Senin, 25 April 2011

A Fantastique Monday????

A Fantastique Monday?

Padahal..... Padahal aku sudah menyiapkan mental untuk datang terlambat. Karena ini hari Senin sesudah libur panjang. Yang konon biasanya dibanjiri oleh arus balik yang tergopoh-gopoh dari mudik. Paling tidak, dalam bayanganku sebelumnya,  akan perlu waktu sekurang-kurangnya dua jam di jalan. Atau sampai di Slipi sana sekitar jam delapan. Tidak juga masalah karena aku sekarang menikmati tidur di sepanjang perjalanan itu. Lain pula nikmatnya dapat tidur sepuluh menit terbangun, tambah sepuluh - lima belas menit lagi lalu terbangun pula. Sambil tiap sebentar melihat jam, tentu saja (ketika terbangun itu).

Tapi tadi pagi itu aku kecele. Terbangun kedua kalinya jam tujuh kurang dua puluh kami berada di depan Menara Saidah di jalan MT Haryono. Artinya taksi ini di luar target untuk terlambat. Karena segera sesudah itu kami (akan) melewati Pancoran, tersendat-sendat sedikit lagi sampai pintu keluar tol Kuningan - Mampang dan sesudah itu taksi bisa dipacu sekencang-kencangnya. Dan memang itu yang terjadi. Jam tujuh tepat pintu Kuningan - Mampang itu sudah terlampaui. Dan taksi limo (kalau jadi mobil pribadi namanya Vios) itu dipacu pengendaranya dengan kecepatan 140km. Saking leluasanya di jalan. Dan jam tujuh lebih sepuluh aku sudah sampai di tujuan, di kantor di Slipi. Fantastique.

Aku kirim sms ke anak-anak tentang sebuah 'fenomena' aneh pagi ini. Yang satu mengatakan, wah..... barangkali para pelibur panjang itu tepar  sehingga tidak pergi bekerja. Agak lama kemudian datang sms yang lain mengatakan, 'terang aja...... kan hari ini banyak sekolah mulai libur.....' Oalah..... itu toh penyebabnya.

Tapi ya alhamdulillah... Karena kalau sedang melihat (ketika tidak tidur) keadaan jalan berselingkit pingkit, meski tidak memegang stir, ada juga rasa 'sesak' di dadaku sedikit. Itulah alasannya aku memilih tidak mau menyetir untuk pergi ke tempat kerja. Dan ternyata banyak juga nikmatnya....

***** 




      

Jumat, 22 April 2011

Marah

Marah..... 

Khatib kemarin berkhutbah tentang 'marah'. Suatu ketika menurut riwayat, seseorang bertanya kepada Nabi SAW tentang apa yang harus diperbuatnya agar dia mendapatkan keridhaan Allah. Jawab Nabi, 'jangan marah'. Setelah itu apa, wahai Rasulullah? tanya orang itu lagi. Jawab Nabi, jangan marah, begitu sampai tiga kali. Sang khatib mengingatkan pula firman Allah dalan surat Ali Imran ayat 134 sebagai ciri-ciri orang yang bertaqwa .... 'orang-orang yang menafkahkan hartanya  waktu dalam keadaan lapang (berada) atau dalam keadaan sempit (susah), menahan amarahnya, dan suka memaafkan  kesalahan orang....' Di sini Allah menjelaskan bahwa menahan marah adalah salah satu ciri dari orang yang bertaqwa.

Lalu timbul pertanyaan. Apakah marah itu terlarang atau nafsu  amarahnya yang harus dikendalikan? Ternyata marah itu mempunyai rentang yang cukup lebar. Seseorang itu ada kalanya perlu marah. Ketika kita melihat kemungkaran, ketika kita melihat ketidak adilan, kesewenang-wenangan, ketidak jujuran, maka kita perlu 'marah'. Kita perlu memperbaikinya entah dengan tangan, entah dengan peringatan mulut, entah dengan sekedar doa. Ketika anak kita yang sudah berumur sepuluh tahun belum juga menegakkan shalat, kita perlu memarahinya bahkan dengan memukulnya. Ketika istri nusyuz, mendurhaka, berbuat kemungkaran, kita perlu marah. Ada beberapa tingkatan peringatan dalam memarahinya dan itu pun diajarkan Allah dalam al Quran.

Kalau begitu? Marah yang mana yang harus dikendalikan? Ternyata marah yang disertai hawa nafsu. Marah yang didasari emosi. Entah karena kita tersinggung. Entah karena kelompok kita diburuk-burukkan orang. Entah karena kekeliruan kita diolok-olok orang. Lalu kita marah. Marah dengan cara melampiaskan kemarahan itu dengan hawa nafsu. Entah secara fisik (memukul, menyakiti, menganiaya) atau dengan kata-kata (menghina, memaki, merendahkan). Inilah yang dilarang. Yang perlu dikendalikan. Tersebut pula dalam kisah yang lain. Dalam satu pertempuran, dalam duel pedang satu lawan satu antara Ali bin Abi Thalib dengan seorang kafir Quraisy. Pedang si kafir Quraish terlepas dan Ali bin Abi Thalib tinggal menyelesaikan duel itu untuk kemenangan beliau. Tiba-tiba...... si kafir Quraisy itu meludahi muka Ali. Apa yang terjadi? Ali menarik pedangnya yang sudah terjulur untuk menetak leher musuh itu. Para sahabat bertanya, kenapa Ali melakukan hal itu? Beliau menjawab, ketika orang kafir itu meludahinya, timbul emosinya. Timbul marahnya. Tapi di sana keistimewaan sahabat Rasulullah yang satu itu. Imannya tetap berfungsi utuh dalam kemarahannya. Beliau berkata, tadi itu aku marah karena diludahinya, itulah sebabnya aku tidak jadi membunuhnya. Karena kalau aku membunuh karena kemarahanku, niscaya aku termasuk golongan orang-orang yang zhalim.

Jadi begitulah perkara marah. Marah ketika sesuatu kemungkaran terjadi di hadapan mata adalah merupakan keharusan. Tapi marah yang dilandasi iman kepada Allah SWT. Bukan marah yang dilandasi nafsu dan ego. Karena marah yang terakhir ini akan meninggalkan bekas. Kita sakiti orang lain dengan tangan atau dengan kata-kata dalam kemarahan kita, dalam nafsu dan egoisme kita, pasti akan meninggalkan goresan pada orang yang kita sakiti itu. Jadi mari kita kendalikan marah........    

*****        

Kamis, 21 April 2011

That's the way (even) I (don't) like it

That was the way even I don't like it

Ingat ketika masih muda dulu, ada sebuah lagu genit dan teu puguh yang entah judulnya apa, tapi ada sebaris kata-kata that' s the way I like it ( lalu ada suara aha-aha). Bukan karena aku suka lagu itu tapi tiba-tiba ingat saja, judulnya.

Nah, kemarin sore. Ketika orang-orang di tempat aku bekerja saling mengingatkan untuk cepat-cepat pulang sebelum macet berat, (soalnya karena menjelang long week end, lalu lintas jadi ekstra padat) maka akupun bersetuju. Jam empat seperempat (instead of jam setengah lima) aku turun. Berharap akan sampai di rumah lebih awal dari biasa.

Ternyata....... Di sinilah bermula sebuah cerita yang I don't like it itu. Tidak sebuahpun taksi mau berhenti ketika distop. Operator sebuah perusahaan taksi yang aku pesan setiap hari memberi tahu kalau dia belum bisa mendapatkan taksi untukku. Sudah dua-tiga kali terjadi hal yang sama, tidak pernah jadi masalah. Aku turun dan berjalan ke pinggir jalan, segera saja ada taksi yang bisa dihentikan. Tapi kemarin itu tidak ada. Berpuluh-puluh buah taksi yang datang dari arah Grogol sudah berisi penumpang. Dan memang lalu lintas luar biasa sibuk dan padat dengan segala jenis kendaraan, terutama sepeda motor. Aku menanti beberapa puluh menit, hasilnya nihil. Lalu aku berjalan ke arah hotel Ibis di mana biasanya ada taksi mangkal. Tapi kemarin itu, ada satu-satunya taksi tapi tidak ada sopirnya. Sudah lewat jam lima.... Waaw..... Aku teruskan berjalan ke dekat lampu merah sambil tetap berusaha menoleh dan menghentikan taksi. Nool besar.... Betul-betul hebat petang menjelang long week-end ini.

Akhirnya aku lihat sebuah bus besar berwarna hijau sedang berhenti menunggu penumpang. Terpampang tulisan Grogol - Cawang. Aku segera mendekat dan naik. Ada tempat duduk. Ya, alhamdulillah. Dan ternyata, ini yang agak mencengangkan, di jalan arteri di samping jalan tol yang berdesak-desak itu, bus hijau panjang ini bisa berlari bebas. Subhanallaah.... Dia tersendat-sendat sedikit di Semanggi lalu setelah itu men-cerupus lagi larinya. Dan ternyata setelah dari Semanggi dia masuk jalan tol yang mulai sedikit lega. Tapi di plank  elektrik di jalan ada pemberitahuan bahwa jalan tol arah Cikampek padat merayap, kecepatan sekitar 10 km/jam... Oalah.....

Bus terus melaju. Di daerah Cawang, entah karena apa, penumpang-penumpang berhamburan ke arah belakang bus. Aku terheran-heran dan bangkit dari duduk karena memang sebentar lagi akan turun. Rupanya ada yang berteriak minta api (untuk rokok?) dan orang-orang menyangka dia berteriak ada api..... Masya Allah!!!!! Singkat kata, bus itu akhirnya sampai di pertigaan Cawang arah ke Cililitan. Aku turun. Di pinggir jalan sedang ngetem (menunggu penumpang) mikrolet nomor 19 jurusan Bekasi. Aku langsung naik. Jalan Kali Malang ternyata lancar-lancar saja. Dan aku sampai di Kincan (pemberhentian sebelum berbelok ke komplek perumahanku) sekitar jam setengah tujuh. Tukang ojek berebutan menawarkan jasa. Tapi di sini aku punya pilihan berbeda. Aku lebih senang naik beca. 

Akhirnya jam tujuh kurang seperempat sampai di rumah. Bergegas shalat maghrib. That's the way I don't like it, karena aku ingin sampai di rumah sebelum masuk waktu maghrib, yang kemarin ternyata luput......

*****     

Sabtu, 16 April 2011

Dari File Lama Di Multiply..... Surat Untuk Kanti

SURAT UNTUK KANTI


                                                                                                Kampung, Awal Juni 2008



Kanti,


Lama sungguh kita berpisah. Aku tersadar tentang itu ketika konco palangkin kita pulang kepetang ini. Panjang cerita kami. Nostalgia sejak kita berhuru-huru di kampung di awal tahun tujuh puluhan, sejak kita masih terlibat gotong royong sabit-irik, sejak kita ikut-ikut pergi berburu ke kaki gunung. Tentu saja kami mengabsen semua kanti-kanti kita kala itu. Kau adalah salah satunya. Kenangan itu mengingatkanku bahwa sejak itu pula kita tidak pernah lagi bersua. Aku mendengar bahwa kau pernah sekali waktu pulang ke kampung tapi berkebetulan ketika itu aku sedang dibawa kemenakan raun ke Medan. Sehingga kita tidak bertemu.


Konco palangkin kita bercerita tentang pencapaianmu di rantau. Aku ikut senang mendengarnya. Syukurlah, bahwa elok peruntunganmu. Mudah-mudahan tetaplah seperti itu untuk seterusnya. Sebenarnya sebelum itu, aku sering juga mendengar cerita bahwa sumbangan pembangunan Taman Bacaan Al Quran yang atas nama Hamba Allah itu satu diantaranya berasal darimu. Tentu saja kami di kampung sangat bangga dengan uluran tangan dunsanak-dunsanak dari rantau seperti ini.


Antara lantas dengan tidak sebenarnya anganku menyampaikan cerita ini. Khawatir kau akan salah mengerti, seolah-olah aku ingin memangurmu.


Begini! Ingatkah kau hotar kita ketika selesai mairiak di sawah seberang bandar? Ketika kita terkapar kekenyangan sesudah sebelumnya terbit peluh menggumpal  pairiakan? Ketika kita menghirup dalam-dalam asap rokok Soor? Dan seperti asap rokok yang bergulung ke udara, ketika itu kau berangan-angan bahwa kalaulah nanti ada orang kampung ini yang cukup kaya, akan kau datangi dia untuk mengusulkan agar orang itu bersedia memodali pembelian sebuah traktor yang sekaligus alat untuk memanen padi seperti yang kita lihat gambarnya di majalah robek Dunia Amerika. Agar orang kampung tidak pecah-pecah lagi kakinya menjaja dan membalik tanah. Melindih dan menyikat di dalam genangan air berlunau. Agar tangan mereka tidak terancam sabit tajam ketika menyabit. Agar kaki mereka tidak lagi gatal-gatal kena miang padi.


Kanti,


Telah berpuluh tahun berlalu. Angan-anganmu dulu itu tentulah hanya sekedar angan-angan yang terbang melayang bersama asap rokok. Karena sampai sekarang masih seperti itu juga kami menjaja sawah. Masih seperti itu juga cara kami menyabit dan mengirik. Bedanya hanyalah bahwa sekarang tidak ada lagi gotong royong seperti dulu itu. Anak-anak muda tidak ada lagi yang pandai menghalau kerbau penarik bajak. Tidak ada lagi yang pandai menyabit dan mengirik. Gelinggaman mereka merancah air berlunau dan gelinggaman pula mereka memegang tongkat pairiak.


Inilah yang mencemaskanku, Kanti. Kalau-kalau sebentar lagi tidak ada lagi orang yang mau bertani. Yang masih meneruskan pekerjaan bertani seperti cara-cara seisuk itu, serupa benar dengan bayangan kau ketika dulu berangan-angan. Sudah terampun-ampun kaki mereka retak-retak. Sudah hampir tidak sanggup mereka meneruskannya lagi. Karena cara bertani masih seperti itu juga.


Itulah yang mengingatkanku kepadamu, Kanti. Seandainya kau masih ingat peristiwa itu. Ketika angan-anganmu bergabun-gabun dengan asap rokok Soor. Adakah mungkin kiranya kau mencari orang kampung kita yang sudah cukup kaya di rantau sana, untuk mau membekali anak negeri ini dengan traktor seperti di dalam angan-anganmu dulu itu.


Seandainya saja kau dapat meluangkan waktu untuk pulang pula. Tentulah dapat kita bernostalgia. Berjalan-jalan di kampung. Akan aku perlihatkan kepadamu beberapa tumpak sawah yang sudah beberapa tahun dibiarkan liat. Yang punya sawah sudah di rantau semua. Yang akan menguruskan sudah setengah hati mengerjakan karena sudah tidak sanggup lagi. Tinggallah sawah itu tidak terurus.


Siapa tahu kau akan tergugah. Dan berpikir kembali dengan angan-angan lama itu. Kalau kau pulang, salah satu yang berubah, rokok Soor tidak dijual orang lagi. Pabriknya di Siantar sudah lama di tutup orang.


Sehingga inilah dulu Kanti. Kalau kau jadi pulang, bernostalgia kita di Darek Balai.


Wassalam dan maaf dari Konco Palangkin

Tan Baro

Dari File Lama Di Multiply..... Hape

HP

(Catatan Juni 2007 di Multiply, di-share kembali karena masih relevan)

Kecanggihan teknologi bagai tak terbendung dari hari ke hari. Peralatan elektronik, alat komunikasi, peraga visualisasi bermunculan setiap saat dengan model-model baru dan dijual bak kacang goreng. Kacang goreng? Sebenarnya tidak juga. Harganya mahal. Tapi tentu tidak terlalu terasa bagi orang berduit. Yang berduit boleh ganti-ganti HP kapan dia mau. Kapan produk baru yang lebih canggih keluar. Imbasnya, yang lama ya dijual murah daripada dibuang sayang. Maka yang kurang kaya tapi kepengen banget punya HP dapat berkah. HP seken (second) dapat terjangkau.

Semua orang lalu punya HP. Tukang ojek punya HP. Tukang sayur bergerobak punya HP. Tukang pijit keliling (padahal buta) berHP. Dimana-mana kita dengar dering HP. Dan HP jadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan (orang-orang di zaman moderen ini). Dimana-mana orang berhalo-halo dengan HP.

Cuman yang nggak enak, HP mesti ikut berbunyi pula ketika kita sedang shalat di mesjid. Atau ketika khatib sedang khutbah di hari Jumat. Sedang shalat, tiba-tiba bergema lagu Goyang Dombret. Masya Allah.... Ini kok jadi kebablasan begini.. Padahal HP yang canggih itu kan punya bermacam-macam alat bantu. Suaranya bisa di pelankan agar tidak mengganggu. Ada alat pengenal miskol (miss called) sehingga nanti sesudah usai shalat bisa di call lagi. Kenapa HP mesti dibawa-bawa shalat? 

Pengurus mesjid apa boleh buat terpaksa menambah perbendaharaan pengumuman sebelum khatib naik mimbar. Agar HP tolong dimatikan dulu. Imam shalat terpaksa menambah pengumuman sebelum takbir. Selain menginghatkan agar shaf dilurus dan dirapatkan, ditambah dengan kalimat agar HP dimatikan.

Waah, kita memang sedang mati kerancak-an dengan produk teknologi orang.

                                            *****

Kamis, 14 April 2011

Sepekan Yang Heboh

Sepekan Yang Heboh

Inilah sepekan yang heboh menurut catatanku, meski setiap pekan bisa saja punya kehebohan sendiri-sendiri. Dunia memang tidak akan pernah sunyi dari kehebohan. Nomor satu; Wakil rakyat yang orang kampungku berhenti jadi wakil rakyat karena tertangkap kamera wartawan sedang menonton video begituan, di arena sidang paripurna melalui perangkat canggih selebar telapak tangan. Aku tidak membelanya. Tapi benar-benar tidak membayangkan bahwa dia adalah penggemar film begituan karena aku mendengar tentang kealimannya. Dia korban teknologi. Monitor selebar telapak tangan hasil teknologi canggih itu memang sekaligus jendela neraka dan jendela surga. Kita dapat melihat pertunjukan super maksiat sekaligus pengajian paling khusyuk melalui perangkat itu. Hebatnya, siapa saja boleh mengetuk pintu jendela itu untuk datang bertamu. Kedatangan siapa saja itu bisa mengagetkan dan bisa sangat menyejukkan. 

Terbayang olehku, tanpa maksud membela karena dia juga tidak mengharapkan pembelaan, seperti yang dikatakannya pada awal-awal, bahwa dia curious dengan sesuatu yang tiba-tiba mengetuk di pintu perangkatnya, lalu membuka dan melihatnya. Ah, nasib.... di sini dia tertangkap, ketika terperangah dengan apa yang dilihatnya untuk beberapa saat. Rasanya, kalaulah dia benar-benar ingin untuk melihat itu, tidaklah mungkin dia melakukannya di tengah ruangan yang juga diisi oleh beratus orang, yang duduk di samping dan di belakang. Rasanya dia akan merasa risih sendiri, seperti risihnya melepas angin di tengah keramaian seperti itu. Tapi..... ini terlihat, lalu terperangah, dicoba membalik ternyata itu melulu, dan akhirnya dimatikan. Di saat beberapa saat itulah (mungkin semenit mungkin lebih) kamera wartawan hinggap. Ya, sudahlah. Dan yang aku salut, dia tidak berpanjang-panjang kaji, kalau itu yang jadi berita, dia segera pamit mundur. Rasanya belum pernah aku mendengar wakil rakyat pamit mundur walau sesalah apapun dia, selama ini.

Heboh jilid dua; Sebuah kapal barang berbendera negara awak dibajak oleh lanun Somalia. Betapa mendebarkan suasana para sandera. Direktur perusahaan kapal barang itu yang adalah tetangga satu kompleks panas dingin memikirkan nasib anak buahnya, tapi dia tidak bisa bertindak sendiri. Urusan besar ini mestilah ditangani bersama pemerintah. Hari-hari yang panjang yang dijalani para sandera belum ada tanda-tanda akan berakhir. Tawar menawar uang tebusan masih berlangsung. Ah, bernyali sangat perompak Somalia itu yang semakin giat saja menzalimi pelaut yang berlayar di dekat tanduk Afrika itu.

Yang ketiga adalah berita mengejut sekaligus peringatan; Berpulang kerahmatullah urang awak jurnalis senior Rosihan Anwar tadi pagi. Seorang wartawan yang kritis, berketetapan hati, terkenal. Beliau meninggal dalam usia cukup lanjut, lebih dari 80 tahun. Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya dan menerima ibadahnya. Aamiin.....

Begitulah. Pekan yang heboh...... 

*****

Sabtu, 09 April 2011

Ikhlas

Ikhlas

Itulah judul pengajian kami sesudah subuh hari ini. Setiap kita tentu sering mendengar dan mengucapkan kata-kata ikhlas. Menurut ustadz secara harfiah arti kata ikhlas itu adalah jernih, bersih. Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak dikotori hatinya oleh barang suatu apapun juga sesudah dia melakukan sesuatu dengan 'ikhlas'. Karena ketika berbuat, dia berharap yang akan menilainya hanya Allah semata. Ketika dia memberi dengan ikhlas, dia tidak dihantui oleh rasa takabur, rasa ria, rasa sombong atas sikap dan pemberiannya. Bahkan ibaratnya, dia seolah-olah melupakannya dan tidak ingin mengingat-ingatnya lagi. Itu adalah ciri-ciri keikhlasan. 

Allah SWT memerintahkan kita untuk ikhlas dalam beragama. 'Wamaa umiruu illa liya'budullaaha mukhlishiina lahuddiina....' (Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dan ikhlas dalam beragama) - surat Al Bayyinah (98) ayat 5. Ikhlas dalam beragama. Tidak ada pamrih. Beragama semata-mata karena iman kepada Allah dan mematuhi perintah Allah. Begitu pula dengan amalan-amalan lain, dalam menjalankan perintah agama. semua dikerjakan hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah. Dan hendaklah dikerjakan dengan sepenuh hati dan keikhlasan.

Ketika kita tidak ikhlas, ketika kita berpamrih, mengerjakan sesuatu karena-karena........, secara tidak sadar kita akan terdorong sedikit demi sedikit kepada kemusyrikan. Fahamlah kita bahwa Rasulullah SAW menyebutkan ria itu adalah kemusyrikan kecil. Kalau kita berbuat karena ingin dipuji. Karena ingin dinilai positif, dinilai lebih oleh orang lain, maka artinya kita ria. Artinya kita tidak ikhlas. Dan nilainya tidak ada di sisi Allah.

Betapa indahnya jika kita bisa senantiasa ikhlas dalam berbuat. Seseorang yang ikhlas, yang ketika tangan kanannya memberikan sesuatu seolah-olah tangan kirinya tidak tahu.

***** 

Kamis, 07 April 2011

Indah.....

Indah.....

Alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah. Ternyata kembali bekerja ini menyenangkan. Menyenangkan karena lingkungan tempat aku bekerja sekarang ini ada istimewanya. Mushalanya besar dan shalat berjamaahnya ramai. Lebih ramai dari di mushala kantorku dulu. Dan shalat berjamaah di awal waktu dihadiri sampai lebih dari enam puluh orang. Zuhur dan asar berjamaah dengan enam puluh orang sungguh sangat istimewa. Aku menyukainya. Ruangan mushala itu bisa diextend di hari Jum'at untuk tempat shalat Jum'at. Ini benar-benar menyenangkan. Yang shalat kelihatannya dari bermacam perusahaan.

Jam kantor silahkan diatur. Pokoknya masa bekerja delapan jam di luar jam istirahat. Aku sudah mengeset waktuku, setengah delapan sampai setengah lima. Kalau bisa datang jam tujuh pulanglah jam empat. Kalau datang jam delapan silahkan pulang jam lima. Sepengamatanku dalam beberapa hari ini, hal itu dipatuhi. Masing-masing menyesuaikan jadwal.

Urusan makan tidak pula sulit. Di dalam pekarangan bangunan yang sama ada 'kantin' dengan beberapa macam pilihan. Dan aku kadang-kadang membawa bekal yang disiapkan istri dari rumah. 

Pergaulan di kantor tak masalah. Apa pulalah yang mesti jadi masalah dengan orang tua seperti aku. Yang muda-mudanya cukup sopan dan baik. Taksi untuk pagi dipesan malam. Ada kalanya aku baru pulang dari mesjid taksi itu sudah menunggu. Aku ingatkan bahwa pesananku adalah untuk jam enam. Tak ada masalah. Argonya baru dimulai setelah aku duduk di taksi jam enam. Macetpun tak jadi masalah. Biarlah itu masalah sopir taksi. Awak bila perlu tertidur-tidur. Sampai di hotel Ibis untuk seterusnya berjalan kaki dua ratus meter. Ini menghindari putaran balik yang nilainya bisa dua puluhan menit pula. Sore hari begitu pula. Pesan lagi taksi. Kalau dia tak datangpun, melangkah saja ke pinggir jalan. Dalam hitungan beberapa puluh detik taksi lain datang. Baru pula aku mengerti arti tulisan 'tarif bawah' di kaca taksi. Artinya tarif awalnya 5000 berbanding tarif atas 6000. Setiap sekian ratus meter bertambah 250 berbanding 300.

Kalau berangkat dari kantor jam setengah lima sampai di rumah bisa sekitar jam setengah enam. Sedikit lebih lancar dari pagi hari. Cukup waktu untuk bercanda ria dengan Afi/Asyid/Rayyan. Yang penting sampai di rumah insya Allah sebelum maghrib.

Jadi begitulah. La vie est belle. Alhamdulillah....

*****


Senin, 04 April 2011

Peraturan Jebakan

Peraturan - Jebakan? - Penilangan

Pemandangan ini kulihat setiap hari sejak seminggu yang lalu. Pengendara-pengendara yang dihentikan polisi lalu lintas di sebelum pintu keluar tol Semanggi dari arah Grogol. Dihentikan untuk ditilang (entah apa pula kepanjangan sebenarnya dari 'tilang' ini). Apa rupanya kesalahan mereka? Ternyata menginjak garis pemisah antara badan jalan (kalau boleh disebut begitu) dan bahu jalan. Yang terakhir ini adalah bahagian paling kiri, yang memang gunanya untuk berhenti darurat. Memang agak menjebak posisi garis yang membuat bidang bahu jalan semakin mengecil menuju pintu keluar dari jalan tol itu. Dan orang yang berniat hendak keluar, menepi ke sebelah kiri di tengah ramainya kendaraan di badan jalan, sangat cenderung untuk menginjak garis pemisah ini tanpa disengaja. Ternyata itu artinya pelanggaran. Pak polisi yang di mobil patrolinya tertulis 'pengayom masyarakat' itu dengan tangkas menghentikan pengendara yang tidak sadar telah melakukan pelanggaran. Dengan sikap sopan, menghormat lalu meminta ditunjukkan surat-surat (SIM dan STNK mobil). Proses selanjutnya menurut sopir taksi (beberapa orang yang sudah aku wawancarai) akan terjadi tawar menawar. Antara akan ditilang atau akan meminta kebijaksanaan. Yang terakhir ini tentu kita sudah sama tahu maksudnya. Menurut sopir taksi lagi 'tarifnya' bisa sekitar seratus rebu untuk mobil pribadi dan paling tidak lima puluh rebu untuk sopir taksi. Betul-betul hebat....

Mungkin sebegitu pentingnya pengamanan bahu jalan itu, antara pintu keluar tol Semanggi sampai jembatan Semangginya sendiri berbaris-baris sedan patroli polisi itu pada jarak 500 meter. Dengan penjagaan seketat itu, ternyata masih ada saja yang tidak sengaja menyenggol garis sakti itu. Tidak ada ampun, meskipun si pengendara malang itu berusaha sesegera mungkin kembali keluar. Dia pasti akan dihentikan.

Dan tiap sore selalu saja ada yang jadi korban. Bahkan kadang-kadang beriring-iring sampai tiga-empat mobil. Mobil pribadi dan taksi. Jenis Avanza sampai BMW. Macam-macam ekspresi pengendara yang sedang berunding dengan polisi. Bermacam-macam pula roman wajah pak polisi itu.

Jadi berhati-hatilah, seandainya anda sedang menyetir di jalan. Yang paling baik itu adalah mematuhi saja aturan lalu lintas. Jangan sekali-kali menginjak garis yang tidak putus-putus karena kalau anda melanggarnya, anda akan berurusan dengan petugas pengayom masyarakat jalanan yang tangkas-tangkas itu.

*****
   

Minggu, 03 April 2011

Jakarta Ini

Lalu Lintas Di Jakarta

Bingung kita dengan kota Jakarta ini. Yang membingungkan itu macetnya. Kok bisa ya, lalu lintas Jakarta di hari-hari kerja, wa bil khusus di jam-jam berangkat dan pulang kerja sebegitu macet dan semrawutnya. Kita jadi semakin prihatin karena sekian puluh persen dari kesemrawutan itu disebabkan oleh ketidak disiplinan pemakai jalan. Saling serobot, tidak mau mengalah. Terutama jenis angkutan tertentu seperti angkot alias angkutan kota dan sepeda motor. Termasuk juga Kopaja dan Metro Mini. Sepeda motor populasinya konon meningkat sangat tajam setiap harinya. Mereka tumpah ruah di jalan. Sebagian besar pengendaranya dengan disiplin berlalu lintas yang sangat minim.

Ada angkutan massal seperti bus khusus yang punya jalan sendiri (yang dengan salah kaprah disebut busway: harusnya yang busway itu kan jalannya kali, ya?) dan kereta listrik. Yang tadinya diharapkan akan jadi alternatif bagi pengguna jalan agar tidak mesti membawa kendaraan pribadi. Tapi kelihatanya cita-cita itu tidak tercapai. Orang masih banyak yang enggan naik busway, meski kelihatannya jenis kendaraan ini sudah cukup banyak terlihat. Kenapa? Entahlah. Mungkin karena jumlahnya masih belum cukup, misalnya untuk mengadakan pada setiap jalur setiap dua atau tiga menit sekali? Sekali lagi entahlah.

Kereta listrrik begitu pula. Kelihatannya setiap kereta itu penuh sesak. Jadi sangat mungkin kehadirannya yang masih kurang, terutama di jam-jam sibuk. 

Kemacetan Jakarta itu sudah sedemikian menyesakkan. Untuk menempuh jarak 20 kilometer saja diperlukan waktu dua jam. Sepuluh kilometer sejam. Sama dengan kecepatan sepeda yang dikayuh dengan santai.

Untungnya, lalu lintas Jakarta masih bisa dinikmati di hari Minggu atau hari-hari libur. Di saat mana kita bisa menggunakan jalan raya secara patut. Tidak berdesak-desak dalam kemacetan. Meski masih ada juga bagian-bagian tertentu yang tetap macet. Tadi pagi kami dapat undangan ke Cipulir untuk sebuah acara keluarga. Kecuali di sekitar pasar Cipulir kendaraan dapat melaju dengan normal.

Mungkinkah lalu lintas Jakarta ditata agar lebih teratur? Kata para ahli masih mungkin, kalau para pengguna jalannya berdisiplin. Sepertinya hal yang terakhir ini yang repot. Wallahu a'lam.

***** 

Jumat, 01 April 2011

Memburuh Lagi??

Memburuh Lagi???

Aku bertemu seorang kawan lama, di acara kumpul-kumpul mantan karyawan Total, di bulan November yang lalu. Dia lebih muda dariku. Setahuku dia dulu bekerja di Singapura dan sebelumnya lagi di Madrid, setelah dia meninggalkan Total entah berapa tahun yang lalu. Seperti biasa, di acara kumpul-kumpul para mantan karyawan itu, kami ngobrol ke kiri dan ke kanan dengan santai. Sebelum berpisah dia menanyakan nomor hapeku. Sesuatu yang tentu biasa-biasa saja.

Beberapa minggu berlalu, dia menghubungiku, menanyakan kegiatanku. Aku yang sejak pensiun di bulan September 2007 tidak punya kegiatan khusus lagi memberitahunya apa adanya. Dia mengundangku untuk datang berbincang-bincang ke kantornya. Dan aku datang, dengan niat sekedar ngobrol-ngobrol santai. Dia bercerita tentang pekerjaannya di kantor itu yang baru dilakoninya sejak bulan Juni tahun lalu. Posisinya di kantor itu cukup tinggi. Aku kagum juga mendengar ceritanya. Sebelum pulang, dia menanyakan apakah aku berminat untuk bekerja kembali. Untuk membantu di bagian geologi. Untuk menjadi konsultanlah, begitu tawarannya.

Aku tidak segera menjawab. Aku tidak yakin apakah aku akan masih bersemangat bekerja kembali sesudah tiga setengah tahun menganggur. Sebenarnya tawaran bekerja kembali ini pernah pula aku dapatkan sekitar setahun yang lalu. Sudah hampir jadi, artinya aku sudah menyatakan kesediaanku. Tapi sayang, waktu itu ada masalah teknis yang tiba-tiba berobah dari yang sebelumnya ditawarkan. Akhirnya, ya tidak jadi.

Tapi kali ini, teman yang satu ini lebih jelas dan tegas. Dia menjelaskan apa yang diharapkannya dariku dan menjelaskan pula imbalan yang akan aku peroleh. Angka-angka yang dia tawarkan sangat baik. Aku minta waktu untuk berpikir-pikir. 

Tidak bekerja selama tiga setengah tahun telah berlalu begitu saja. Aku ternyata tidak berbakat apa-apa selain dari bekerja di kantor. Aku tidak berbakat untuk berdagang. Ada satu hal positif lagi yang bisa didapatkan seandainya aku bekerja. Aku ikut mengurus sebuah sekolah berbasis agama di kampung. Sekolah itu memerlukan banyak biaya. Biaya itu kami kumpulkan dari donasi beberapa orang. Jumlahnya seringkali tidak memadai. Kalau aku bekerja, dapat penghasilan lebih, mudah-mudahan aku bisa membantu dana sekolah itu lebih leluasa. Sehingga akhirnya tawaran itu kuterima.

Kawan itu bekerja ekstra keras untuk meyakinkan beberapa pihak sebelum aku bisa mulai bekerja. Dan itu memakan waktu. Aku santai-santai saja. Awal Maret yang lalu segala sesuatu yang diperlukan itu selesai. Aku bisa mulai bekerja. Tapi pertengahan Maret yang lalu aku ada keperluan ke Pakan Baru. Dan aku menjanjikan akan mulai bekerja sekembali dari sana.

Itulah yang terjadi. Sejak hari Senin 28 Maret yang lalu aku resmi jadi pegawai lagi. Pergi ke kantor lagi. Berangkat jam enam dan kembali ke rumah hampir jam enam pula. Melalui hiruk-pikuknya lalu lintas macet sejak dari beberapa kilometer dari rumah. Perlu waktu antara satu setengah sampai dua jam untuk sampai di tempat kerja. Subhanallah..... ini semakin parah dibandingkan dengan empat tahun yang lalu. Aku tidak menyetir. Jalan pintas saja dengan menggunakan taksi.

Ternyata masih cukup menarik. Berinteraksi kembali dengan orang kantoran. Menghadapi tumpukan kertas dan menatap monitor. Di rumah kan aku banyak menghabiskan waktu di depan monitor komputer juga. Begitulah..... Sementara ini dijalani saja. sampai sebetahnya, insya Allah......


*****