Jumat, 31 Maret 2017

Dr. Zakir Naik: Bagi Muslim, Tentu Saja Harus Memilih Pemimpin Yang Seiman (Dari Islampos)

Dr. Zakir Naik: Bagi Muslim, Tentu Saja Harus Memilih Pemimpin Yang Seiman (Dari Islampos)

JAKARTA–Cendekiawan Muslim asal India Dr Zakir Naik bersilaturahim ke kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2017). 

Dalam kunjungan tersebut, Dr Zakir Naik mendapat beragam pertanyaan dari para audiens yang hadir di sana. Salah satunya terkait isu larangan umat Islam memilih pemimpin non-Muslim yang akhir-akhir ini ramai diperdebatkan oleh sejumlah kalangan di Indonesia.
Perdebatan itu muncul dikarenakan adanya perbedaan penafsiran tentang surah al-Maidah ayat 51.Bagaimana pandangan Zakir Naik tentang masalah tersebut? Kepada hadirin, dia menjelaskan bahwa ayat itu tidak secara spesifik membahas soal larangan umat Islam menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. “Yang dilarang oleh surah al-Maidah ayat 51 adalah menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya,” ujarnya, demikian seperti dikutip dari Republika. 

Pesan yang disampaikan surah al-Maidah bukan sekadar soal larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin umat Islam. Tetapi juga larangan menjadikan mereka sebagai teman setia dan pelindung. 

Dr. Zakir Naik menambahkan, jika seandainya umat Islam dihadapkan pada dua pilihan antara memilih pemimpin Muslim atau pemimpin non-Muslim, maka pilihan yang lebih baik tentu saja adalah memilih pemimpin yang seiman.

Namun, Zakir mengingatkan kepada umat Islam agar selalu berlaku adil terhadap orang-orang non-Muslim.“Selama mereka (orang-orang non-Muslim) tidak mengusir kita (umat Islam) dari rumah, maka kita harus berbuat adil kepada mereka. Itu perintah Allah SWT yang disebutkan dalam Alquran,” ujarnya. 

Dr.Zakir naik mengatakan Allah SWT juga memerintahkan kepada kaum Muslim untuk berbuat baik dengan sesama manusia, termasuk non-Muslim. “Bahkan, di negara saya, India, sebagian besar masyarakat non-Muslim mencintai saya. Yang membenci saya justru para pemimpin politik di sana,” pungkasnya.

****

Prasangka Buruk Alias Su'uzhan

Prasangka Buruk Alias Su'uzhan     

Kata lain dari menyangka adalah menduga. Artinya kita tidak tahu pasti tentang sesuatu keadaan atau kejadian, karena tidak ada bukti, tapi kita menduga atau membayangkan dalam pikiran kita tentang keadaan tersebut. Ada lagi dugaan mengenai sesuatu yang buruk-buruk pada sesuatu atau seseorang. Menyangka bahwa sesuatu atau seseorang itu buruk, tidak elok, tidak pantas. Padahal tidak ada bukti. Yang seperti ini disebut sebagai su'uzhan atau berprasangka buruk.  

Berprasangka buruk atas seseorang adalah perbuatan yang tidak terpuji. Kita tidak seharusnya menyangka atau bahkan menuduh sesuatu yang tidak ada dasarnya. Berprasangka buruk ini bisa saja terjadi pada setiap pribadi ke pada pribadi lain bahkan orang-orang dekat sekalipun. Suami berprasangka buruk terhadap istri atau sebaliknya. Orang tua berprasangka buruk terhadap anak atau sebaliknya. Berprasangka buruk kepada menantu, kepada tetangga. Dan sebagainya.

Ketika pemikiran tentang sangkaan itu muncul di otak kita, setan akan datang membumbuinya, mengipas-ngipas agar semakin marak. Kalau kita tidak pandai mengendalikan perasaan maka akan berobah menjadi urusan besar sesudah itu. Bisa jadi urusan yang merusak diri kita ke dalam, menjadikan kita tidak nyaman, kesal, marah yang kalau disimpan dalam hati sendiripun bisa menjadikan kita senewen. Kalau dilepas, dikeluarkan dengan mengatakannya kepada yang diprasangkai, akan timbul pertengkaran.

Sangat buruk akibat dari berprasangka buruk itu. Namun seringkali kita tanpa sadar membiarkannya hadir.  

Ada barang kita tidak ketemu. Kita lupa di mana menaruhnya. Dicari kian kemari tidak kunjung ditemukan. Lalu muncul di benak kita, jangan-jangan diambil si anu. Si Anu ini bisa jadi saudara, atau tetangga, atau pembantu rumahtangga. Padahal tidak ada bukti apa-apa bahwa orang yang kita curigai dengan prasangka itu yang mengambil. Kalau kebetulan yang dicurigai itu pembantu, kita dengan nada menuduh menanyakan. 'Kamu yang mengambil barang saya?' Tidak jarang, pembantu yang dicurigai itu dibentak-bentak.

Setelah kita melampiaskan kemarahan karena dorongan prasangka tadi selesai, ternyata barang yang hilang itu kita temukan. Dan kita ingat, kita yang meletakkan di tempat ditemukannya itu sebelumnya. Si pembantu sudah terlanjur dimarah-marahi. Bukankah yang seperti ini sebuah kezhaliman?   

Maka jauhilah setiap prasangka buruk!

****                                     

Kamis, 23 Maret 2017

Ghauzwul Fikri

Ghauzwul Fikri  

Ta'lim di mesjid kami hari Ahad ba'da subuh kemarin membahas tentang ghauzwul fikri.  Apa yang dimaksud dengan ghauzwul fikri? Artinya secara harfiah adalah pembelokan pemikiran. Maksudnya pembelokan pemikiran yang tadinya cenderung kepada kebaikan dibelokkan agar menyalahi kebaikan tersebut. Taktik ini dijalankan oleh musuh-musuh Islam untuk mengalahkan umat Islam.

Kebenaran dibalikkan dengan cara 'pencucian otak'. Sebagai contoh, di sebuah kelas sekolah dasar guru mengajarkan agar murid-murid menyatakan 'yang besar itu adalah semut, yang kecil itu adalah gajah' dengan mengucapkannya berulang-ulang. Pada awalnya murid-murid menolak, tapi karena guru menyuruh mengucapkan pernyataan itu terus menerus, lama kelamaan, para murid mulai menghafalnya. Dan akhirnya menerima bahwa isi ungkapan itu adalah benar.

Bandingkanlah dengan pernyataan-pernyataan yang sering kita dengar akhir-akhir ini. 'Ciri-ciri teroris itu adalah, orangnya berjenggot, keningnya bertanda hitam bekas sujud, celananya cingkrang dan orangnya hafal al Quran.' Pernyataan ini dikeluarkan berulang-ulang, bahkan oleh orang-orang yang kononnya bergelar pemuka agama Islam. Ada lagi pernyataan, 'Al Quran itu adalah sumber dari segala tindakan teror.' Atau 'lebih baik seorang pemimpin bukan Islam tapi jujur daripada seorang pemimpin Muslim tapi korup.'

Contoh-contoh seperti ini adalah ghauzwul fikri yang sudah semakin kasar dan kotor. Islam dipojokkan dengan pemikiran-pemikiran yang salah. Segala sesuatu yang berbau Islam, entah itu pemuka agamanya (yang istiqamah dalam kebenaran), kitab sucinya, penganutnya yang berusaha untuk taat, di pojokkan, disalah-salahkan, bahkan bila perlu diperkarakan atas dasar hukum yang dibuat-buat. Yang sangat menyedihkan, ada di antara mereka yang mengkampanyekan pemikiran yang kacau itu adalah orang yang berkartu penduduk Islam.

Di satu sisi kita memahami bahwa ungkapan-ungkapan seperti di atas keluar dari mulut-mulut orang fasiq. Orang yang benci Islam. Tapi di sisi lain kita harus menyadari bahwa kita umat Islam sedang diuji Allah. Allah sedang menguji keteguhan iman umat Islam. Apakah mereka mampu berada di posisi yang benar-benar diridhai Allah, atau sebaliknya menyerah kepada kebathilan.  In sya Allah, kebenaran akan senantiasa tegak dan yang bathil itu pasti akan tumbang. Demikian itu janji Allah. Mudah-mudahan kita senantiasa mampu memelihara diri dari penyimpangan pemikiran atau gauzwul fikri.

****

Selasa, 14 Maret 2017

Benarkah Sesuatu yang Rutin Itu Membosankan?

Benarkah Sesuatu Yang Rutin Itu Membosankan?   

Ada orang yang cepat bosan ketika menemukan sesuatu kejadian rutin dalam hidup. Dia merasa tidak betah dengan suasana yang menurutnya monoton. Berulang-ulang itu-itu melulu. Dia senang dengan sesuatu yang selalu berubah dan bergerak. Yang dinamis. Begitu pengakuannya. Dia tidak mau menjadi seorang karyawan yang hanya mengerjakan pekerjaan yang sama dari waktu ke waktu.  Lalu maunya jadi apa? Pokoknya dia tidak mau melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang. Saat ini dia menjadi seorang petani. Besok-besok dia menjadi tukang. Kapan-kapan lagi jadi pedagang. Orang seperti ini lebih tepatnya disebut sebagai seorang pembosan.

Benarkah kita bisa menghindar dari sebuah rutinitas? Rasanya sulit. Perputaran waktu yang kita lalui adalah sebuah rutinitas. Pagi menjadi siang, kemudian beranjak menjadi sore dan seterusnya berganti menjadi malam. Lalu datang pagi lagi. Begitu terus berulang-ulang. Dan kita mengisi waktu itu dengan perbuatan yang mau tidak mau memang harus dilakukan berulang-ulang.  Kita makan, minum. Sarapan di pagi hari, makan siang kemudian makan malam. Itu yang kita lakukan setiap hari.

Agama Islam mewajibkan kita shalat secara teratur setiap hari. Di waktu-waktu yang sudah ditentukan. Dengan jumlah rakaat yang ditentukan. Hari demi hari, selama kita masih hidup, diwajibkan mengerjakan hal yang sama. Pengecualian hanya untuk wanita yang sedang tidak suci. Maka pelaksanaan ibadah shalat itu menjadi sesuatu yang rutin. Dan memang harus demikian. Dalam bahasa agamanya disebut kita harus istiqamah

Berbahagialah mereka yang mampu mempertahankan keistiqamahannya dalam mengerjakan shalat. Shalat yang dikerjakan di awal waktu dan berjamaah di mesjid. Waktu seseorang memelihara yang demikian, terlihat seolah-olah dia terperangkap dalam sebuah rutinitas. Dia sudah bangun sebelum dikumandangkan azan subuh. Berangkat ke mesjid untuk shalat berjamaah. Begitu pula untuk setiap panggilan azan lainnya yang selalu dipenuhinya dengan datang ke mesjid. Semua itu dilakukannya dengan irama yang sama hari demi hari.

Begitu juga sebenarnya dengan kegiatan lain dalam kehidupan. Yang seharusnya dilaksanakan dengan keteguhan hati. Walaupun pekerjaannya itu ke itu juga. Apapun dia. Entah sebagai seorang buruh. Seorang sopir taksi. Seorang juru masak. Seorang petani. Selama fisik masih mampu melakukannya dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Berusaha dan kemudian bertawakkal kepada Allah. Dan tentu saja mensyukuri hasil yang diberikan Allah atas usaha dan pekerjaan tersebut. 

Kita memang tidak bisa menghindar dari kejadian yang datang berulang-ulang dalam hidup ini, seperti perputaran waktu antara siang dan malam. Tapi kita bisa meningkatkan mutu dari penggunaan waktu yang kita lalui itu. 

****                           

Minggu, 05 Maret 2017

Bencana Longsor Di Pangkalan Koto Baru

Bencana Longsor Di Pangkalan Koto Baru   

Sebuah peristiwa tragis dan menyedihkan terjadi hari Jumat tanggal 3 Maret yang lalu di daerah Pangkalan Koto Baru di Sumatera Barat. Banjir bandang yang merendam rumah-rumah penduduk dan tanah longsor yang merusak dan menghancurkan jalan. Pangkalan Koto Baru dilintasi jalan raya yang menghubungkan Bukit Tinggi dengan Pakan Baru. Lintasan ini dilalui ribuan kendaraan bermotor setiap harinya. Kejadian tanah longsor itu mengerikan sekali. Menurut berita ada 30 titik longsor yang sebagian besarnya memutus jalan raya. Banyak kendaraan yang terbawa tanah longsor masuk ke dalam jurang ataupun tertimbun longsoran. Yang selamat dari tanah longsor terjebak, tidak bisa maju dan tidak bisa mundur karena jalan raya putus. 

Sungguh mengerikan sekali. Banyak korban jiwa meski jumlah pastinya belum diketahui. Yang sudah dievakuasi adalah mayat dari mereka yang terjebak di dalam mobil yang jatuh ke dalam jurang. Ini benar-benar musibah yang menyedihkan. Yang terperangkap di tengah jalan mungkin ratusan banyaknya, menunggu bantuan penyelamatan dan sementara itu menderita lapar dan haus. Tidak terbayangkan penumpang-penumpang bus, ataupun penumpang kendaraan pribadi yang mengalami kejadian tersebut. 

Aku sangat ngeri membayangkan saat terjadinya musibah ini. Aku telah melintas di jalan itu berpuluh-puluh kali, sejak masih duduk di bangku SMA tahun 1967 sampai tahun kemarin. Boleh dikatakan setiap kali pulang ke kampung aku dan keluarga menyempatkan pergi ke Pekan Baru karena di sana ada adik dan ipar-iparku. Dan pastilah melintas di jalan yang sama.  Betapa ngerinya, ketika kita sedang meluncur di jalan raya, tiba-tiba tanah yang dilalui bergerak, meluncur terban. Atau menimpa kendaraan kita. Atau ketika kita menyadari perjalanan tidak bisa lagi diteruskan karena di hadapan tiba-tiba menganga lobang besar akibat longsor. Ma sya Allah. Betapa kecil dan tidak berdayanya kita sebagai manusia kalau sudah berhadapan dengan musibah seperti ini.  

Kenapa longsor? Pasti akan muncul pertanyaan seperti ini. Secara sederhana jawabannya adalah karena tidak stabilnya tanah yang permukaannya berbukit-bukit seperti di sekitar kawasan bencana. Kenapa tanahnya menjadi tidak stabil? Mungkin karena pohon-pohon yang menahan tebing-tebing tersebut tidak mencukupi lagi. Lalu daerah itu ditimpa hujan berhari-hari. Air hujan yang meresap ke dalam tanah tidak tertahan karena berkurangnya pepohonan dan akhirnya menyebabkan tanah bergerak turun. Itulah longsor. Sebahagian dari penyebab bencana alam itu adalah ulah tangan manusia juga yang tidak arif dalam bersahabat dengan alam. 

Kita berduka. Mudah-mudahan yang tewas dalam musibah itu meninggal dalam husnul khaatimah. Mudah-mudahan mereka-mereka yang terluka, yang terperangkap cepat tertolong. Mudah-mudahan keluarga yang ditimpa musibah tetap sabar. Aamiin.

****                   

Jumat, 03 Maret 2017

Yang Jadi Imam Shalat

Yang Jadi Imam Shalat    

Siapa yang seharusnya menjadi imam shalat berjamaah? Ada petunjuk dan aturan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang siapa yang dijadikan imam shalat. Yaitu yang paling baik bacaan al Qurannya (serta banyak hafalannya). Kalau ada dua orang yang sama baik bacaannya, maka yang lebih faham tentang sunnah. Kalau dalam kedua hal itu sama juga, yang duluan hijrah atau katakanlah yang lebih tua dalam berislam. Jadi artinya, ada ketentuan yang jelas untuk bisa menjadi imam shalat. 

Di mesjid di komplek kami imam mesjid dipilih dan ditetapkan dengan mengikuti ketentuan seperti di atas. Kami mempunyai imam utama dan imam cadangan. Yang terakhir ini ada beberapa orang, yang akan menggantikan jika imam utama berhalangan.

Mungkin karena memahami persyaratan-persyaratan seperti itu, di beberapa kesempatan shalat berjamaah (biasanya di tempat umum, atau kalau di mesjid ketika shalat bukan di awal waktu) biasanya terlihat jamaah saling berdorong-dorongan menyuruh menjadi imam. Yang maju akhirnya memang orang yang diketahui oleh jamaah sebagai seorang yang lebih pantas menjadi imam.

Tapi ada juga orang yang merasa begitu percaya diri lalu maju menjadi imam, sementara dia sepertinya tidak mengerti tentang aturan yang ditetapkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seperti di atas. Segera saja orang yang faham dengan tajwij bacaan al Quran akan menyadari bahwa seseorang yang kepedean itu pantas atau tidak menjadi imam. Misalnya setelah mendengar bacaan al fatihahnya, atau bahkan dengan bacaan takbirnya. Begitu pula dengan tuma'ninah atau tertib dalam gerakan-gerakan shalatnya. Makmum akan menyadari bahwa dia ini sebenarnya tidak atau belum pantas menjadi imam. 

Aku pernah shalat di belakang imam yang luar biasa cepat shalatnya. Kita belum selesai membaca setengah dari al fatihah, dia sudah takbir untuk rukuk. Kalau kebetulan bermakmum kepada imam yang seperti ini, yang shalatnya super kilat dan tidak tuma'ninah, maka sebaiknya kita keluar dari jamaah. Dalam bahasa Arabnya, kita mufarraqah, atau mengundurkan diri. Kita teruskan shalat sendiri dengan tertib.

Shalat adalah penyerahan diri kepada Allah dan semestinya dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Dilakukan dengan khusyuk. Meski mungkin untuk mendapatkan kekhusyukan (melupakan segala urusan dunia ketika sedang shalat) bukan pula hal yang mudah. Oleh karenanya ada aturan yang tidak boleh dilanggar, baik dari hal bacaan maupun gerakannya. Dalam shalat berjamaah, seseorang tidak dijadikan imam hanya karena dia orang berpangkat di tengah masyarakat. Seseorang dijadikan imam karena dia pantas menjadi imam dengan segala persyaratannya tadi, meski dalam hal pangkat dia mungkin hanya seorang pegawai rendahan. 

****