Jangan
Berburuk Sangka!
(Dari Republika)
(Dari Republika)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam
selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap semua
orang. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mengutus Umar
untuk menarik zakat, tetapi Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman
Rasulullah tidak menyerahkan (zakat).
Sehingga beliau bersabda, "Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat, kecuali karena dia fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya." "Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu." (HR Bukhari dan Muslim).
Sehingga beliau bersabda, "Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat, kecuali karena dia fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya." "Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu." (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam
senantiasa memperingatkan umat Islam agar menjauhi prasangka buruk. "Jauhilah prasangka karena
sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian
menyadap (pembicaraan kaum), memata-matai mereka, berlomba-lomba (dalam hal
yang tidak baik), saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR Bukhari dan Muslim,
dari Abu Hurairah).
Al-Hafidz
mengatakan bahwa Khaththabi berpendapat bahwa yang dimaksud prasangka dalam
hadis tersebut adalah benar-benar prasangka, bukan sesuatu yang terlintas dalam
benak pikiran, sebab hal itu di luar kemampuan seseorang. Prasangka yang
dimaksud oleh Khaththabi adalah prasangka yang menetap dalam hati. Lintasan
hati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia. "Allah mengampuni prasangka yang terlintas dalam hati manusia
selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya." (HR Bukhari dan
Muslim).
Qurthubi
mengatakan, yang dimaksud dengan prasangka (yang terlarang) adalah tuduhan
tanpa alasan. Misalnya menuduh seseorang melakukan zina tanpa ada bukti nyata.
Karena itu, kata azh-zhann dalam
redaksi hadis ini, dihubungkan dengan larangan
untuk memata-matai orang lain. Jika seseorang memiliki sedikit prasangka yang
mengarah pada tuduhan di dalam hatinya, ia akan berupaya untuk mewujudkan tuduhan
itu. Dia akan mencari-cari kesalahan orang yang dituduh dengan memata-matainya.
Karena, langkah-langkah itu dilarang agama.
Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena
sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang
suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang. (QS al-Hujurat: 12).
Dalam
kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini banyak kejadian yang bersifat
prasangka dan tuduhan di antara sesama warga (su'uzhon). Padahal, berbagai
persoalan tersebut memerlukan penelitian, klarifikasi (tabayyuni) sehingga
duduk persoalan jelas dan kita dapat menyikapinya dengan bijaksana agar tidak
menyalahkan orang lain.
Karena
itu, kearifan dari berbagai pihak khususnya para tokoh dan pemimpin masyarakat merupakan sikap Nabi yang selalu husnuzhan
dalam menyikapi berbagai persoalan sehingga masalah menjadi cair, jernih, dan
sejuk dan akhirnya persoalan dapat diselesaikan dengan damai dan adil.
Wallahu 'alam.
Wallahu 'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar