Terlakit pula kami berhenti sebentar di pinggir jalan mencicipi durian Kayu Tanam, yang tidak / belum sempat disentuh selama di Bukit Tinggi dan di kampung. Salero..... Durian yang paten sekali rasanya. Tapi karena sekedar mencicipi, mengingat usia pula, cukuplah satu setengah untuk kami berenam. Yang setengah, yang belum ditekuk, ditinggalkan untuk yang punya warung.
Jam setengah sebelas kami sudah berkelok ke arah bandara dari jalan Bukit Tinggi - Padang. Masih banyak waktu. Di simpang menjelang bandara Minangkabau, kami berbelok ke kanan, ke arah Ulakan. Ke arah makam Syekh Burhanuddin. Bukan mau berziarah ke makam tersebut. Kami terus menuju ke arah pantai. Seperti di foto-foto ini. Pantai bersih, dengan laut yang relatif tenang.
Saya teringat bahasan beberapa kanti di miling list RantauNet tentang nostalgia mereka dengan hasil tangkapan ikan oleh nelayan beberapa puluh tahun yang lalu di pantai barat Ranah Minang ini. Ketika tangkapan nelayan yang tidak terlalu jauh pergi melaut tapi berhasil mendapatkan ikan dalam jumlah lumayan banyak. Sekarang semua itu tinggal kenangan. Laut urang Minang sudah banyak kehilangan ikan.
Ikan berkurang jumlahnya karena kesalahan tangan-tangan nakal yang menggunakan bom penghancur karang, yang mematikan ikan sampai ke anak-anaknya. Serta kerakusan pukat harimau yang bertangguk-rapat. Yang menjarah sampai ke anak-anak ikan. Belum lagi nelayan asing yang bersilantas angan. Cukup sudah segala alasan untuk menjadikan makin langkanya ikan di perairan ini.
Pantai ini terlihat indah. Dan bersih. Tidak ada bau anyir ikan hasil tangkapan nelayan. Perahu nelayan yang berbendera itu. Entah untuk apa saja lagi digunakan sekarang.
Ada sebuah warung di tepi pantai tempat kami berhenti siang itu. Ada beberapa orang duduk-duduk di warung itu. Kelihatannya mereka bukanlah nelayan.
Kami sempatkan berfoto-foto di tepi pantai yang elok ini. Yang lautnya masih sama seperti berpuluh tahun yang lalu. Atau beratus tahun yang lalu. Laut yang menghempaskan gelombang ke tepi. Laut yang penuh misteri. Termasuk misteri hilangnya ikan-ikan.
Sebelum ditanyakan oleh yang mungkin bertanya. Kami enam orang dalam rombongan ini. Termasuk dua orang anak bujang, cucu (kakak sepupu) yang menyusul ingin melihat pondok. Dan adikku Nadjib. Dan uda Uf kakak sepupuku itu. Serta istriku. Begitulah......
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar