Ketika Pengurusan Keduniaan Kacau Apa Yang Harus Dilakukan
Sebuah
diskusi panjang tengah berlangsung. Diskusi yang hanya sebatas diskusi
karena memang tidak ada kesimpulan yang bisa diambil. Atau kalau pun ada
kesimpulan maka itu hanyalah sekadar wacana. Sekadar teori. Sekadar
angan-angan. Diskusi berketerusan juga. Sambil mengeluh panjang pendek.
Kenapa dan kenapa. Kenapa kita yang mempunyai filosofi yang begitu indah
tidak diamalkan. Kenapa kata-kata yang seharusnya tidak mengganggu
orang lain dan ditujukan khusus kepada umat Islam itu dahulu dihapuskan.
Sehingga lihatlah sekarang, karena ketujuh kata itu diabaikan, nah
inilah yang terjadi. Kesana sayut, kesini senteng kita jadinya. Coba dulu.....
Tak
habis-habis mengeluh. Coba dulu, kata-kata itu dipertahankan. Hah? Lalu
akan adakah jaminan bahwa segala sesuatu akan berjalan indah sesuai
dengan aturan? Aturan? Kurang apa aturan, meski yang dibikin-bikin
manusia seperti sekarang ini yang ternyata juga tidak berjalan? Aturan
tinggallah di aturan. Kalau memang tidak ada niat untuk menjadi baik,
apa dayanya si aturan. Si Pencilok dihukum, begitu menurut aturan. Tapi si Pencilok bisa mengatur aturan agar dia tidak dihukum. Atau agar hukumannya diatur-atur. Lalu mau apa kita?
Kita
salahkan anak kemenakan yang tidak lagi seperintah mamak. Kalau mamak
hanya sekadar pandai memerintah-merintah saja, memang jadi sulit.
Sekarang anak kemenakan adalah generasi merdeka yang tidak suka
diperintah-perintah. Lalu? Lalu terjadilah yang akan terjadi. Di saat
'keduniaan' semakin menjadi-jadi ini. Disaat informasi, cerita, berita,
tontonan ada di mana-mana. Ada di kantong baju. Ada di layar sebesar 5
senti. Informasi apa saja. Berita apa saja. Tontonan apa saja. Di dalam
kantong baju. Yang layarnya dapat dinikmati kapan saja, di mana saja
dengan siapa saja. Di ruang sidang anggota dewan. Di atas kereta. Di
dalam lift. Di ruang kerja. Di kakus.
Apa yang akan
diperintah? Apa yang akan dilarang? Bagaimana akan melarang? Lalu kita
sibuk juga bernostalgia, dulu tidaklah begini. Dahulu, ketika kita
teratur mengaji ke surau, kita adalah generasi yang sopan-sopan. Ehem,
benarkah? Bukankah dahulu ada juga yang sekali seketika kita 'makan
gadang' di surau dengan ayam yang dicekau di kandang rumah
orang? Atau kita membakar jagung muda yang diambil begitu saja di ladang
mak Tan Ameh, padahal tidak ada anak atau kemenakan mak Tan Ameh yang
ikut dengan kita. Ketika itu kita sangat menghormati orang tua. Kita
sangat takut dan segan kepada mamak. Kita taat dan patuh kepada orang
tua. Alhamdulillah. Dahulu kita berada dalam lingkungan yang lebih
sederhana. Yang lebih tertib, ehem, kalaupun ketika itu memang lebih
tertib. Karena kan ada juga. Mamak yang dulu sering menasihati kita itu,
rajin pula berdamini di lepau Tan Brain. Ketika kita menghampir pula ke lepau, kita disuruhnya pergi.
Dalam
lingkup lebih luas, kita sesali dan sekali lagi hanya bisa kita sesali
keadaan. Kenapa negeri ini, yang penduduknya 88% (ini data resmi badan
sensus nasional) beragama Islam, kehidupan masyarakatnya hambur adul
dalam kemungkaran. Dalam kemaksiatan. Kemaksiatan terang-terangan. Orang
mencuri terang-terangan. Orang menipu terang-terangan. Orang bermaksiat
terang-terangan. Dan tidak tersentuh hukum. Padahal kita berdalih juga
bahwa negeri ini negeri hukum. Hukum yang mana? Lalu kita salahkan hukum
yang dibuat manusia itu. Padahal, yang benar-benar bermasalah adalah
niat kita untuk menegakkan hukum tadi. Dengan hukum buatan manusia,
seorang yang berbuat kesalahan dihukum sekian-sekian, demikian-demikian.
Tapi niat untuk memberlakukan hukum itu kosong alias bisa
ditawar-tawar. Akan sama saja jadinya, biarpun kita tahu ada ketetapan
Allah atas tindak-tindak kejahatan dan bagaimana seharusnya
menghukumnya. 'Kita' tidak ada niat untuk mentaati hukum yang manapun.
Kita
salahkan cara pengaturan negeri ini. Cara mengangkat pemimpin. Cara
mengutus perwakilan. Cara menetapkan undang-undang. Kalau dilihat
salahnya, memang semua itu lemah belaka. Kita tiru demokrasi ala barat.
Satu orang satu suara. Presiden, gubernur, bupati, wakil rakyat kita
pilih dengan aturan satu orang satu suara. Ini cara demokrasi barat.
Lihatlah hasilnya. Semua serba kebablasan. Lalu gubernur ditangkap KPK.
Menteri ditangkap KPK. Bupati ditangkap KPK karena mereka semua bergelemak peak.
Salah.... dimana-mana salah. Kan seharusnya, seperti yang dirancang
pendahulu negeri ini dulu, kita mengangkat pemimpin itu dengan
musyawarah. Maka ada majelis musyawarah rakyat. Ada dewan wakil-wakil
rakyat. Begitu seharusnya. Hah? Bukankah selama berpuluh tahun kita
sudah punya lembaga itu? Bahkan sekarangpun masih ada. Dahulu lagi,
presiden dipilih oleh majelis syuro, yakni majelis permusyawaratan
rakyat, oleh wakil-wakil rakyat. He..he..he.. Bagaimana mungkin kita
melupakan betapa majelis ini selama berpuluh tahun dikangkangi oleh
yang berkuasa. Lalu kita punya presiden seumur hidup yang ditetapkan
oleh majelis syuro kita tadi itu. Padahal majelis itu telah
terang-terangan dikebiri. Di dalamnya duduk orang-orang yang dahulu itu
fasih dengan inggih ndoro. Yes Sir. Dan akibatnya ditetapkanlah
presiden seumur hidup. Tapi kata Allah tidak jadi. Allah biarkan
presiden seumur hidup itu tumbang. Berganti presiden. Diangkat pula oleh
majelis syuro kembali. 32 tahun majelis itu dikangkanginya dengan
segala macam cara. Diangkat juga sekali lima tahun, tapi yang diangkat
dia terus. Wakilnya boleh berganti-ganti tapi dia sendiri tidak. Ada
saja caranya agar dia dipilih oleh anggota majelis itu kembali.Tapi
akhirnya, kata Allah diapun jatuh pula.
Pertanda apa itu?
Pertanda bahwa
tidak ada jaminan kalau Allah tidak berkehendak. Kalau kita secara
individu-individu tidak meminta kepada Allah dengan sungguh-sungguh.
Di sini seharusnya tugas para ulama kita, yang benar-benar ulama,
mengingatkan kita. Tanpa henti-henti. Agar masing-masing kita memulai
dengan diri kita sendiri. Menjaga diri kita dan keluarga kita dari siksa
api neraka. Quu anfusakum wa ahlikum naara. Peliharalah dirimu
dan keluargamu dari siksa api neraka. Ini diarahkan kepada setiap
Muslim yang merupakan 88% dari jumlah penduduk Indonesia kita itu.
Ingatkan mereka, setiap mereka, setiap diri. Jaga diri kalian dan
anak-istri kalian dari ancaman api neraka. Ingatkan calon presiden,
calon wakil rakyat, calon guberbur, calon bupati bahkan sampai calon
Ketau RT sekalipun. 'Setiap kalian adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin
akan diminta tanggung jawabnya atas kepemimpinannya.' Ketika kalian
tidak bisa mempertanggungjawabkannya, maka tempat kalian adalah neraka
jahannam. Berhati-hati benarlah kalian karena siksa neraka jahannam itu
sangat bersangatan pedihnya.
Maka terserahlah akan
berbentuk apa pengaturan negeri ini. Yang penting aturlah diri
masing-masing kita agar terhindar dari murka Allah. Dari hukuman Allah.
Ingat, ketika kita berdosa kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun Maha Penyayang. Allah niscaya akan mengampuni kita, sebesar
apapun dosa kita, selama kita mau meminta ampun. Tapi ingat, dosa kita
kepada sesama manusia, Allah tidak akan ikut campur sebelum kita saling
menyelesaikannya di antara kita. Ingatlah agar tidak memakan hak orang
lain, apalagi hak orang lain sekampung, sekabupaten, sepropinsi,
senegara. Selama orang-orang itu tidak mengikhlaskan dan memaafkan kita,
niscaya kita akan menerima hukuman Allah di dalam nerakanya kelak.
Maka, quu anfusakum wa ahlikum naara. Dan mulailah dengan diri masing-masing!
Wallahu a'lam.
Jatibening, penghujung Jumadil Akhir 1433.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar