mau meminta ampun. Tapi ingat, dosa kita kepada sesama manusia, Allah tidak akan ikut campur sebelum kita saling menyelesaikannya di antara kita. Ingatlah agar tidak memakan hak orang lain, apalagi hak orang lain sekampung, sekabupaten, sepropinsi, senegara. Selama orang-orang itu tidak mengikhlaskan dan memaafkan kita, niscaya kita akan menerima hukuman Allah di dalam nerakanya kelak. Maka, quu anfusakum wa ahlikum naara. Dan mulailah dengan diri masing-masing!

Wallahu a'lam.

Jatibening, penghujung Jumadil Akhir 1433.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar