Lihat Orang Shalat di Stasiun, Lelaki ini Masuk Islam
Kamis 13 Syaaban 1435 / 12 Juni 2014 14:30
Oleh : M. Syamsi Ali, Imam Masjid Islamic Cultural Center New York
HIDAYAH Allah datang tanpa terduga. Seseorang mengatakan hidayah
Allah itu mahal, karena tidak semua bisa dapat. Tapi jika Allah sudah
berkehandak, siapapun kapanpun hidayah itu bisa diterima.
Sama halnya dengan pemuda berkulit cokelat asal Trinidad ini. Ia
terpana melihat pemandangan di depannya. Dia bernama Dion, lelaki
berusia 26 tahun itu, tak henti-henti mengarah ke sekelompok Muslim yang
sedang shalat dengan khusyu’nya di tengah ramainya stasiun kereta di
sebuah kota di Belgia. Dion seperti tersambar petir. “Saya tidak tahu,
tiba-tiba karena melihat mereka shalat di stasiun hati saya bergetar,”
katanya.
Seusai mereka shalat, Dion memberanikan diri bertanya, siapa mereka
dan apa gerangan yang mereka baru lakukan? Setelah mendapatkan jawaban
dari mereka, pemuda yang bekerja sebagai akuntan di Stamford,
Connecticut, itu tidak pernah habis berpikir. Ada pikiran yang
berkecamuk keras, antara percaya dengan perasaannya sendiri dan apa yang
dia kenal selama ini tentang Islam.
Tiga minggu sesudah kejadian itu, Dion bertemu saya di Islamic Forum
for non Muslim New York yang saya asuh. Rambutnya panjang. Gaya
berpakaiannya membuat saya hampir tidak percaya jika hatinya begitu
lembut menerima hidayah Ilahi. Biasanya ketika menerima pendatang baru
di kelas ini, saya mulai menjelaskan dasar-dasar Islam sesuai kebutuhan
dan pengetahuan masing-masing peserta. Tapi hari itu, tanpa kusia-siakan
kesempatan, saya jelaskan makna shalat dalam kehidupan manusia,
khususnya dalam konteks manusia modern yang telah mengalami kekosongan
spiritualitas.
Hampir satu jam saya jelaskan hal itu kepada Dion dan pendatang baru
lainnya. Hampir tidak ada pertanyaan serius, kecuali beberapa yang
mempertanyakan tentang jumlah shalat yang menurut mereka terlalu banyak.
“Apa lima kali sehari tidak terlalu berat?” tanya seseorang. “Sama
sekali tidak. Bagi seorang Muslim, shalat 5 waktu bahkan lebih dari itu
adalah rahmat Allah,” jawabku. Biasanya saya membandingkan dengan makan,
minum, istirahat untuk kebutuhan fisik.
Setelah kelas bubar, Dion ingin berbicara berdua. Biasanya saya
tergesa-gesa karena harus mengisi pengajian di salah satu masjid
lainnya. “Saya rasa Islam lah yang benar-benar saya butuhkan. Apa yang
harus saya lakukan untuk menjadi Muslim?” tanyanya tanpa tedeng
aling-aling.
Saya diam sejenak, lalu saya bilang, “Saya bukannya mau menunda jika
kamu benar-benar yakin bahwa ini jalan yang benar untuk kamu. Tapi coba
pastikan, apakah keputusan ini datang dari dalam dirimu sendiri.”
Dengan bersemangat Dion kemudian menjawab, “Sejak dua minggu lalu,
saya mencari-cari jalan untuk mengikuti agama ini. Beruntung saya kesini
hari ini. Kasih tahu saya harus ngapain?” katanya lagi.
Alhamdulillah, siang itu juga Dion resmi menjadi Muslim setelah
mengucapkan syahadat menjelang shalat Ashar. Diiringi gema “Allahu
Akbar!” dia menerima ucapan selamat dari ratusan jama’ah yang shalat
Ashar di Islamic Center of New York.
Saat itu Dion pernah mengikuti ceramah saya di Yale University dengan
tema “Islam, Freedom and Democracy in Contemporary Indonesia”. Pada
kesempatan itu saya perkenalkan dia kepada masyarakat Muslim yang ada di
Connecticut, khususnya Stamford. Sayang, belum ada tempat di daerahnya
di mana dia bisa mendalami Islam lebih jauh. Hingga kini, dia masih
bolak balik Stamford-New York yang memakan waktu sekitar 1 jam, untuk
belajar Islam.
Semoga Dion dikuatkan dan selalu dijaga dalam lindunganNya!
[fh/islampos/pitidki]
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar