Selasa, 30 September 2014

Perdagangan Hewan Kurban

Perdagangan Hewan Kurban  

Berdagang, berjual beli atas dasar saling ikhlas antara penjual dan pembeli adalah perbuatan yang diizinkan Allah. Menurut ajaran Islam perdagangan harus dilakukan secara jujur dan amanah. Penjual tidak boleh menutup-nutupi kekurangan mutu barang dagangannya. Seandainya ada cacad atau kekurangan barang tersebut, harus dijelaskan kepada si pembeli.

Tujuan orang berdagang tentulah untuk mendapatkan untung. Islam menganjurkan agar perdagangan itu dilakukan dengan amanah. Menjual barang yang baik mutunya dengan mengambil keuntungan yang bersesuaian dengan harga pasaran. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pedagang memintas pembelian barang dagangan di jalan menuju pasar. Seandainya ada orang menarik kambingnya untuk dijual di pasar, sebelum dia sampai di pasar, lalu ada pedagang yang memintas untuk membeli kambing tersebut, maka hal ini yang dilarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena pembelian seperti itu tidak amanah. Tidak adil. Orang yang membawa kambing itu belum tahu harga kambing yang berlaku di tengah pasar.

Utsman bin Affan, khalifah Rasulullah yang ketiga adalah seorang pedagang yang sukses. Dan beliau juga adalah seorang yang sangat terkenal kedermawanannya. Menurut riwayat yang sahih, suatu ketika kafilah dagangan Utsman bin 'Affan yang menggunakan beratus-ratus ekor unta yang sarat dengan barang sampai di Madinah. Pedagang lokal orang Yahudi menawar harga barang-barang tersebut dan bersedia membayar dengan keuntungan dua kali lipat. Utsman menolak. Orang Yahudi itu menaikkan tawarannya bahkan akhirnya sampai 10 kali lipat. Utsman tetap menolak. Kalau engkau mau juga, lebihkanlah dari 700 kali lipat baru aku jual, kata beliau. Orang Yahudi itu melongo (dan mungkin juga mencibir), mana ada orang yang akan mau memberi keuntungan seperti itu. Muatan unta yang beratus-ratus itu oleh Utsman di sedekahkan untuk kepentingan umat muslim di Madinah. Beliau lebih mengharapkan keuntungan perdagangan dengan Allah.

Di saat orang ingin membeli kambing untuk kurban seperti saat sekarang, harganya ternyata sudah dinaikkan pedagang dengan 'suka-suka'. Kambing kecil dengan berat sekitar dua puluh kilo ditawarkan dengan harga dua juta rupiah. Sekitar dua kali lipat dari harga biasanya. Yang berjualan kebanyakan adalah pedagang dadakan, membuat kandang di pinggir jalan-jalan besar. Bagaimana aku tahu bahwa harga itu sudah dinaikkan dua kali lipat? Beberapa pekan yang lalu, untuk aqiqah cucu kelima, kami membeli kambing dan sekaligus minta tolong dimasakkan (dibuat sate dan gulai). Kambing ukurang sedang dengan berat sekitar 25 kilo, harganya hanya Rp 1,150,000. Jadi Rp 1,350,000.- ketika sudah jadi sate (400 tusuk) dan gulai dan diantarkan ke rumah. Kambing berukuran sama sekarang tidak akan kurang harganya dari dua setengah juta rupiah. 

Bagaimana hukumnya dengan pedagang yang menaikkan harga agak semena-mena ini? Sah-sah saja dari segi hukum perdagangan. Bukankah ketika transaksi terjadi pasti dalam keadaan sama-sama ikhlas antara penjual dan pembeli. Meski terasa agak kurang nyaman ketika kita tahu, bahwa beberapa pekan sebelum ini harganya hanya separonya. Yang lebih penting lagi adalah keikhlasan kita untuk berkurban. Allah Yang Maha Mengetahui tentu  akan menilai pengorbanan kita dan kepada Allah kita berharap ridha dan balasan-Nya.

****
                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar