Senin, 31 Juli 2017

Antara Yang Mendapat dan Tidak Mendapat Hidayah Allah

Antara Yang Mendapat Dan Tidak Mendapat Hidayah Allah   

Ada seorang tukang becak yang diberi tugas khusus oleh salah satu RT di komplek kami untuk membersihkan dan mencabuti rumput yang tumbuh di selokan di pinggir jalan. Sudah cukup lama dia secara berkala, dua bulan sekali, bekerja membersihkan rumput-rumput di selokan itu. Kalau tidak bekerja mencabut rumput, dia biasa mangkal menunggu penumpang di sebuah persimpangan jalan dalam komplek kami. Wajahnya jadi sangat familiar. Orangnya sudah setengah umur, berperawakan tinggi agak kurus. 

Sebahagian dari selokan yang biasa dibersihkannya melewati jalan di samping mesjid. Namun, inilah yang disayangkan, dia sangat tidak akrab dengan mesjid. Di hari Jum'at, ketika orang sedang shalat Jum'at dan kebetulan dia sedang bekerja membersihkan selokan, dia bekerja saja tanpa risih. Tanpa merasa perlu ikut hadir ke mesjid.

Suatu ketika, akupun pernah mempekerjakannya untuk membersihkan pekarangan. Waktu itu bulan puasa. Dan dia tidak puasa. Ketika aku tanyakan kenapa tidak berpuasa, tidak ada jawaban, kecuali cengenges saja. 

Ada seorang jamaah yang mencoba mendakwahinya untuk mau shalat. Alasannya tidak shalat karena tidak punya kain sarung. Dia lalu diberi sarung. Ternyata tetap tidak mau shalat. Begitulah kalau Allah belum memberi hidayah kepada seseorang. Tidak kunjung terbuka hatinya untuk menyembah Allah. Kasihan kita melihatnya. Hidupnya sebagai penarik becak pastilah tidak mudah. Seandainya nanti mati dalam keadaan tetap seperti sekarang, betapa akan meruginya dia di akhirat kelak.  

Beberapa hari yang lalu ada yang mengirim posting-an di WA tentang seorang ibu tukang pulung yang berpenghasilan dua puluh ribu rupiah sehari, mengirim anaknya bersekolah ke pesantren. Ada yang bertanya, kenapa anaknya dikirim ke pesantren, kenapa tidak diajak hidup bersama-sama saja untuk membantu mencari nafkah. Apa jawaban ibu itu, dia berharap anaknya itu akan jadi seorang yang shalih, yang akan mendoakannya waktu dia sudah meninggal nanti. Si ibu ini tidak canggung untuk hidup sendiri dengan penghasilan yang tidak menentu. Dia sangat yakin bahwa Allah akan senantiasa memberinya rezeki. Dan dia berharap agar dia mati dalam iman Islam.

Inilah contoh kebalikan dari si tukang becak di atas. Seorang ibu yang hidupnya juga sulit tapi diberi hidayah Allah. Dia beriman kepada Allah, berharap kepada Allah untuk mendapatkan perlindungan di dunia dan akhirat.

****               

Minggu, 30 Juli 2017

Perguliran Kehidupan

Perguliran Kehidupan     

Sepekan yang lalu, aku menghadiri undangan pernikahan puteri seorang teman sekantor (dulu). Seperti biasanya, acara pesta seperti ini menjadi sekaligus ajang silaturahim alias reunian dengan teman-teman lama yang dulu sama-sama bekerja di perusahaan yang sama. Biasanya kita berseloroh, dahulu kita bertemu hampir setiap hari, tapi sekarang kita hanya berjumpa di dua kemungkinan kesempatan. Di pesta seperti ini atau di tempat melayat rekan yang meninggal.  

Di antrian untuk bersalaman dengan pengantin aku beriringan dengan seorang mantan senior. Dia ini dulu adalah atasan dari atasanku di pekerjaan. Dia masih sehat di usianya yang hampir sepuluh tahun di atas usiaku. Dia sudah pensiun sejak tujuhbelas tahun yang lalu. Ketika aku tanya apa saja kegiatannya sekarang, dia menjawab dengan santai, sebagai PRT yang langsung diterjemahkannya sebagai pekerja rumah tangga.  

Dulu sebagai atasan dia tentu saja cukup berwibawa. Cukup disegani dan bahkan ditakuti oleh sebagian bawahannya. Yang ujung-ujungnya tentu juga ada yang tidak menyukainya. Karena memang ada rekan yang terpaksa pindah jalur karena tidak tahan berada di bawahnya. Sesuatu yang mungkin sangat biasa saja terjadi di sebuah lingkungan pekerjaan, ketika kita berhadapan dengan seseorang lalu kita menyukai atau sebaliknya tidak menyukainya, dengan alasan-alasan tertentu. Aku sendiri tidak pernah punya masalah dengannya ketika itu.

Inilah sebuah cerminan hidup normal. Kemarin kita berpangkat, berkedudukan, berwibawa. Ternyata pangkat, kedudukan itu tidak langgeng. Tiba-tiba datang saatnya kita harus pensiun, melepas pangkat dan jabatan. Ada orang yang tidak tahan dengan realita seperti ini. Mereka dihinggapi penyakit post power syndrome.  Beruntung sekali jika kita tidak punya sindrom seperti itu. 

Aku merasa sangat beruntung karena di tempat bekerja dulu aku termasuk kelompok pertengahan saja. Tidak pernah mencapai posisi tinggi tapi alhamdulillah juga tidak terlalu di bawah. Pernah punya beberapa orang bawahan, yang selama bekerja dengan mereka, aku memperlakukan mereka sebagai teman sejawat. Ada di antara mantan bawahanku itu bahkan berhasil mencapai kedudukan yang lebih tinggi di perusahaan.

Semua itu sekarang menjadi catatan sejarah dalam hidup kita. Yang telah kita lalui dan sudah tertinggal jauh di belakang.

****          

Jumat, 28 Juli 2017

Tubuh Yang Tak Lebih Dari Sekarung Najis

Tubuh Yang Tak Lebih Dari Sekarung Najis  

Alkisah, Khalifah Rasulullah yang pertama, Abu Bakar Ash Shiddiq berpesan tatkala menjelang wafatnya, agar jenazah beliau dibungkus dengan gamis usang beliau yang penuh tambalan. Salah satu puteri beliau menjelaskan, bahwa gamis itu sudah sangat buruk untuk digunakan sebagai kain kafan jenazah beliau. Apa jawab Abu Bakar, manusia hidup lebih pantas menggunakan kain yang masih baik untuk menutupi tubuhnya. Adapun kain kafan penutup mayat itu sebentar juga akan berganti menjadi penutup darah dan nanah busuk di liang lahat.

Pagi ini seorang jamaah menyampaikan kultum tentang tubuh manusia yang tak lebih dari sekarung najis. Lihatlah betapa menjijikkannya tubuh manusia hidup yang mengeluarkan keringat, cairan dan lendir serta najis lainnya. Ketika dia berkeringat, bau keringatnya bisa sangat busuk. Atau ketika dia baru bangun dari tidur di pagi hari, bau mulutnya juga busuk. Air yang keluar dari hidungnya, berlendir dan menjijikkan, sebagaimana halnya air matanya atau cairan yang keluar dari telinganya. Dan terlebih-lebih ampas dari makanan yang keluar melalui kedua lubang kemaluannya.  

Itulah diri kita. Kita, manusia yang diciptakan Allah pada mulanya dulu (nabi Adam, nenek moyang kita) dari tanah liat yang juga berbau. Lalu kita makan tanaman dan binatang ternak yang hidupnya juga ditopang oleh tanah. Kita yang berasal dari tanah, hidup dengan memakan hasil tanah, nanti akan dikembalikan jadi tanah.

Maka sungguh tidak pantaslah kita untuk sombong dalam kehidupan ini. Sekaya apapun kita. Setinggi apapun pangkat kita. Setampan atau secantik apapun tubuh kita. Semua kita sama, tidak lebih dari sekarung najis. Di waktu hidup kita berusaha untuk menutupi dan membersihkan serba najis tersebut semampu kita. Ketika kita telah menjadi mayat semua akan berubah menjadi gumpalan darah busuk dan nanah sebelum akhirnya kembali menjadi tanah.

****                   

Selasa, 25 Juli 2017

Molimo Dan Tombohati

Molimo Dan Tombohati   

Orang Jawa memperkenalkan pemahaman, bahwa seseorang tidak dapat dikatakan jahat, atau berakhlak buruk ketika dia terbebas dari lima kebiasaan buruk. Lima kebiasaan buruk itu mereka beri judul molimo alias limahal. Kelima hal buruk tersebut adalah, 1. Main (judi, penjudi); 2. Madon (prostitusi, baik laki-laki atau perempuan); 3. Maling (mencuri, korupsi, dll); 4. Madat (candu, dadah, obat terlarang); 5. Mabuk (minuman keras, mabuk). Tidak sulit bagi kita untuk memahami bahwa jika seseorang terbebas dari kelima kebiasaan tersebut, maka orang itu tidak bisa dikatakan seorang yang jahat. 

Meskipun belum tentu dia itu seorang yang benar-benar baik. Karena bisa saja dia tidak punya kelima kebiasaan buruk tersebut tapi dia suka berbohong. Atau dia bukan seorang yang mampu bertanggung jawab.

Lalu, menurut pitutur orang Jawa ada pula lima obat hati (tombohati) untuk menjadi orang baik di hadapan Allah. Yang pertama adalah membiasakan membaca Quran dan maknanya. Yang kedua mendirikan shalat malam. Yang ketiga berkumpul dengan orang shaleh. Yang keempat memperbanyak berpuasa. Yang kelima memperbanyak dzikir di malam hari. Kita faham bahwa kelima obat hati ini adalah sebagai amalan tambahan sesudah amalan wajib dikerjakan.

Kalau seseorang mampu menghindar dari molimo dan mampu pula memperaktekkan tombohati dalam kehidupannya, mudah-mudahan dia akan termasuk kedalam golongan orang-orang shaleh.  

Pendekatan yang cukup bijak untuk melatih diri kita menjadi orang baik di sisi Allah.

****             

Rabu, 19 Juli 2017

Bercerminlah Atau Coba Lihat Mereka-mereka Yang Seusiamu!

Bercerminlah Atau Coba Lihat Mereka-mereka Yang Seusiamu!  

Kadang-kadang kita terlena. Merasa masih muda juga. Atau paling tidak merasa masih seperti beberapa puluh tahun yang lalu, ketika tulang masih kuat, kulit masih kencang, rambut masih hitam. Padahal.... Sekarang hari sudah semakin sore. Sudah semakin dekat matahari akan terbenam. Kadang-kadang, ada saja orang yang seperti tidak terlalu peduli dengan perubahan yang terjadi pada fisiknya. Tidak memberi peringatan apapun baginya mengalami kemerosotan kondisi tubuhnya. Bahkan dia berusaha untuk tetap terlihat muda dan gagah. Dengan memoles tubuhnya dimana mungkin, seperti menghitamkan rambut.

Tapi tidak semua bagian tubuh dapat dipoles-poles. Yang paling mudah barangkali memang mengecat rambut. Tapi kulit yang kendor, atau gigi yang sudah pada rontok, lebih sulit menyembunyikannya. Atau tulang-tulang yang sudah tidak lagi lincah dibawa mendaki tangga. Ngilu rasanya di lutut dan di persendian kaki.

Ini adalah tanda-tanda, bagi yang mau menyadari. Memang seperti itulah ketetapan Allah seperti difirmankan-Nya pada surat Rum ayat 54; 'Allah yang telah menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian menjadi kuat, kemudian menjadi  lemah dan beruban....' 

Lalu masih jugakah kita terlalu terikat kepada nostalgia masa muda? Terlalu mencintai kehidupan ini? Yang padahal sudah semakin banyak yang tidak bisa dinikmati?

Bercerminlah. Dan jujurlah. Perhatikanlah setiap gurat dan keriput di wajahmu. Atau rambut-rambut putih di kepalamu. Memang ada di antara kita yang meski sudah berumur lanjut masih merasa sehat. Bahkan masih sanggup berolahraga tennis atau golf. Cobalah menoleh ke mereka-mereka yang seusia. Bukan untuk menjadi takabur karena masih lebih sehat. Lihat wajah-wajah mereka yang sudah sangat lemah. Hanya untuk sekedar mengingat bahwa engkau seusia dengannya. Artinya, kalau mereka sudah menjelang finish, engkaupun sebenarnya sama, sedang menjelang finish juga.  

Di saat-saat senja begini, makin terasa bahwa dunia ini hanya sebuah  persinggahan sementara. Usia enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh tahun itu ternyata hanya sangat sebentar....

****                     

Senin, 10 Juli 2017

Kedatangan Maut Berbanding Pencapaian Dunia

Kedatangan Maut Berbanding Pencapaian Dunia  

Kemarin pagi aku pergi melayat. Seorang teman sekelas waktu di SMA Bukit Tinggi meninggal dunia. Umurnya tentulah sama dengan umurku, sekitar 66 tahun. Usia yang sesuai dengan ramalan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk umat beliau, antara enam puluh dan tujuh puluh tahun. Teman ini menderita sakit jantung, sudah dioperasi bypass beberapa bulan yang lalu, namun sejak saat itu tidak pernah sembuh sempurna. Begitu keterangan dari adik almarhum. Mudah-mudahan dia meninggal dalam husnul khatimah.

Aku seringkali tertegun di saat hadir melayat. Terbayang bahwa gilirankupun sudah semakin dekat. Meski hanya Allah saja Yang Maha Tahu, kapan giliranku akan datang. Ya Allah, mudah-mudahan Engkau matikan hamba dalam keadaan husnul khatimah.

Tanpa disengaja, terlirik juga pencapaian si mati. Ketika kita datang melayat ke rumah tempat tinggalnya. Terlihat rumahnya yang besar dan indah. Rumah yang tentu dibangun dengan biaya besar untuk dinikmatinya bersama keluarga. Entah berapa lama dia sudah menempatinya. Lalu dia harus meninggalkan itu semua. Bahagiannya sekarang hanya liang lahat berukuran sempit yang dimasukinya dengan pakaian beberapa lembar kain kafan. 

Akan seperti itu pulalah aku nanti, sebentar lagi. Meski aku tidak meninggalkan rumah besar dan indah, karena aku tinggal di komplek kampung. Pencapaian dunia tidak akan memberi jaminan apa-apa kalau kita tidak pandai-pandai menikmatinya dengan memperhitungkan keridhaan Allah. Baik dalam memperolehnya ataupun dalam memanfaatkannya. Pencapaian yang diiringi kesombongan dan ketakaburan tidak akan mendapat nilai di sisi Allah. 

Pencapaian dunia yang kita berjuang untuk memperolehnya, yang dengan izin Allah berhasil kita gapai, semua itu nanti akan jadi 'persoalan' yang harus kita jelaskan di hadapan Allah. Nanti, di akhirat sana. Sementara liang lahat yang kita masuki, adalah gerbang pertama menuju akhirat.....

****                                             

Kamis, 06 Juli 2017

Pilih Aku Atau Ibumu (Cerpen oleh NN)

Pilih Aku Atau Ibumu (Cerpen oleh NN)

(Sebuah cerita pendek dari postingan seorang teman di FB, tidak diketahui siapa penulis aslinya. Cerita ini sangat menyentuh dan seyogianya jadi renungan bagi para istri 'moderen'.)

Pagi-pagi sekali, Sarah mengetuk pintu rumah ibunya. Ia menggendong anaknya dan membawa satu tas besar di tangan kanannya. Dari matanya yang sembab dan merah, ibunya sudah tahu kalau Sarah pasti habis bertengkar lagi dengan Rafi suaminya. Meski heran, karena biasanya Sarah hanya sebatas menelpon sambil menangis jika bertengkar dengan Rafi. Ayah Sarah yang juga keheranan, segera menghampiri Sarah dan menanyakan masalahnya. 

Sarah mulai menceritakan awal pertengkarannya dengan Rafi tadi malam. Sarah kecewa karena Rafi telah membohongi Sarah selama ini. Sarah menemukan buku rekening Rafi terjatuh didalam mobil. Sarah baru tahu, kalau Rafi selalu menarik sejumlah uang setiap bulan, di tanggal yang sama. 

Sementara Sarah tahu, uang yang Sarah terima pun sejumlah uang yang sama. Berarti sudah 1 tahun lebih, Rafi membagi uangnya, setengah untuk Sarah, setengah untuk yang lain. Jangan-jangan ada wanita lain??

Ayah Sarah hanya menghela nafas, wajah bijaksananya tidak menampakkan rasa kaget atau pun marah.

"Sarah...,  Yang pertama, langkahmu datang ke rumah ayah sudah 'Dilaknat Allah dan para MalaikatNya', karena meninggalkan rumah tanpa seizin suamimu."
 
Kalimat ayah sontak membuat Sarah kebingungan. Sarah mengira ia akan mendapat dukungan dari ayahnya.

"Yang kedua, mengenai uang suamimu, kamu tidak berhak mengetahuinya. Hakmu hanyalah uang yang diberikan suamimu ke tanganmu. Itu pun untuk kebutuhan rumah tangga. Jika kamu membelanjakan uang itu tanpa izin suamimu, meskipun itu untuk sedekah, itu tak boleh," lanjut ayahnya.

"Sarah.., Rafi menelpon ayah dan mengatakan bahwa sebenarnya uang itu memang diberikan setiap bulan untuk seorang wanita. Rafi tidak menceritakannya padamu, karena kamu tidak suka wanita itu sejak lama. Kamu sudah mengenalnya, dan kamu merasa setelah menikah dengan Rafi, maka hanya kamulah wanita yang memilikinya."

"Rafi meminta maaf kepada ayah karena ia hanya berusaha menghindari pertengkaran denganmu. Ayah mengerti karena ayah pun sudah mengenal watakmu," mata ayah mulai berkaca-kaca.

"Sarah..., kamu harus tahu, setelah kamu menikah maka yang wajib kamu taati adalah suamimu. Jika suamimu ridha padamu, maka Allah pun ridha. Sedangkan suamimu, ia wajib taat kepada ibunya. Begitulah Allah mengatur laki-laki untuk taat kepada ibunya. Jangan sampai kamu menjadi penghalang bakti suamimu kepada ibundanya."
 
"Suamimu, dan harta suamimu adalah milik ibunya."
 
Ayah mengatakan itu dengan tangis. Air matanya semakin banyak membasahi pipinya. 

"Seorang ibu melahirkan anaknya dengan susah payah dan kesakitan.  Kemudian ia membesarkannya hingga dewasa hingga anak laki-lakinya menikah, ia melepasnya begitu saja. Kemudian anak laki-laki itu akan sibuk dengan kehidupan barunya.  Bekerja untuk keluarga barunya. Mengerahkan seluruh hidupnya untuk istri dan anak-anaknya.  Anak laki-laki itu hanya menyisakan sedikit waktu untuk sesekali berjumpa dengan ibunya. sebulan sekali, atau bahkan hanya1 tahun sekali."

"Kamu yang sejak awal menikah tidak suka dengan ibu mertuamu. Kenapa? Karena rumahnya kecil dan sempit? Sehingga kamu merajuk kepada suamimu bahwa kamu tidak bisa tidur disana. Anak-anakmu pun tidak akan betah disana. Sarah.., mendengar ini ayah sakit sekali."

"Lalu, jika kamu saja merasa tidak nyaman tidur di sana. Bagaimana dengan ibu mertuamu yang dibiarkan saja untuk tinggal disana?"

"Uang itu diberikan untuk ibunya. Rafi ingin ayahnya berhenti berkeliling menjual gorengan. Dari uang itu ibunda Rafi hanya memakainya secukupnya saja, selebihnya secara rutin dibagikan ke anak-anak yatim dan orang-orang tidak mampu di kampungnya. Bahkan masih cukup untuk menggaji seorang guru ngaji di kampung itu," lanjut ayah.

Sarah membatin dalam hatinya, uang yang diberikan Rafi sering dikeluhkannya kurang. Karena Sarah butuh banyak pakaian untuk mengantar jemput anak sekolah. Sarah juga sangat menjaga penampilannya untuk merawat wajah dan tubuhnya di spa. Berjalan-jalan setiap minggu di mall. Juga berkumpul sesekali dengan teman-temannya di restoran.
Sarah menyesali sikapnya yang tak ingin dekat-dekat dengan mertuanya yang hanya seorang tukang gorengan. Tukang gorengan yang berhasil  menjadikan Rafi seorang sarjana, untuk kemudian mendapatkan pekerjaan yang di idam-idamkan banyak orang. Dan berhasil mandiri, hingga Sarah bisa menempati rumah yang nyaman dan mobil yang bisa ia gunakan setiap hari.

"Ayaaah, maafkan Sarah," tangis sarah meledak.

Ibunda Sarah yang sejak tadi duduk di samping Sarah segera memeluk Sarah.
 
"Sarah... kembalilah ke rumah suamimu. Ia orang baik nak...  Bantulah suamimu berbakti kepada orang tuanya. Bantu suamimu menggapai surganya, dan dengan sendirinya, ketaatanmu kepada suamimu bisa menghantarkanmu ke surga."

Ibunda sarah membisikkan kalimat itu ke telinga Sarah. Sarah hanya menjawabnya dengan anggukan, ia menahan tangisnya. Bathinnya sakit, menyesali sikapnya. Namun Sarah berjanji dalam hatinya, untuk menjadi istri yang taat pada suaminya... Subhanallah....

****

* Kirimkan Kisah ini ke semua sahabat Anda, siapa tahu ada orang yang mau mencoba dan mengambil manfaat dari kisah ini, sehingga anda pun akan mendapatkan pahala!