Kategori Kitab : Rifqon
Hukum Berburuk Sangka Dan Mencari-Cari Kesalahan
Kamis, 26 Januari 2012 05:35:34 WIB
HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN
Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr
Allah Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena
sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan
berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan
perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus.
Tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan
orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ
تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا
وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena
prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling
mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling
mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian
hamba-hamba Allah yang bersaudara” [1]
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka
terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali
dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa
perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”
Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam
kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap
perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila
kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka
buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu
Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita
tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah
mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan
untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku
itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang
di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya
berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku
menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind
[2], Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau
berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari
kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari
kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi
berbuat seperti itu” [3]
Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang
terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari
kecerdasan beliau”.
Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala
(hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya
dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan
kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan
kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka
hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia
melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina
tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara
orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan
melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan
merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.
Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus adalah cabang dari
kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang
dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada
saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang
yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak
segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.
[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah bi Ahlissunnah Penulis Abdul
Muhsin bin Hamd Al Abbad Al Badr, Edisi Indonesia Rifqon Ahlassunnah bi
Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penerbit : Titian
Hidayah Ilahi Bandung, Cetakan Pertama Januari 2004]
_______
Tidak ada komentar:
Posting Komentar