Jumat, 02 November 2012

Cerita Taksi

Cerita Taksi

Aku yakin banyak pengguna taksi di Jakata ini. Karena jumlah taksi yang juga sangat banyak. Untuk pertimbangan tertentu, naik taksi ada nilai positifnya. Katakanlah dari segi kenyamanan dari menghadapi macet kalau menyetir sendiri, dari segi kemudahan perhitungan ongkos dibandingkan menggaji sopir pribadi dan sebagainya. Pasti ada juga nilai negatifnya, seperti mahal......

Sewa taksi berargometer di Jakarta secara resmi ada beberapa macam. Ada taksi super mewah, menggunakan mobil jenis Toyota Alphard, Mercedes Benz, Toyota Camry. Ada taksi biasa-biasa. Taksi biasa-biasa ini misalnya dengan nama perusahaan Blue Bird, Pusaka, Express, Gamiya dan sebagainya. Jenis kendaraan taksi biasa-biasa ini kebanyakan adalah Toyota Vios (untuk taksi namanya Toyota Limo), disamping ada juga yang bermerek lain (Chevrolet, Nissan, Proton, Hyundai dsb). 

Bagi yang tidak tahu, tarif taksi biasa-biasa ini ada dua macam. Ada yang istilahnya disebut tarif atas, diawali dengan Rp 6000 begitu argometer dinyalakan (untuk satu kilometer pertama) dan setelah itu bertambah Rp 300 setiap tambahan jarak seratus meter. Yang lain menggunakan istilah tarif bawah. Biasanya tulisan TARIF BAWAH ditempel di kaca depan dan belakang mobil. Tarif bawah diawali dengan Rp 5000 untuk satu kilometer pertama dan seterusnya pertambahan Rp 250. Taksi yang menggunakan tarif atas contohnya group Blue Bird, Royal City Taksi. Yang bertarif bawah misalnya Gamiya, Express, Cipaganti. Untuk tambahan informasi, beberapa taksi bertarif bawah dengan merek perusahaan tertentu, ada yang kendaraannya kurang terawat, baik dari segi kebersihan, peralatan maupun badan mobilnya sendiri. 

Entah kenapa ada dua macam tarif seperti itu dan diizinkan oleh Pemda. Padahal jenis dan kondisi mobilnya sebagian besar sama. Sama-sama Toyota Limo, sama-sama relatif baru tapi sewanya berbeda. Perbedaan tarif yang mungkin terlihat tidak seberapa itu, di akhir pemakaian taksi pasti terasa juga berat bedanya. Kalau aku naik taksi dari rumah ke Bandara Soeta menggunakan tarif atas biayanya sekitar Rp 150,000. Kalau dengan yang tarif bawah sekitar Rp 120,000. Jadi, kalau mau berhemat sedikit, ya pandai-pandailah mengenali mana yang tarif bawah, mana yang tarif atas.

Inilah pengalamanku kemarin sore. Pulang agak terlambat dari biasanya, baru keluar kantor jam lima lebih. Lalu lintas di jalan raya di depan tempat bekerja, sedang padat-padatnya. Aku menunggu hampir setengah jam. Ada beberapa buah taksi lewat dan semua yang bertarif atas. Entah kemana perginya taksi Express atau Gamiya yang umumnya kendaraannya sama rapi dan bersihnya dengan taksi Blue Bird. Akhirnya sebuah taksi berwarna biru kusam, tanpa nama perusahaan yang jelas, tanpa nomor telepon perusahaan taksinya, melintas. Taksi tersebut aku stop. Biarlah naik taksi yang agak kurang sendereh penampilannya karena hari sudah semakin sore.

Sopirnya berpakaian biasa, bukan pakaian seragam.  Sesudah aku berada di atas mobilnya beberapa saat, dia minta izin mau mengisi bensin dulu. Aku mulai agak kesal dan bertanya, mau mengisi bensin di mana? Dekat sini aja, pak. Sementara itu biar argonya saya matikan dulu, katanya. Aku melirik argo yang menunjukkan angka Rp 6000 sebelum dimatikan. Aku berpikir sedikit penasaran, masakan argo itu sudah sekian saja dalam beberapa detik padahal baru berjalan dua ratus meter? Tidak sedikitpun terbayang bahwa taksi ini bertarif atas.

Setelah mengisi bensin argometer kembali dinyalakan. Kali ini aku terlongo melihat bahwa angka yang muncul adalah Rp 6000. Dengan nada bodoh aku bertanya, apakah taksi ini menggunakan tarif atas. Sopirnya menjawab, iya. 

Sampai di rumah, yang biasanya ongkos taksi sekitar Rp 55,000, kali ini argometer menunjukkan Rp 76,000. Aku serahkan uang kertas seratus, dikembalikannya dua puluh ribu. Aku dengan penasaran mengingatkan bahwa masih ada sisa uang pembayar tol. Oh iya pak, katanya, sambil mengembalikan sisa uang seribu lima ratus.  

*****            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar