Goresan Pedang Umar
Penulis : Hendi Jo
"Sejak kapan kalimat menjadikan manusia sebagai budak,
padahal mereka lahir dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?" (Umar ibn
Khattab)
Orang tua itu tertunduk lemas. Dengan langkah gontai, ditinggalkannya
gerbang istana Amr ibn Ash. Pikirannya bingung, hatinya sedih.
Sebetulnya ia merasa keberatan untuk menyerahkan tanah dan gubuknya demi
proyek pembangunan masjid yang dicanangkan sendiri oleh Gubernur Amr
ibn Ash. Namun apa daya, ia hanya seorang Yahudi yang miskin dan
sebatang kara, dan tentunya tak memiliki kekuatan untuk menghadapi
seorang gubernur yang tentunya didukung oleh sebagian besar masyarakat
Muslim di Mesir.
Sambil berjalan, ia kembali mengigat pembicaraan antara dirinya
dengan Gubernur Amr ibn Ash: "Apa sih masalahnya hingga kamu tidak mau
melepaskan gubuk dan tanah itu?" tanya sang gubernur.
"Saya tidak bisa, Tuan Gubernur. Puluhan tahun saya tinggal di sana, saya tidak bisa meninggalkannya begitu saja,"jawabnya.
"Mengapa tidak bisa? Saya menawarkan harga bagus kepadamu. Kalaupun
kamu tidak setuju dengan tawaran saya, kamu bisa menyebut harga yang
kamu mau dan insyaallah saya akan membayarnya langsung."
"Tapi ini bukan terkait dengan uang,Tuan Gubernur…"
Amr ibn Ash terdiam. Terlihat raut mukanya menahan rasa kesal. Dengan
suara perlahan namun terdengar tegas, ia kemudian berkata: "Sebetulnya,
tanpa memintanya kepadamu, aku punya hak untuk membangun sebuah masjid
di atas tanahmu. Toh ini bukan untuk kepentinganku sendiri, tapi demi
kepentingan masyarakat."
Perundingan itu pun berlangsung buntu. Tak ada
kesepakatan apapun diantara kedua pihak.
Beberapa hari kemudian, Yahudi tua itu menerima sepucuk surat
perintah yang ditandatangani oleh Gubernur Amr ibn Ash. Isinya perintah
kepada si Yahudi tersebut untuk secepatnya meninggalkan tanah tersebut
karena tim dari kegubernuran akan meratakan gubuknya dan mengadakan
upacara peletakan batu pertama pembangunan sebuah masjid besar. Demi
selesai membaca surat itu, bukan main sedihnya si Yahudi. Sambil
menangis, ia memikirkan cara yang paling baik untuk keluar dari masalah
ini. Tiba-tiba terbetik dalam pikirannya untuk mengadukan soal ini
kepada atasan Gubernur Amr ibn Ash yakni Khalifah Umar ibn Khattab. Tapi
bukankah sang khalifah tinggalnya jauh di Madinah sana, pikirnya. Ah,
aku akan tetap ke sana, berapapun jaraknya dan seperti apapun akhirnya,
yang penting aku harus berusaha dulu, pikir si Yahudi kembali.
Maka besoknya, berangkatlah si Yahudi tua itu ke Madinah. Singkat
cerita, setelah menempuh perjalanan panjang hingga berhari-hari,
sampailah dia di Madinah. Begitu memasuki kota Madinah, tanpa membuang
waktu, ia pun memasuki sebuah bangunan yang mirip Istana. Disapanya
seorang Arab yang tengah tidur-tiduran di dalam "istana" tersebut.
"Salam. Sobat, bisakah aku bertemu dengan Khalifah Umar?"
"Salam. Bisa saja.Tapi saat ini, dia tidak sedang ada di sini,"ujar si Arab dengan ramah.
"Bagaimana bisa? Bukankah ini istananya Khalifah Umar?"
Sambil tersenyum, si Arab menjawab: "Bukan Sobat. Ini adalah masjid,
tempat ibadah. Amirrul Mukminin tidak memiliki istana. Tapi kalau kamu
ingin menemuinya, cobalah kau pergi ke sebuah kebun kurma di perbatasan
kota. Biasanya disanalah, ia menghabiskan waktunya."
Setelah mengucapkan terimakasih si Yahudi tua bergegas ke perbatasan
kota. Demi dilihatnya seorang lelaki bersahaja tengah duduk sambil
mulutnya berzikir di bawah sebatang pohon kurma, ia langsung berkata:
"Salam. Wahai sobat, bisakah kamu mempertemukanku dengan Khalifah Umar?"
Alih-alih langsung menjawab, lelaki Arab itu malah menatap wajah si
Yahudi tua. Seraya menghentikan zikirnya, ia lantas menjawab: "Salam. Apa
yang bisa aku lakukan wahai Sobat?"
"Aku ingin bertemu dengan Khalifah Umar…"
"Akulah Umar. Apa yang bisa aku lakukan?"
"Wahai Sobat, aku ini sudah tua dan datang dari tempat yang sangat
jauh, janganlah kamu permainkan aku…" ujar si Yahudi tua dalam nada
memelas.
"Demi Allah, akulah Umar yang kamu cari. Apa yang bisa aku
bantu,Sobat?" jawab lelaki yang tak lain adalah Umar ibn Khattab
tersebut, sambil tersenyum.
Kemudian dengan sedikit agak ragu, si Yahudi
tua itu menceritakan masalahnya dari A sampai Z. Begitu selesai
mendengarkan cerita yang disampaikan lelaki tua di hadapannya, merah
padamlah wajah Umar. Setelah terdiam beberapa saat, ia meminta izin
untuk pergi sebentar. Sekitar 2 menit kemudian, dia datang membawa
sebuah tulang onta. Dengan gerakan cepat, tulang onta itu ia kemudian ia
gores memakai pedangnya.
“Berikan tulang ini pada Amr bin Ash di Mesir,” kata Sang Khalifah.
Si Yahudi tua itu menatap bingung. “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkanku…” ujar Yahudi itu dalam nada pelan.
Umar ibn Khattab tersenyum. Dipegangnya pundaknya si Yahudi
tua."Percayalah, aku tak pernah mempermainkan seseorang yang tengah
terzalimi."
Akhirnya si Yahudi tua pun pulang ke Mesir. Begitu tiba di Mesir,
tanpa buang waktu ia lalu melangkah ke Istana Kegubernuran dan
memberikan tulang onta itu kepada Amr ibn Ash. Begitu mememegang tulang
onta dan mengetahui itu dari atasannya di Madinah, pucat pasilah wajah
Sang Gubernur. Ia kemudian memanggil para bawahannya dan memerintahkan
saat itu juga untuk menghentikan proyek pembangunan masjid sekaligus
membangun kembali tempat tinggal si Yahudi tua tersebut.
“Aku minta
maaf. Silakan kamu menempati kembali tanahmu,” ujar Amr bin Ash
gemetar.
Si Yahudi tua bengong. Antara gembira, takjub dan penasaran
memenuhi dadanya.
"Jika Tuan tidak keberatan bisakah Tuan
memberitahukan kepadaku apa arti tulang yang diberikan Tuan Khalifah
kepada Tuan itu?" tanyanya.
Amr ibn Ash menghela nafas.
"Dengan tulang yang tergores pedang itu, Amirul Mukminin seolah
mengatakan kepadaku: Wahai Amr ibn Ash berlaku adillah! Ingatlah suatu
hari kamu akan seperti tulang ini. Jika kamu tidak mau berlaku adil,
maka aku sendiri yang akan meluruskanmu dengan pedang yang menggores
tulang ini…"
Sumber:Islam Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar