Jumat, 22 April 2011

Marah

Marah..... 

Khatib kemarin berkhutbah tentang 'marah'. Suatu ketika menurut riwayat, seseorang bertanya kepada Nabi SAW tentang apa yang harus diperbuatnya agar dia mendapatkan keridhaan Allah. Jawab Nabi, 'jangan marah'. Setelah itu apa, wahai Rasulullah? tanya orang itu lagi. Jawab Nabi, jangan marah, begitu sampai tiga kali. Sang khatib mengingatkan pula firman Allah dalan surat Ali Imran ayat 134 sebagai ciri-ciri orang yang bertaqwa .... 'orang-orang yang menafkahkan hartanya  waktu dalam keadaan lapang (berada) atau dalam keadaan sempit (susah), menahan amarahnya, dan suka memaafkan  kesalahan orang....' Di sini Allah menjelaskan bahwa menahan marah adalah salah satu ciri dari orang yang bertaqwa.

Lalu timbul pertanyaan. Apakah marah itu terlarang atau nafsu  amarahnya yang harus dikendalikan? Ternyata marah itu mempunyai rentang yang cukup lebar. Seseorang itu ada kalanya perlu marah. Ketika kita melihat kemungkaran, ketika kita melihat ketidak adilan, kesewenang-wenangan, ketidak jujuran, maka kita perlu 'marah'. Kita perlu memperbaikinya entah dengan tangan, entah dengan peringatan mulut, entah dengan sekedar doa. Ketika anak kita yang sudah berumur sepuluh tahun belum juga menegakkan shalat, kita perlu memarahinya bahkan dengan memukulnya. Ketika istri nusyuz, mendurhaka, berbuat kemungkaran, kita perlu marah. Ada beberapa tingkatan peringatan dalam memarahinya dan itu pun diajarkan Allah dalam al Quran.

Kalau begitu? Marah yang mana yang harus dikendalikan? Ternyata marah yang disertai hawa nafsu. Marah yang didasari emosi. Entah karena kita tersinggung. Entah karena kelompok kita diburuk-burukkan orang. Entah karena kekeliruan kita diolok-olok orang. Lalu kita marah. Marah dengan cara melampiaskan kemarahan itu dengan hawa nafsu. Entah secara fisik (memukul, menyakiti, menganiaya) atau dengan kata-kata (menghina, memaki, merendahkan). Inilah yang dilarang. Yang perlu dikendalikan. Tersebut pula dalam kisah yang lain. Dalam satu pertempuran, dalam duel pedang satu lawan satu antara Ali bin Abi Thalib dengan seorang kafir Quraisy. Pedang si kafir Quraish terlepas dan Ali bin Abi Thalib tinggal menyelesaikan duel itu untuk kemenangan beliau. Tiba-tiba...... si kafir Quraisy itu meludahi muka Ali. Apa yang terjadi? Ali menarik pedangnya yang sudah terjulur untuk menetak leher musuh itu. Para sahabat bertanya, kenapa Ali melakukan hal itu? Beliau menjawab, ketika orang kafir itu meludahinya, timbul emosinya. Timbul marahnya. Tapi di sana keistimewaan sahabat Rasulullah yang satu itu. Imannya tetap berfungsi utuh dalam kemarahannya. Beliau berkata, tadi itu aku marah karena diludahinya, itulah sebabnya aku tidak jadi membunuhnya. Karena kalau aku membunuh karena kemarahanku, niscaya aku termasuk golongan orang-orang yang zhalim.

Jadi begitulah perkara marah. Marah ketika sesuatu kemungkaran terjadi di hadapan mata adalah merupakan keharusan. Tapi marah yang dilandasi iman kepada Allah SWT. Bukan marah yang dilandasi nafsu dan ego. Karena marah yang terakhir ini akan meninggalkan bekas. Kita sakiti orang lain dengan tangan atau dengan kata-kata dalam kemarahan kita, dalam nafsu dan egoisme kita, pasti akan meninggalkan goresan pada orang yang kita sakiti itu. Jadi mari kita kendalikan marah........    

*****        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar