Sabtu, 12 Desember 2009

Penyimpangan Dalam Islam

Taklim Ahad Subuh

Di masjid kami, alhamdulillah setiap hari Ahad ba'da subuh selalu ada taklim. Kami punya dua orang ustadz yang istiqamah selalu hadir tanpa dijemput untuk memberikan taushiyah di Ahad subuh. Pengajian kami biasanya menyangkut hal-hal sehari-hari dalam urusan agama.

Pagi ini kami mendengar ceramah tentang bulan-bulan haram. Ada empat bulan yang diistimewakan dalam Islam, yakni bulan-bulan Rajab, Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram. Bulan-bulan itu disebut bulan-bulan haram Artinya bulan yang punya keistimewaan. Bulan Rajab, misalnya adalah bulan di isra' mi'raj kannya Rasulullah SAW. Bulan Zulqaidah, bulan diselamatkannya suatu kaum dari gangguan Ya'juj dan Ma'juj oleh Iskandar Zulqarnain. Bulan Zulhijjah, bulan disyariatkannya ibadah haji sejak dari jaman Nabi Allah Ibrahim. Dan bulan Muharram adalah bulan diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir'aun, Nabi Yunus dari perut ikan paus. Diselamatkannya Nabi Yusuf dari sumur tempat beliau dibuang saudara-saudaranya. Semuanya terjadi pada tanggal 10 Muharram yang biasa dikenal dengan hari 'Asyura. Disunahkan untuk berpuasa di hari 'Asyura.

Anehnya, di kalangan sebagian umat Muslim di negara kita perayaan Muharram itu dilakukan pada tanggal 1 Muharram yang disebut tanggal 1 Suro. Banyak ritual-ritual yang tidak ada sangkut pautnya dengan aqidah Islam dikerjakan orang pada hari itu. Seperti memandikan pusaka, melarung sajian ke laut, berpuasa tanpa sahur selama dua puluh empat jam. Semua perbuatan ini tidak berhubungan dan tidak berasal dari ajaran Islam. Bahkan banyak dari ritual itu yang nyata sekali kesyirikannya. Seperti memandikan keris, mengambil air bekas cuciannya dan mengaggapnya bertuah, mengambil kotoran kerbau yang dikeramatkan, melemparkan sajian ke laut, menanam kepala kerbau.

Timbul pertanyaan dari kami sebagai jamaah. Tidak adakah upaya MUI untuk menjernihkan kemusyrikan itu? Menurut ustadz, ada. Hanya saja, fatwa MUI itu tidak lebih dari sebatas himbauan. Fatwa MUI tidak pernah menjadi kekuatan hukum atau undang-undang di negeri ini. Jadi pada akhirnya, terserah kepada ummat, seandainya mau tetap memelihara kesaktian tradisi nenek moyang, biarlah masing-masing mempertanggungjawabkannya nanti di hadapan Allah. MUI sudah mengingatkan, tapi sayangnya, Umara atau pemimpin alias penguasa tidak merasa berkepentingan dengan apa-apa yang difatwakan MUI.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar