Jumat, 04 September 2020

Hutang Dan Gadai (lanjutan)

Allah memerintahkan di ayat 282 surat Al Baqarah agar proses muamalah, hutang-piutang itu ditulis oleh seorang penulis dengan benar. Penulisnya haruslah seorang yang berilmu. Aturannya harus dibuat dengan teliti dan dipahami oleh kedua belah pihak yang berhutang dan yang menghutangi. Seandainya yang berhutang lemah atau kurang akalnya maka harus ada walinya yang mewakilinya. Dan harus ada dua orang saksi laki-laki, atau kalau tidak ada dua orang laki-laki boleh satu orang laki-laki ditambah dua orang perempuan. Begitu aturannya menurut ayat tersebut.

Apa saja yang harus ditulis? Tentu segala sesuatu yang menyangkut dengan perjanjian berhutang tersebut, termasuk siapa dan bagaimana membayarnya, kapan akan dibayar dan dengan cara apa akan dibayar. Semua persyaratan ini haruslah disetujui bersama oleh kedua belah pihak. Penulisnya harus seorang yang adil dan takut kepada Allah, sehingga perjanjian hutang-piutang itu nantinya terhindar dari merugikan fihak yang manapun. 

Begitu aturan untuk hutang tanpa agunan dan begitu juga untuk hutang dengan agunan alias gadai.

Mengenai gadai, ada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang ketentuan jika yang digadaikan itu hewan ternak. Selama hewan itu dibawah pemeliharaan yang memagang, maka dia (si pemagang) boleh mengambil manfaat seperti air susu maupun tenaga dari hewan tersebut karena dia juga bertanggung jawab memberinya makan.

Berdasarkan hadits tersebut timbul pemikiran-pemikiran saya sebagai berikut.

Adalah penting bagi penulis perjanjian gadai untuk menyebutkan berapa lama hutang gadai itu diperkirakan akan terselesaikan sesuai dengan harapan si pemilik ternak. Kalau hanya untuk bilangan hari atau pekan mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Tapi kalau penggadaian itu akan berlangsung dalam bilangan tahun, banyak hal yang harus dirinci untuk disetujui. Bagaimana kalau dalam waktu setahun tersebut hewan itu beranak, siapa pemilik anaknya. Tentu harus ada persetujuan yang adil antara kedua pihak. Begitupun seandainya hewan itu secara alami, bukan karena keteledoran si pemagang, mati, bagaimana pula penyelesaiannya? 

Sekarang kita ambil kasus gadai sawah dengan gadai hewan ternak ini sebagai pembanding. Kita qiyaskan. Pemagang tentunya bertanggung jawab pula memelihara sawah itu agar tidak menjadi terbengkalai. Tidak menjadi 'liek' kata orang Minang. Atau menjadi rimba semak belukar kalau dibiarkan saja, apatah lagi kalau masa gadai bertahun-tahun. Untuk menghindari yang demikian, keadaan sawah itu dipeliharanya, dijadikannya sawah seperti biasa. Lalu apakah serta merta akan dicap saja bahwa dia memakan riba dari hasil sawah itu? Kalau dari hewan ternak, karena pemeliharaannya maka hasil sampingan ternak itu berupa susunya atau tenaganya boleh digunakan si pemagang, kenapa pula hasil sawah tergadai yang diusahakannya agar tetap terpelihara sebagai sawah dia tidak boleh mengambil hasilnya?

Di sini saya melihat bahwa pengaturannya boleh diusulkan secara adil dan bijak oleh penulis perjanjian gadai. Dan penting untuk diketahui berapa lama kira-kira gadai itu akan berlangsung. Dalam praktek, seringkali gadai itu berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Ada yang sampai tidak tertebus lagi oleh pemiliknya. Yang umumnya berlaku pemilik sawah tidak mendapatkan apa-apa dari hasil sawahnya. Hal ini tidak adil baginya karena hutang gadainya mungkin hanya setengah dari harga sawah. Sebaliknya, jika pemberi hutang tidak boleh mengambil hasil sawah yang dipagangnya karena dikatakan riba, yang artinya dia tidak boleh memanfaatkan sawah yang dipagangnya juga tidak adil untuknya. Jadi harusnya ada pemecahan yang adil untuk keduanya, dan terhindar dari mubazir dengan membiarkan sawah tersebut tidak berproduksi selama watu gadai.  


Wallahu a'lam.

****



Rabu, 02 September 2020

Hutang Dan Gadai

Hutang Dan Gadai

Ada pertanyaan tentang hukum menggadaikan sawah yang terjadi di Minangkabau. Ada yang menganggap bahwa tatacara gadai sawah yang berlaku di sana itu sebagi praktek riba. Benarkah demikian?

Gadai sejatinya adalah meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai jaminan kepada yang meminjamkan. Praktek gadai ini sudah ada sejak lama. Bahkan menurut riwayat, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menggadaikan baju perang beliau.

Islam mengajarkan tatacara bermuamalah yang melibatkan hutang piutang dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 282. Intinya, dalam pelaksanaan hutang piutang tersebut hendaklah dituliskan persyaratan dan ketentuannya yang kemudian disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Artinya perjanjian hutang piutang itu ditulis dengan jelas sedemikian rupa agar masing-masing si pemberi pinjaman dan si peminjam tidak dirugikan di kemudian hari di saat hutang itu dikembalikan. Perjanjian yang ditulis itu haruslah halal dan adil. Tidak boleh disyaratkan bahwa si peminjam harus membayar hutangnya dengan tambahan atau bunga, karena yang seperti itu riba namanya. Sebaliknya tidak boleh pula si peminjam membayar hutangnya dengan nilai yang kurang dari yang dipinjamnya.  Contoh yang terakhir ini sangat mungkin terjadi ketika yang dipinjam uang kertas yang nilainya dipengaruhi inflasi. Si A meminjam uang kepada si B sebanyak satu juta rupiah, yang ketika dia menyerahkan uang tersebut nilainya seharga seekor kambing. Si A membayar hutangnya tiga tahun kemudian tetap satu juta rupiah yang nilainya setara dengan setengah ekor kambing.

Gadai artinya meminjam (uang) dengan memberikan barang sebagai jaminan. Jumlah yang dipinjam biasanya kurang dari harga barang jaminan. Dalam melakukan penggadaian ini tetap perlu dituliskan aturan yang tidak berpotensi merugikan kedua belah pihak. Di Minangkabau, yang menggadaikan sawah biasanya menerima pinjaman gadai dalam satuan rupiah emas. Karena nilai rupiah emas itu bebas dari pengaruh inflasi. Kalau dia menebus sawahnya suatu saat nanti dia harus mengembalikan sebanyak rupiah emas yang dipinjamnya di awal perjanjian gadai.  

Lalu bagaimana pengaturan untuk barang jaminan? Inipun harus dijelaskan secara adil. Pada waktu si A menggadaikan sawahnya kepada si B, lalu si B ‘memegang’ (dalam Bahasa Minang disebut ‘mamagang’) bolehkah dia mengambil hasil sawah tersebut? Ini yang sementara orang menganggap sebagai praktek riba, karena seolah-olah, si B memakan bunga dari uang yang dipinjamkannya.

Kalau yang digadaikan itu barang misalnya baju, si pemilik uang akan memegang baju itu tapi mungkin tidak menggunakannya. Si peminjam uang sementara dia masih berhutang juga tidak bisa memakai baju yang digadaikannya itu. Tapi kalau sawah? Apakah selama sawah itu tergadai maka sawah itu tidak boleh diusahakan? Kalau tetap diusahakan oleh si peminjam, berarti yang meminjamkan uang (yang memagang) tidak mendapat jaminan apa-apa dari uang yang dipinjamkannya.  

Seandainya dibandingkan dengan barang, yang hanya disimpan saja sebagai jaminan, tentunya sawah yang tergadai juga dibiarkan saja tapi di bawah pengawasan yang punya uang. Dan ini tentu mubazir karena kalau diusahakan sawah itu bisa memberikan hasil. Sedangkan biasanya hutang gadai ini berlangsung dalam waktu lama. Mungkin jalan tengahnya (tapi sepertinya belum ada yang mempraktekkan) berbagi hasil selama sawah itu tergadai, antara yang punya sawah dengan yang memagangnya. Dengan demikian sawah itu tidak tersia-sia. Seolah-olah selama masa gadai sawah itu jadi milik berdua. Kalau yang punya sawah sudah sanggup membayar pinjaman gadainya, maka sawah itu kembali jadi miliknya seutuhnya.

Ada pula yang menganjurkan dan bahkan mempraktekkan, setelah sekian puluh tahun sawah itu tergadai, dan selama itu hasilnya diambil seutuhnya oleh yang memagang, maka setelah sekian tahun itu tadi si pemagang diminta mengikhlaskan saja uangnya dan mengembalikan sawah itu kembali kepada pemiliknya. Cara seperti ini belum tentu juga benar. Kecuali kalau sejak awal disetujui bahwa hutang gadai itu dicicil membayarnya dengan hasil sawah.

****