Kamis, 15 Mei 2014

Goresan Pedang Umar (Dari Islam Indonesia)


Goresan Pedang Umar 

Penulis : Hendi Jo 



"Sejak kapan kalimat menjadikan manusia sebagai budak, padahal mereka lahir dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?" (Umar ibn Khattab)

Orang tua itu tertunduk lemas. Dengan langkah gontai, ditinggalkannya gerbang istana Amr ibn Ash. Pikirannya bingung, hatinya sedih. Sebetulnya ia merasa keberatan untuk menyerahkan tanah dan gubuknya demi proyek pembangunan masjid yang dicanangkan sendiri oleh Gubernur Amr ibn Ash. Namun apa daya, ia hanya seorang Yahudi yang miskin dan sebatang kara, dan tentunya tak memiliki kekuatan untuk menghadapi seorang gubernur yang tentunya didukung oleh sebagian besar masyarakat Muslim di Mesir.

Sambil berjalan, ia kembali mengigat pembicaraan antara dirinya dengan Gubernur Amr ibn Ash: "Apa sih masalahnya hingga kamu tidak mau melepaskan gubuk dan tanah itu?" tanya sang gubernur.

"Saya tidak bisa, Tuan Gubernur. Puluhan tahun saya tinggal di sana, saya tidak bisa meninggalkannya begitu saja,"jawabnya.

"Mengapa tidak bisa? Saya menawarkan harga bagus kepadamu. Kalaupun kamu tidak setuju dengan tawaran saya, kamu bisa menyebut harga yang kamu mau dan insyaallah saya akan membayarnya langsung."

"Tapi ini bukan terkait dengan uang,Tuan Gubernur…"

Amr ibn Ash terdiam. Terlihat raut mukanya menahan rasa kesal. Dengan suara perlahan namun terdengar tegas, ia kemudian berkata: "Sebetulnya, tanpa memintanya kepadamu, aku punya hak untuk membangun sebuah masjid di atas tanahmu. Toh ini bukan untuk kepentinganku sendiri, tapi demi kepentingan masyarakat."

Perundingan itu pun berlangsung buntu. Tak ada kesepakatan apapun diantara kedua pihak.

Beberapa hari kemudian, Yahudi tua itu menerima sepucuk surat perintah yang ditandatangani oleh Gubernur Amr ibn Ash. Isinya perintah kepada si Yahudi tersebut untuk secepatnya meninggalkan tanah tersebut karena tim dari kegubernuran akan meratakan gubuknya dan mengadakan upacara peletakan batu pertama pembangunan sebuah masjid besar. Demi selesai membaca surat itu, bukan main sedihnya si Yahudi. Sambil menangis, ia memikirkan cara yang paling baik untuk keluar dari masalah ini. Tiba-tiba terbetik dalam pikirannya untuk mengadukan soal ini kepada atasan Gubernur Amr ibn Ash yakni Khalifah Umar ibn Khattab. Tapi bukankah sang khalifah tinggalnya jauh di Madinah sana, pikirnya. Ah, aku akan tetap ke sana, berapapun jaraknya dan seperti apapun akhirnya, yang penting aku harus berusaha dulu, pikir si Yahudi kembali.

Maka besoknya, berangkatlah si Yahudi tua itu ke Madinah. Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan panjang hingga berhari-hari, sampailah dia di Madinah. Begitu memasuki kota Madinah, tanpa membuang waktu, ia pun memasuki sebuah bangunan yang mirip Istana. Disapanya seorang Arab yang tengah tidur-tiduran di dalam "istana" tersebut.

"Salam. Sobat, bisakah aku bertemu dengan Khalifah Umar?"

"Salam. Bisa saja.Tapi saat ini, dia tidak sedang ada di sini,"ujar si Arab dengan ramah.

"Bagaimana bisa? Bukankah ini istananya Khalifah Umar?"

Sambil tersenyum, si Arab menjawab: "Bukan Sobat. Ini adalah masjid, tempat ibadah. Amirrul Mukminin tidak memiliki istana. Tapi kalau kamu ingin menemuinya, cobalah kau pergi ke sebuah kebun kurma di perbatasan kota. Biasanya disanalah, ia menghabiskan waktunya."   

Setelah mengucapkan terimakasih si Yahudi tua bergegas ke perbatasan kota. Demi dilihatnya seorang lelaki bersahaja tengah duduk sambil mulutnya berzikir di bawah sebatang pohon kurma, ia langsung berkata: "Salam. Wahai sobat, bisakah kamu mempertemukanku dengan Khalifah Umar?"

Alih-alih langsung menjawab, lelaki Arab itu malah menatap wajah si Yahudi tua. Seraya menghentikan zikirnya, ia lantas menjawab: "Salam. Apa yang bisa aku lakukan wahai Sobat?"

"Aku ingin bertemu dengan Khalifah Umar…"

"Akulah Umar. Apa yang bisa aku lakukan?"

"Wahai Sobat, aku ini sudah tua dan datang dari tempat yang sangat jauh, janganlah kamu permainkan aku…" ujar si Yahudi tua dalam nada memelas.

"Demi Allah, akulah Umar yang kamu cari. Apa yang bisa aku bantu,Sobat?" jawab lelaki yang tak lain adalah Umar ibn Khattab tersebut, sambil tersenyum. 

Kemudian dengan sedikit agak ragu, si Yahudi tua itu menceritakan masalahnya dari A sampai Z. Begitu selesai mendengarkan cerita yang disampaikan lelaki tua di hadapannya, merah padamlah wajah Umar. Setelah terdiam beberapa saat, ia meminta izin untuk pergi sebentar. Sekitar 2 menit kemudian, dia datang membawa sebuah tulang onta. Dengan gerakan cepat, tulang onta itu ia kemudian ia gores memakai pedangnya.

“Berikan tulang ini pada Amr bin Ash di Mesir,” kata Sang Khalifah.

Si Yahudi tua itu menatap bingung. “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkanku…” ujar Yahudi itu dalam nada pelan.

Umar ibn Khattab tersenyum. Dipegangnya pundaknya si Yahudi tua."Percayalah, aku tak pernah mempermainkan seseorang yang tengah terzalimi."

Akhirnya si Yahudi tua pun pulang ke Mesir. Begitu tiba di Mesir, tanpa buang waktu ia lalu melangkah ke Istana Kegubernuran dan memberikan tulang onta itu kepada Amr ibn Ash. Begitu mememegang tulang onta dan mengetahui itu dari atasannya di Madinah, pucat pasilah wajah Sang Gubernur. Ia kemudian memanggil para bawahannya dan memerintahkan saat itu juga untuk menghentikan proyek pembangunan masjid sekaligus membangun kembali tempat tinggal si Yahudi tua tersebut. 

“Aku minta maaf. Silakan kamu menempati kembali tanahmu,”  ujar Amr bin Ash gemetar.

Si Yahudi tua bengong. Antara gembira, takjub dan penasaran memenuhi dadanya.

"Jika Tuan tidak keberatan bisakah Tuan memberitahukan kepadaku apa arti tulang yang diberikan Tuan Khalifah kepada Tuan itu?" tanyanya. 

Amr ibn Ash menghela nafas.

"Dengan tulang yang tergores pedang itu, Amirul Mukminin seolah mengatakan kepadaku: Wahai Amr ibn Ash berlaku adillah! Ingatlah suatu hari kamu akan seperti tulang ini. Jika kamu tidak mau berlaku adil, maka aku sendiri yang akan meluruskanmu dengan pedang yang menggores tulang ini…"

Sumber:Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar