Kamis, 30 Juni 2016

Muhammad Razzan Haziq

Muhammad Razzan Haziq

Alhamdulillaah, dia telah lahir ke dunia dengan selamat tadi pagi jam 9.31 WIB di sebuah RSIA di Jakarta. Dengan berat 3.3 kg dan panjang 50cm. Muhammad Razzan adalah cucuku nomor enam. Kami menyambut kehadirannya dengan penuh rasa syukur.

Ada sedikit drama pada saat menjelang kelahirannya. Seperti pada tulisan terdahulu, sang Bunda sangat menginginkan melahirkan secara normal pada persalinan ketiga ini. Apa alasannya tentu dia yang paling tahu. Dia mencari informasi dan akhirnya memeriksakan diri serta merencanakan untuk melahirkan di rumah sakit Tambak. Dokter yang merawatnya sudah berpengalaman membantu ibu-ibu melahirkan secara normal sesudah sebelumnya melahirkan dengan operasi. Tingkat keberhasilannya menurut keterangan dokter itu cukup tinggi.

Segala sesuatu sepertinya berjalan aman-aman saja sampai minggu ke 39 kehamilan. Sang bayi sudah mendekati posisi untuk keluar secara normal. Ada sedikit tanda-tanda bahwa dia sudah ingin keluar. Tapi belum maksimal. Dengan kontraksi yang dirasakan si Sulung, sang Bunda. Sampai minggu ke 40 tanda-tanda itu tidak pernah maksimal. Si bayi mendekati posisi mau keluar tapi tetap tidak tuntas. Dokter yang merawatnya memberi batas waktu sampai minggu ke 41. Si Sulung mulai agak cemas. Dia berkonsultasi ke dokter ahli yang lain sekedar mencari pendapat lain. Secara umum pendapat dokter kedua inipun sama. Menurutnya ada beberapa kemungkinan (pendapat) kenapa sang janin tidak masuk utuh ke jalan keluar, namun tidak bisa dibuktikan. Banyak-banyak berdoa kepada Allah, nasihatku. Kita serahkan semuanya kepada Allah.

Malam Selasa (malam ke 23 Ramadhan) si Sulung tidak bisa tidur. Kontraksi semakin sering dan lebih keras dari biasanya. Jam setengah empat menjelang subuh dia diantar suaminya ke rumah sakit. Dia langsung diperiksa. Menurut petugas rumah sakit pembukaan 1. Artinya masih tanda-tanda sangat awal untuk persalinan. Dan dia disuruh langsung tinggal di rumah sakit. Kontraksi berjalan teratur antara jarak waktu lima sampai sepuluh menit. Setiap enam jam diperiksa lagi. Tapi progresnya tidak ada. Sampai Rabu pagi kemarin masih tetap pembukaan 1. Rabu siang naik jadi 2 begitu juga pada malam hari masih di angka yang sama. Hari Rabu itu persis hari terakhir minggu ke 41. Dokter masih menyuruh lanjutkan observasi. Menurut dokter pula keadaan bayinya tidak bermasalah.

Sekitar jam enam pagi tadi suaminya menelpon memberi tahu pembukaan sudah 5. Aku mengucapkan alhamdulillah. Mudah-mudahan penantian si Sulung akan segera berakhir. Aku tetap mendoakan agar kiranya persalinan itu dimudahkan Allah. Tapi dua jam kemudian, suaminya menelepon lagi. Pembukaan 6, namun ada masalah. Si bayi naik lagi alias menjauh dari jalan untuk keluar. Dokter mengatakan, apa boleh buat, akhirnya si Sulung harus dioperasi. Kita semua pasrah. Begitu juga si Sulung. Usaha sudah maksimal tapi rupanya belum diizinkan Allah. 

Kenapa bayi itu naik lagi? Kata dokter, bayi yang akan dilahirkan itu pintar. Kalau ada kemungkinan akan mencelakakan ibunya, dia akan mundur. Tidak terlalu mudah bagiku yang awam untuk memahaminya, tapi begitu keterangan dokter sesuai dengan pengetahuan dan pengalamannya. Lalu apa masalahnya? Ternyata menurut dokter, dinding rahim si sulung di satu sisi mulai menipis. Seandainya si bayi memaksa melalui jalan untuk lahir normal sangat mungkin dinding itu robek. Wallahu a'lam.

Ringkas cerita, operasipun dijalankan. Dan si bayi mungil itu keluar dengan selamat. Alhamdulillah, bayi yang sehat dan montok. Si Sulung terbebas dari ketegangan menunggu kelahirannya.   

****                                              

Senin, 27 Juni 2016

Penantian Datangnya Cucu Keenam

Penantian Datangnya Cucu Keenam   

Cucu keenam dalam penantian. Dia adalah anak keempat si Sulung. Sesudah mendapat 3 anak laki-laki dan sesudah lima tahun sejak kelahiran anak ketiga mereka merencanakan anak keempat. Dan dia inilah yang sedang ditunggu kelahirannya. Menurut ramalan dokter harusnya dia lahir tanggal 20an Juni yang lalu. Tapi ternyata belum. 

Ada sedikit drama dalam penantian ini. Si Sulung, sesudah berkonsultasi dengan dokter, ingin mencoba melahirkan normal, padahal pada dua kelahiran sebelumnya dia dioperasi. Yang pertama sepuluh tahun yang lalu, ketika dia melahirkan si kembar Rafi - Rasyid, sesudah mengalami kontraksi berat selama lebih 12 jam, si kembar belum kunjung keluar juga, akhirnya diputuskan untuk operasi. Yang kedua, waktu kelahiran Rayyan, juga dioperasi. Tapi kali ini dia berniat dan berusaha untuk melahirkan normal. Tentu saja selain berkonsultasi dengan dokter, si Sulung juga mengumpulkan informasi dari teman-teman yang pernah menjalani hal yang sama, melahirkan normal meski sebelumnya pernah dioperasi. Dan ada beberapa temannya yang berpengalaman tentang itu.

Sudah melalui masa kehamilan di minggu ke empat puluh, belum ada juga tanda-tanda untuk segera melahirkan. Keadaan hamilnya tidak ada masalah. Bayi di dalam rahim itu alhamdulillah, menurut pengamatan dokter yang merawat kehamilannya dalam keadaan baik dan aman. Untuk lebih memantapkan pikiran dia berkonsultasi pula dengan dokter ahli kandungan lain (atas saran temannya). Sama seperti saran dokter pertama, kehamilannya aman-aman saja. Namun diingatkan jangan sampai melewati minggu ke 42. Artinya, seandainya sampai minggu tersebut tetap tidak ada tanda-tanda bahwa bayinya akan keluar, tidak ada mules, kontraksi dan sebagainya, maka akan segera diambil tindakan operasi. 

Banyak juga saran dan pendapat dari sanak saudara. Di antaranya ada yang dokter juga. Kenapa tidak segera dioperasi saja. Tapi si Sulung masih tetap dengan keyakinannya untuk menjalani sampai limit waktu seperti yang disarankan dokternya. Aku mengingatkan untuk berdoa dan pasrah kepada Allah.  

Tadi malam aku datang melihatnya sudah hampir tengah malam. Menasihati dan menyemangatinya untuk tetap berserah diri dan meminta pertolongan Allah. Aku kaget ketika membaca pesan WAnya jam 2 pagi dan langsung bertanya, kenapa dia belum tidur. Dia bilang, dia tidak bisa tidur karena kontraksinya semakin sering. Jam setengah empat aku ditelepon suaminya memberitahu bahwa mereka akan ke rumah sakit. Kontraksi semakin sering. Dan mereka sudah di rumah sakit sejak tadi pagi. 

Semuanya masih dalam perjalanan dan penantian. Menjelang siang ini, si bayi belum juga lahir. Aku berulang-ulang melantunkan doa. Ya Allah Rabbul 'aalamiin. Selamatkanlah dan mudahkanlah....

****             

Kamis, 23 Juni 2016

Tadarus (2)

Tadarus  (2)   

Kegiatan rutin kami di bulan Ramadhan, yang terpelihara sejak aku jadi penduduk komplek ini lebih dua puluh tahun yang lalu adalah melakukan tadarus al Quran setiap selesai shalat tarawih. Cukup satu juz setiap malam yang kami baca bergantian, kecuali di sepuluh malam terakhir pada saat mana sebagian dari kami tinggal di mesjid sampai waktu sahur. 

Yang ingin aku ceritakan kali ini bukan tertib bertadarus itu.

Sejak belasan tahun yang lalu, peserta tadarus boleh dikatakan itu-itu saja, minus tentu saja beliau-beliau yang sudah mendahului kami, dipanggil Allah. Agak memprihatinkan bagiku, bahwa kemampuan membaca al Quran beliau-beliau ini boleh dikatakan tidak mengalami perubahan. Ternyata memang sangat sulit merubah kebiasaan lidah yang kelu di hari ketika umur sudah lanjut. Kemampuan membaca al Quran itu masih begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Terbalik-balik dalam melafazkan huruf yang satu ke huruf yang lain, berbaur panjang dengan pendek dan sebagainya. Bagi sebagian besar peserta tadarus, kondisi itu hampir tidak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Apakah karena beliau mengaji di bulan puasa saja? Tidak juga. Untuk memperbaiki kelancaran kaji, kami adakan pula tadarusan sekali seminggu di luar bulan Ramadhan. Pesertanya lebih sedikit. Dicoba meluruskan bacaan-bacaan yang keliru itu. Tapi ternyata, sekali lagi tidak mudah. 

Ada sebuah perkecualian. Salah seorang jamaah (beliau sudah almarhum) belajar mengaji sejak dari menggunakan kitab Iqra' yang digunakan kanak-kanak. Beliau yang satu ini memang luar biasa. Dari membaca terbata-bata, sampai akhirnya mampu membaca al Quran, bahkan dengan tajuwij yang lauh lebih baik. Karena kepada beliau diperkenalkan huruf-huruf hijaiyah itu dengan benar sejak dari awal. Ibaratnya, beliau belajar mengukir dari nol, sehingga hasilnya jauh lebih bersih. Berbeda dengan bapak-bapak yang lain, yang sudah mempunyai polanya sendiri, yang ternyata lemah. Susah memperbaikinya.  

Aku ingat bagaimana kami belajar mengaji ketika kanak-kanak dulu. Guru mengaji kami sangat telaten mengajarkan cara membaca yang benar. Beliau bahkan terkesan keras. Setiap huruf hijaiyah itu harus dibaca dengan jelas. Harus dibedakan antara yang satu dengan yang lain, meskipun perbedaannya seolah-olah sangat tipis. Memang di sanalah kuncinya. Harus dibedakan antara ta denga tha. Antara dal dengan dhad. Antara dzal, zai dan zha. Antara qaf dengan kaf. Antara sin dengan syim dan shad. Lalu keharusan mengenali tanda-tanda bacaan. Membedakan yang harus dipanjangkan dengan yang pendek. Yang harus berdengung. Semua itu ada istilahnya. Oleh guru mengaji kami dulu istilah-istilah itu tidak diajarkan, tapi yang diajarkan adalah bagaimana membacanya dengan benar.  

Bagaimanapun, alhamdulillah karena kebiasaan bertadarus di mesjid komplek kami masih dapat terpelihara. Biarlah dengan bacaan yang tidak terlalu sempurna. Mudah-mudahan Allah tetap memberikan imbalan pahala. Aamiin. 

****                 

Jumat, 17 Juni 2016

Berdoalah Pada Allah Tanpa Perantara (Dari Islampos)

Berdoalah Pada Allah Tanpa Perantara (dari Islampos)


ADA sebuah faidah yang disampaikan oleh sebagian Ulama bahwa : setiap ayat dalam al Qur’an yang terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tentang syariat/ hukum, Allah selalu memerintahkan kepada NabiNya : katakanlah, namun khusus untuk pertanyaan tentang Allah, dan bagaimana berdoa kepada Allah, Nabi tidak diperintahkan dengan: katakanlah…
Silakan disimak beberapa contoh ayat berikut:

”Mereka bertanya kepadamu tentang bulat sabit, katakanlah bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji…” (Q.S al-Baqarah:189).

”Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infaqkan, katakanlah bahwa apa yang kalian infaqkan dari kebaikan adalah untuk kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu Sabil…” (Q.S al-Baqarah:215)

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang di bulan al-haram, katakanlah bahwa berperang di dalamnya adalah dosa besar…”(Q.S al-Baqarah: 217).

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi, katakanlah bahwa di dalam keduanya terdapat dosa besar dan manfaat-manfaat bagi manusia, sedangkan dosa keduanya adalah lebih besar dibandingkan manfaatnya, dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka infaqkan katakanlah: yang lebih dari keperluan,” (Q.S al-Baqarah: 219)

“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang dihalalkan untuk mereka, katakanlah: dihalalkan bagi kalian yang baik-baik…”(Q.S al-Maidah:4)

“Mereka bertanya kepadamu tentang hari kiamat kapan terjadinya. Katakanlah: sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia…” (Q.S al-A'raaf: 187).

“Mereka bertanya kepadamu tentang harta rampasan perang, Katakanlah bahwa harta rampasan perang itu untuk Allah dan RasulNya…” (Q.S al-Anfaal: 1).

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah: Haidh itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh…”(Q.S al-Baqarah:222)

Setiap ada pertanyaan dari kaum muslimin kepada Nabi tentang hukum atau tata cara dalam syariat Allah menjawab dengan firmanNya: katakanlah… Hal itu menunjukkan bahwa seorang muslim tidak bisa menjalankan syariat Allah tanpa perantaraan bimbingan dan tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak bisa membuat inovasi sendiri dalam ibadah.

Namun, ketika pertanyaan dari kaum muslimin adalah tentang Allah dan bagaimana cara berdoa kepada Allah, Allah tidak menyatakan: katakanlah…. Hal ini menunjukkan bahwa berdoa kepada Allah adalah langsung (tanpa perantara) karena Allah Maha Dekat dengan hambaNya.

“Dan jika hamba-hambaKu bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku akan kabulkan doa orang yang berdoa “ (Q.S al-Baqarah : 186).

Faidah tersebut disampaikan Syaikh Abdurrozzaq dalam ceramah Syarh al-Adabil Mufrad dan Syarh Tsalatsatil Ushul, menukil penjelasan al-Imam as-Suyuthy dalam al-Itqon.[]

Referensi: Ramadhan Bertabur Berkah/Karya: Abu Utsman Kharisman/Penerbit: Pustaka Hudaya

****

Selasa, 14 Juni 2016

Kesejukan Beribadah Berbuah Sakit

Kesejukan Beribadah Berbuah Sakit  

Mesjid mungil di komplek perumahan kami senantiasa diperbaiki kondisinya sedikit demi sedikit. Semangat membuat perbaikan ini lebih kentara sesudah pergantian pengurus mesjid. Sesuatu yang sangat positif, karena pengurus baru berusaha untuk melakukan perbaikan apa saja untuk kenyamanan jamaah beribadah di mesjid ini. Akhir tahun 2015 yang lalu kami mempunyai susunan pengurus baru. Gebrakan pengurus baru adalah merenovasi bagian mesjid dan memasang AC. Alhamdulillah, persis sebelum memasuki bulan Ramadhan, pemasangan AC sudah terlaksana.

Jamaah mesjid tentu saja merasa senang dengan udara sejuk di saat shalat. Namun ada sedikit masalah. Yang bertanggung jawab dengan pemasangan AC menginginkan temperatur ruang tertentu. Inipun sah-sah saja. Hanya tiupan angin AC itu dibiarkan menukik ke bawah. Bagiku, kondisi seperti ini adalah sebuah petaka. Aku sangat tidak tahan dengan angin dingin tiupan AC yang tertuju ke bagian badan. Biasanya aku akan segera masuk angin. Aku minta agar pengaturan arah angin AC dirubah, tidak meniup ke bawah. Entah kenapa, atau mungkin karena sedang berbahagia dengan alat penyejuk udara baru, setiap kali dicoba merubah arah tiupan angin, ada saja tangan lain yang mengembalikan ke posisi semula.

Tiupan angin itu tidak begitu terasa waktu kami shalat. Tapi kebalikannya sangat terasa ketika kami melakukan tadarus setelah shalat tarawih, duduk melingkar di bagian tengah mesjid. Untuk mengatasinya aku menutupi muka dengan kain sorban. Sampai hari kelima tadarus tidak begitu terasa pengaruhnya. Tapi hari Sabtu pagi tiba-tiba terasa tidak nyaman di dada sebelah kanan dan punggung sebelah kanan. Memang begitulah biasanya. Aku sudah 'masuk angin'. Rasa sakit itu semakin bertambah sepanjang hari Sabtu. Terasa menyesak dan nyeri ketika sedang rukuk dan sujud. Shalat maghrib aku masih berusaha hadir ke mesjid. Berbuka hanya sanggup menghabiskan empat sendok nasi. Badan rasanya sangat tidak nyaman dan mual. Waktu isya sudah tidak sanggup lagi ke mesjid. 

Hari Minggu pagi aku dipijit oleh si Sulung di punggung dan di dada yang sakit itu. Tapi ternyata, dalam kondisi lemah seperti ini timbul pula penyakit lain. Bekas pijitan itu makin senut-senut. Yang ini adalah gejala asam urat sedang kumat. Bukan hanya punggung dan dada yang nyeri, tapi juga kedua kaki dan jari kelingking tangan kanan. Ini sangat jelas bagiku sebagai pertanda asam urat.  

Begitu rupanya ketentuan Allah. Aku yang memang tidak bernafsu makan (tapi masih tetap puasa) minta dibuatkan sop sayuran saja untuk sahur dan berbuka. Alhamdulillah, hari ini Selasa, kondisiku sudah semakin baik. Mudah-mudahan Allah menyembuhkan penyakit ini dan mudah-mudahan aku dapat melanjutkan ibadah Ramadhan ini sampai ke penghujungnya. Aamiin....

****                                       

Selasa, 07 Juni 2016

Keikhlasan Umar, Salman dan Seorang Pembunuh (Dari Inilahcom)

Keikhlasan Umar, Salman dan Seorang Pembunuh (Dari Inilahcom)


Suatu hari, Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya, para sahabat sedang asyik mendiskusikan sesuatu. Tiba-tiba datanglah tiga orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka. Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata : "Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin!"

"Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!" Umar segera bangkit dan berkata : "Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka, wahai anak muda?"

Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata :"Benar, wahai Amirul Mukminin."

"Ceritakanlah kepada kami kejadiannya," kata Umar. Pemuda lusuh itu kemudian mulai bercerita:

"Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku di kota ini, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia (unta). Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia (lelaki tua tadi). Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini."

"Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu," kata pemuda yang ayahnya terbunuh. "Tegakkanlah had Allah atasnya!" timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh. "Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat," ujar Khalifah.

"Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat (tebusan) atas kematian ayahmu," lanjut Umar.

"Maaf Amirul Mukminin," sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala. "Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa."

Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur, dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata: "Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah," ujarnya dengan tegas.

"Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh tiga hari. Aku akan kembali untuk diqishash."

"Mana bisa begitu?" ujar kedua pemuda yang ayahnya terbunuh.

"Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?" tanya Umar.

"Sayangnya tidak ada, Amirul Mukminin."

"Bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggung jawaban kaumku bersamaku?" pemuda lusuh balik bertanya kepada Umar.

"Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji," kata Umar.

"Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah-lah penjaminku wahai orang-orang beriman," katanya. Tiba-tiba dari belakang kerumunan terdengar suara lantang:

"Jadikan aku penjaminnya, wahai Amirul Mukminin." Ternyata Salman al-Farisi yang berkata.

"Salman?" hardik Umar marah. "Kau belum mengenal pemuda ini, demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini."

"Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, yaa Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya," jawab Salman tenang.

Akhirnya dengan berat hati, Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman, salah satu sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama.

Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.

Akhirnya tiba waktunya penqishashan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.

"Itu dia!" teriak Umar.

"Dia datang menepati janjinya!"

Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.

"Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin..," ujarnya dengan susah payah,

"Tak kukira... urusan kaumku... menyita... banyak... waktu...."

"Kupacu... tungganganku... tanpa henti, hingga... ia sekarat di gurun... Terpaksa... kutinggalkan... lalu aku berlari dari sana.."

"Demi Allah," ujar Umar menenanginya dan memberinya minum,

"Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?" tanya Umar.

"Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan... di kalangan Muslimin... tak ada lagi ksatria... menepati janji..." jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya: "Lalu kau, Salman, mengapa mau- maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?"

Kemudian Salman menjawab: "Agar jangan sampai dikatakan, dikalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya."

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu. Allahu Akbar! Tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak. "Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu."

Semua orang tersentak kaget. "Kalian..." ujar Umar.

"Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?" Umar semakin haru.

Kemudian dua pemuda menjawab dengan membahana: "Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya."

"Allahu Akbar!" teriak hadirin.

Pecahlah tangis bahagia, haru dan sukacita oleh semua orang.

MasyaAllah..., saya bangga menjadi muslim bersama kita ksatria-ksatria muslim yang memuliakan al Islam dengan berbagi pesan nasehatnya untuk berada dijalan-Nya..

Allahu Akbar !

Sumber : kitab : I'laam al-Naas Bi Ma Waqa'a Lil Bara.
****


Senin, 06 Juni 2016

Alhamdulillaah, Kita Bertemu Lagi Dengan Bulan Ramadhan

Alhamdulillaah, Kita Bertemu Lagi Dengan Bulan Ramadhan    

Alhamdulillaah, tiada putusnya kita memuji Allah atas rahmat dan kurnia-Nya yang telah mengijinkan kita untuk bertemu kembali dengan bulan Ramadhan tahun ini. Artinya kita diberi Allah lagi kesempatan untuk memperbaiki diri kita, untuk melatih dan berusaha menjadi hamba Allah yang bertakwa. Entah kesempatan keberapa  puluh yang sudah kita dapatkan di sepanjang hayat kita. Dan di setiap Ramadhan yang lalu-lalu itupun kita berharap, kiranya diri kita bertambah baik di dalam penilaian Allah Ta'ala.  Meski secara jujur kita harus berani mengakui bahwa boleh jadi nilai kita hanya begitu-begitu saja. Setiap tahun kita lalui suatu periode satu bulan dengan amalan yang nyaris sama tanpa kita pernah mampu mengevaluasinya untuk mengetahui, benarkah kita menjadi orang yang lebih bertakwa dari sebelumnya. 

Suatu saat terjadi tanya jawab antara khalifah Umar bin Khaththab dengan sahabat Ubai bin Ka'ab. Umar bertanya apa maksud dan makna dari takwa. Lalu Ubai balik bertanya, apakah Umar pernah berjalan di suatu tempat yang penuh dengan onak dan duri. Umar menjawab, pernah. Apa yang anda lakukan ketika berjalan di tempat seperti itu, tanya Ubai pula. Saya harus berhati-hati agar tidak tertusuk duri, jawab Umar. 'Nah, seperti itulah yang disebut takwa,' kata Ubai menjelaskan.

Kita selalu diingatkan oleh para ustadz, untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan sebaik-baiknya, dengan seikhlas-ikhlasnya semata-mata karena Allah, agar kita menjadi orang yang bertakwa. Tapi pernahkah kita mencoba mengevaluasi diri kita, apakah target itu tercapai atau tidak. Yakinkah kita bahwa nilai ketakwaan kita meningkat setelah kita selesai menjalankan ibadah bulan Ramadhan? Atau sebaliknya tidak ada peningkatan sama sekali?

Berpuasa (dan melaksanakan ibadah lain) di bulan Ramadhan adalah suatu pelatihan untuk menjadi seorang yang berhati-hati serta jujur di hadapan Allah. Hanya kita sendiri yang tahu apakah kita bersungguh-sungguh dalam berpuasa atau tidak. Bagi orang yang berhati-hati, maka akan seperti orang berjalan di tempat yang penuh dengan onak dan duri. Dia akan menjaga setiap perbuatan, perkataan, penglihatannya dari hal-hal yang mungkin merusak nilai ibadahnya. Dan kalau dia berhasil, dia juga akan berusaha mempertahankan keberhati-hatian tersebut sesudah selesai bulan Ramadhan. Orang-orang seperti itulah yang meraih kemenangan dan derajat takwa. Apakah setiap Muslim yang terpanggil melaksanakan ibadah puasa Ramadhan berhasil meraihnya

Banyak orang yang terjebak dalam melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan seperti menjalani suatu yang rutin tapi miskin dalam penghayatan. Tidak terlihat keberhati-hatiannya. Di bulan Ramadhan, di saat kita melaksanakan puasa, menahan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari,  seharusnya kita bisa berhemat dalam perbelanjaan makanan. Tapi ternyata, di setiap datang bulan Ramadhan, harga-harga bahan pangan meningkat karena permintaan meningkat. Bukannya mengurangi konsumsi, malahan sebaliknya di saat berbuka puasa di waktu maghrib, kita seolah-olah melampiaskan nafsu makan dan minum yang kita tahan di siang hari. Rasanya sulit untuk dikatakan bahwa orang-orang yang berprilaku seperti ini benar-benar berhati-hati dalam melalui Ramadhan untuk meraih predikat takwa.  

Kita sudah berpuluh kali melewatkan bulan Ramadhan. Coba kita tengok ke belakang. Apakah selama ini kita telah berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi orang yang bertakwa. Kalau belum, mudah-mudahan pada kesempatan kali ini kita bisa berubah, ke arah yang lebih baik. 

****                           

Kamis, 02 Juni 2016

Punah

Punah      

Punah artinya pupus alias habis dan tidak ada lagi kelanjutan kehidupan. Dulu menurut penelitian pernah hidup jenis gajah raksasa, mamut namanya. Sekarang sudah tidak ada lagi. Jenis gajah raksasa itu sudah punah. Kelompok manusia adakalanya dikatakan punah. Ada beberapa suku bangsa Indian yang sudah punah di benua Amerika. Penyebab kepunahan bisa bermacam-macam. Misalnya, beberapa suku Indian itu punah karena peperangan yang tidak seimbang dengan bangsa kulit putih dan juga disebabkan oleh wabah penyakit.

Punah yang ingin aku bahas agak berbeda sedikit. Yaitu punah di kalangan suatu kelompok masyarakat di Minangkabau. Orang Minang terbiasa mengungkapkan kata-kata punah di kalangan persukuan mereka. Sebagaimana kita ketahui orang Minang adalah kelompok masyarakat matrilineal. Mereka berhimpun dalam persukuan melalui garis keturunan ibu. Keberadaan anggota keluarga perempuan sangat penting. Sebuah persukuan bisa hilang ketika dia tidak mempunyai anak perempuan untuk melanjutkan keturunan. Seorang wanita yang hanya mempunyai anak laki-laki saja akan langsung merasa bahwa dia 'punah'. Artinya harta pusaka tinggi (harta adat seperti sawah ladang) tidak akan turun kepada anaknya, karena tidak ada anak perempuan.

Lalu kemana perginya harta pusaka adatnya itu? Jika dia mempunyai saudara kandung perempuan yang mempunyai anak perempuan maka kemenakan perempuannya itulah yang akan jadi 'pemilik' harta pusaka tersebut. Kalau tidak ada anak saudara kandungnya, maka anak perempuan saudara sepupu perempuan yang akan mewarisi. Harta pusaka adat itu harus turun ke saudara perempuan yang terdekat meskipun yang ada hanya sepupu.

Aku tertarik menulis ini karena beberapa hari yang lalu seorang saudara sekampung meninggal. Dia ini sering mengulang-ulang pernyataan bahwa dia punah. Dia bersaudara kandung bertiga. Satu orang perempuan yang juga sudah meninggal. Dan kebetulan saudara perempuannya ini tidak punya anak. Maksudnya, dari keturunan ibunya tidak ada lagi perempuan penerus. Walaupun dari sepupunya masih ada anak-anak perempuan.   

Ketidak-adaan kaum perempuan penerus ini bisa benar-benar menghapuskan sebuah persukuan. Sebuah persukuan yang dipimpin oleh seorang penghulu bergelar Datuak, adalah kumpulan dari keluarga-keluarga melalui jalur keturunan ibu. Satu kelompok dengan satu penghulu ini biasa disebut 'sepayung'. Jika kaum perempuan dalam ikatan sepayung ini tidak satupun yang mempunyai anak perempuan untuk melanjutkan keturunan, maka persukuan itupun punah.  

Kalau sebuah suku sampai punah siapa yang mewarisi harta adat anggotanya?  Sama juga, dicari persukuan (sepupu) yang paling dekat, meskipun kedekatannya diperhitungkan dari beberapa generasi terdahulu.

Seperti itulah cerita 'punah' di kalangan orang Minang.

****