Minggu, 23 Oktober 2011

Berzikir

Berzikir 

Tadi siang, aku pergi memenuhi sebuah undangan resepsi pernikahan di salah satu gedung di TMII. Undangan yang berlaku seperti yang tertulis di dalamnya sejak jam 12.00 sampai jam 15.00, sebuah pemilihan waktu yang agak berbeda dari biasanya (11.00 - 14.00) tapi sebenarnya jauh lebih realistis. Berangkat jam 11 dari rumah, persis ketika melewati Cililitan terdengar azan shalat zuhur. Karena waktu cukup lega, aku sengaja berhenti dulu di Mesjid At Tiin untuk shalat zuhur, dan mobil aku belokkan dulu ke sana. Iqamat sudah dikumandangkan ketika aku baru melangkah dari mobil menuju mesjid tersebut.

Aku mendapatkan rakaat kedua (masbuk). Komando imam dengan suara baritonnya yang khas dan berwibawa disertai pengaruh pengeras suara yang prima mengingatkanku pada shalat  di mesjid Masjidil Haram. Syahdu dan khusyuk sekali rasanya.

Akhirnya imam mengucapkan salam dan aku segera berdiri sesudah itu untuk melengkapi satu rakaat yang tertinggal. Di sini bermula cerita. Belum sampai aku berdiri sempurna pada rakaatku yang terakhir itu, suara bariton imam yang tadi terdengar sangat enak itu bergemuruh kembali dalam zikir Astaghfirullaahil 'azhiim - Allahumma antassalaam..... dan seterusnya. Suara yang diperkeras dengan kekuatan entah berapa puluh ribu volt itu jelas membuat konsentrasiku buyar. Sungguh. Sungguh-sungguh buyar. Bahkan terbingung-bingung antara akan mengucapkan sami'alllahu li man hamidah atau apakah Allahu Akbar, sebegitu dahsyatnya alunan zikir berpuluh ribu volt itu.

Aku tahu bahwa hal seperti ini biasanya disebut sebagai masalah khilafiyah, berzikir keras-keras sesudah selesai shalat. Meski dikemukakan firman Allah dalam surah Al A'raaf (surah 7) ayat 205 yang berbunyi; 'Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.' Ada saja argumentasi, untuk (seolah-olah) mementahkan makna dari ayat ini dengan mengatakan; 'Bagaimana dengan azan, kan zikir juga. Bagaimana dengan takbir di hari raya, kan zikir juga. Bagaimana dengan talbiyah di saat ihram dan berhaji, kan zikir juga.'

Di mesjid komplek kami aku hanya mengingatkan para jamaah agar tidak mengganggu orang yang sedang shalat, apakah shalat sunnah ataupun menyempurnakan shalat karena datang terlambat. Aku berusaha tidak membesar-besarkan masalah khilafiyah ini karena khawatir tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan mungkin hanya akan menambah masalah.

Tapi pengalamanku tadi siang itu, menambah keyakinanku bahwa zikir dengan suara keras, apalagi dengan suara diperkeras (dengan pengeras suara berkekuatan Subhanallah), sungguh sangat  mengganggu dan membuyarkan kekhusyukan.  

*****                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar