Senin, 20 Agustus 2012

Pabukoan Dan Pengalaman Berpuasa

Pabukoan Dan Pengalaman Berpuasa

Ada sebuah kolom di MalaysiaKini tentang perbandingan antara pengalaman bulan puasa   dahulu dan sekarang. Pokok bahasannya adalah tentang makanan untuk berbuka puasa. Tentang pesatnya evolusi penyediaan makanan untuk berbuka puasa. Dahulu itu, di masa berpuluh tahun yang lalu, orang menyiapkan makanan utama atau makanan khusus untuk berbuka (di kampung kami disebut 'pabukoan'), di rumahnya masing-masing. Ketika itu, ketika di kampung-kampung kehidupan masyarakat masih sangat sederhana, variasi makanan khusus berbuka puasa tidaklah banyak. Sekarang dimana-mana bermunculan Pasar Ramadhan, dengan aneka makanan dan minuman dijual orang. Hampir tidak ada lagi orang yang membuat sendiri hidangan khusus berbuka puasanya di rumah. Orang lebih senang membelinya di Pasar Ramadhan karena di sana banyak pilihan dan tidak perlu repot. Begitu bahasan kolom tersebut.

Ingatkah anda pertama kali menjalankan ibadah puasa Ramadhan di kala kanak-kanak? Ketika anda dilatih dan diajar orang tua untuk mencoba berpuasa? Mungkin dengan setengah hari dulu. Mungkin dengan iming-iming ini-itu?

Aku mulai mengerjakan puasa utuh, artinya berpuasa sampai waktu maghrib, sejak berumur delapan tahun di tahun 1959. Tempatnya di kampung. Kampung yang masih berada di jaman kegelapan karena belum ada listrik masuk kampung. Dibangunkan untuk sahur dalam suasana sangat redup disinari lampu semprong dan 'tempat api', begitu kami sebut nama lampu teplok yang berasap hitam berjelaga. Aku menemukan keasyikan tersendiri makan di malam buta seperti itu. Dan aku selalu bersemangat untuk bangun setiap malam. Nasinya dikeluarkan dari bungkusan selimut, nasi yang disiapkan sejak sore dan dibungkus sedemikian rupa agar tidak terlalu dingin. Dengan lauk yang sudah disiapkan sejak senja dan  diletakkan di bawah tudung saji. 

Di awal-awal itu aku melalui puasa itu dengan susah payah. Bertanya tiap sebentar apakah masih lama lagi waktu berbuka. Tapi alhamdulillah, latihan itu cukup berhasil. Aku masih ingat kalau aku batal 'hanya' empat hari pada latihan pertama dan itu tentunya sebuah prestasi. Tidak ada hadiah. Karena memang tidak ada iming-iming. Ibu hanya mengatakan bahwa 'kita' wajib berpuasa. Meski aku mungkin tidak terlalu faham ma'na kata wajib itu. 

Pabukoan kalau pun dibuat ibu, biasanya adalah ketan dan kolak pisang. Seperti itu juga di rumah mak tuo di sebelah menyebelah. Tidak setiap malam ada pabukoan. Kalau tidak ada pun tidak ada masalah. Aku bisa saja mengawali berbuka dengan jambu perawas. Atau potongan tebu. Atau nangka masak yang dikasih mak tuo. Atau bisa juga jajanan yang dibeli di pasar (sekali-sekali, kala ibu kebetulan pergi berbelanja ke pasar).

Puasa di kampung aku lalui sampai usia remaja ketika aku sudah bersekolah di SMA. Dalam kurun waktu itu, pernah  juga sekali-sekali aku diajak kakak sepupu berlibur dan puasa di Padang untuk beberapa hari.  

Berpuasa di perantauan yang pertama kali adalah di tahun 1970, di Bandung. Aku tinggal bersama seorang kakak sepupu yang masih bujangan. Kami berbuka dan makan sahur di warung. Berjalan kaki di waktu sahur dari Coblong Dago ke Pasar Simpang, di saat udara Bandung sangat dingin.  Tahun 1975 aku pernah berada di Sorong - Irian Jaya di awal bulan puasa. 

Antara tahun 1980 dan tahun 1993 aku adalah penduduk Balikpapan. Di Balikpapan kami biasa melakukan tarawih dari rumah ke rumah. Entah bagaimana awalnya, aku biasa dijadikan imam shalat tarawih, kecuali kalau ada penceramah yang diundang khusus, yang langsung menjadi imam shalat.  

Puasa yang paling berat karena lamanya waktu siang aku alami di Paris di tahun 1984. Bulan Ramadhan ketika itu bertepatan dengan bulan Juni. Kami sahur jam 3 pagi dan berbuka jam setengah sebelas malam. Terasa betul beratnya, ketika hari sudah jam enam sore, kami masih harus menunggu empat setengah jam lagi untuk berbuka puasa. Tahun 1988 dan 1989 untuk kedua kalinya aku berada di Paris selama bulan puasa. Meski siang hari masih relatif lebih panjang, tapi tidak seberat di tahun 1984. 

Akhir tahun 1993 kami berhijrah ke Jatibening - Bekasi. Sejak bulan puasa tahun 1994 sampai sekarang aku selalu berada di tempat yang sama. Ikut mengurus sebuah mesjid di komplek perumahan kami.

Bagaimana dengan pabukoan di masing-masing tempat aku melewatkan bulan Ramadhan yang banyak itu? Ketika jadi mahasiswa di Bandung, tidak ada pabukoan. Pabukoan baru ada setelah aku berkeluarga. Setelah aku punya istri. Itu pun tidak wajib-wajib sangat. Pasar Ramadhan? Hampir tidak pernah kami kunjungi.  Sejak bermukim di Jatibening, pabukoan benar-benar untuk mengawali berbuka. Bisa kurma, bisa minuman cincau dingin. Atau es blewah. Atau es timun suri. Atau sekali-sekali kolak pisang. Sesudah berbuka dengan pabukoan, bergegas pergi ke mesjid untuk shalat maghrib. Sesudah shalat maghrib baru makan nasi. Bergegas-gegas pula karena harus segera pula pergi shalat isya dan tarawih. Aku berada di mesjid sampai jam sepuluh malam, sampai kami menyelesaikan tadarus satu juz. Pulang dari mesjid, kalau pabukoan masih ada, bisa diulangi lagi memakannya sedikit. Sebelum mengaji sendiri lagi sebelum tidur. 

*****                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar