Selasa, 25 Januari 2011

Pengeras Suara

Usil Dengan Pengeras Suara

Anak-anak balita, seusia cucuku Rafi dan Rasyid, senang benar dengan pengeras suara. Setiap kali ada acara dengan menggunakan alat pengeras suara di rumah, dan ketika mik itu tergeletak menganggur sebentar, mereka berebutan untuk mencobanya dengan bernyanyi, atau pura-pura berpidato, atau sekedar mendengarkan suara mereka yang diperbesar oleh alat itu. Namanya juga anak-anak. Mereka sangat excited

Senang bereksperimen dengan alat pengeras suara ini ternyata tidak hanya monopoli anak-anak balita. Yang agak menggemaskan (ini benar-benar menggemaskan) adalah petugas mesjid yang gemar bernarsis-narsis dengan alat pengeras suara. Alat itu disetel keras-keras dan digunakan tanpa mengindahkan kepentingan orang sekitar sedikitpun.

Pengeras suara di mesjid biasanya disediakan dua macam. Yang pertama khusus untuk dipergunakan ketika azan. Corongnya terletak di tempat yang relatif tinggi karena tujuannya memang agar panggilan azan terdengar dari tempat yang jauh. Yang kedua adalah untuk digunakan di dalam mesjid. Misalnya untuk mengeraskan suara dan bacaan imam shalat, untuk khutbah dan ceramah. Corong atau speaker-nya ditempatkan di bagian dalam mesjid agar tidak terdengar keluar karena memang tidak ada perlunya. Umumnya, mesjid yang baik mempunyai kedua jenis alat pengeras suara yang kegunaannya berbeda ini.

Hanya saja, dalam kenyataannya, seringkali pengeras suara untuk azan digunakan untuk keperluan lain kecuali untuk imam shalat. Termasuklah di dalamnya untuk membaca shalawat sebelum azan, membaca zikir sebelum dan sesudah shalat, mengaji, atau yang lebih kacau lagi memutar kaset mengaji yang dihubungkan ke mik untuk azan. Yang lebih parah lagi pada saat bulan Ramadhan, ada yang mengaji (sendirian) di tengah malam dengan menggunakan pengeras suara. Bertambah kacau lagi ketika dua atau lebih mesjid terletak pada jarak yang tidak terlalu jauh dan masing-masing menggunakan pengeras suara ukuran maksimal. Suara zikir atau shalawat dan sebagainya itupun bertanding-tandinglah, bagai ingin atas mengatasi.

Di mesjid komplek kami hal ini berhasil aku perbaiki ketika aku baru pindah ke sini dengan cara menjelaskan bahwa pengeras suara itu hendaklah digunakan seperlunya dan jangan sampai mengganggu kepada siapapun, termasuk kepada jamaah mesjid kita sendiri. Awalnya aku ditentang oleh sebagian besar warga dengan bermacam-macam alasan bahkan tuduhan. Tapi sedikit demi sedikit akhirnya mereka faham. Tapi aku tentu tidak bisa membenahi yang di mesjid komplek tetangga.

Dua mesjid terdekat adalah pengguna alat pengeras suara dengan ekstra 'kacau' seperti itu. Yang paling dekat ke rumahku, seringkali sudah sibuk sejam sebelum azan subuh, sejak dari membangunkan orang, zikir, shalawat badar, mengaji dan entah apa lagi dengan volume suara poll. Suara itu hilang hanya ketika mereka shalat (saat mana mereka menggunakan mik dalam) dan kembali keras-keras begitu selesai shalat. Sejak zikir, tahlil, doa, shalawat dan disambung lagi dengan mengaji. Dari mesjid yang satunya lagi yang lebih dekat ke mesjid kami, adalah spesialis zikir sesudah azan. Bacaannya keras dengan suara agak parau dan berakhir dengan iqamat.

Padahal...... menurut hematku, seandainya rangkaian zikir, shalawat, doa, tahlil dan sebaginya itu memang perlu menggunakan pengeras suara, kan seharusnya bisa dengan menggunakan pengeras suara dalam saja. Tapi bukan demikian yang terjadi dan ini sepertinya tidak mungkin bisa dirobah. Sayang sekali......

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar