Rabu, 27 Februari 2013

Demokrasi Kita.....

Demokrasi Kita.... 

Kalau diukur dengan jumlah penduduk, republik kita ini adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sesudah India dan Amerika Serikat. Dan banyak orang Indonesia yang bangga dengan hal itu (seberapa banyak pastinya, aku tidaklah tahu). Negeri kita adalah sebuah negeri demokratis. Sebuah negeri yang pemimpin-pemimpinnya dipilih langsung oleh rakyat. Sejak dari presidennya. Gubernurnya. Walikota atau bupatinya. Terus sampai ke wali nagarinya. Hebat kan?

Dan kita jadi sangat terbiasa dengan setiap pil-pil itu. Pilpres, pilgub dan pilbup alias pilkada. Rasa-rasanya ke belakangan ini kita semakin akrab dengan semua pil-pil yang datang silih berganti itu. Tahu-tahu, kita sudah punya gubernur baru atau walikota baru. Tahu-tahu walikota kita sudah ditangkap KPK. Lho?

Nah, itulah masalahnya. Betapa mengherankan dan mengagumkan biaya demokrasi di negeri kita ini. Biaya untuk mencalonkan diri lalu ikut proses pemilihan walikota konon kabarnya di kisaran puluh sampai ratus M. Hitung sajalah berapa biaya untuk mencalonkan diri jadi gubernur. Kepadaku pernah dijelaskan sepintas oleh seorang teman yang kelihatan memang lebih faham, untuk apa saja kegunaan uang ber M-M itu. Dan aku langsung bisa memahaminya. Ternyata perjalanan kampanye, membuat beribu-ribu spanduk, membagikan beribu-ribu kaos, biaya untuk tim sukses dan entah biaya-biaya apalagi, jelas sangat memerlukan dana yang sangat besar.

Pertanyaan pertama yang muncul di benakku adalah, siapa yang membiayai semua itu? Katanya lagi, bisa dari kantong sendiri (subhanallah.... alangkah kaya-rayanya beliau-beliau ini), bisa disumbang oleh partai (tentu saja nanti kalau ternyata jadi, harus balas jasa kepada partai) dan bisa juga 'dermawan-dermawan' yang pastinya jika si calon menang akan ikut kecipratan kemenangan tersebut. Harus pandai-pandailah membalas jasanya.

Terserahlah dari mana biaya itu datangnya. Yang jadi pertanyaan di benakku, seandainya ternyata kalah.....  Tidak terpilih jadi pak Gub, atau jadi bu Bup atau jadi wak Walkot, padahal sudah berhabis-habis untuk biaya pencalonan. Tidakkah akan terperangah jadinya? Ber M-M hanyut entah kemana? Di pemilihan gubenur sebuah propinsi ada lima pasang calon. Yang empat pasang kalah. Masing-masing sudah menghabiskan sekian M. 

Dan kalau ternyata menang, tentu harus dianggap wajar jika si pejabat baru ini berusaha mengembalikan modal entah dengan cara bagaimanapun. Belum lagi untuk membayar hutang budi baik kepada partai atau kepada sponsor. Maka bertumpuk-tumpuklah keperluan. Dan jadi tidak heran pula kita bahwa sudah cukup banyak para penjabat setingkat gub dan walkot itu yang dicokok KPK.

Bagaimana dengan tugas utama mengurus kepentingan rakyat? Sepertinya banyak yang kedodoran. Yang paling mudah untuk dilihat adalah mutu jalan raya. Jalan yang jadi urat nadi kehidupan orang banyak di kota-kota besar, banyak yang tidak terurus. Begitu pula dengan tumpukan sampah. Begitu pula dengan masalah banjir. 

Akhir sekali timbul pertanyaan lain. Apakah memang seperti ini tujuan demokrasi yang kita banggakan itu?

*****

Selasa, 26 Februari 2013

Tadarus

Tadarus 

Tadarus maksudnya adalah membaca al Quran secara begantian oleh beberapa orang, halaman demi halaman. Biasa juga disebut 'ain demi 'ain. 'Ain ini (dengan huruf arab) adalah tanda di al Quran sebagai pembatas beberapa ayat.  Biasanya dilakukan oleh beberapa orang jamaah di mesjid. Tadarus ini lebih populer di bulan Ramadhan, yang dikerjakan sesudah selesai shalat tarawih. 

Di mesjid di komplek kami tadarus di bulan Ramadhan itu selalu dilaksanakan dari tahun ke tahun. Pesertanya ada bebarapa kelompok. Kelompok bapak-bapak, kebanyakan yang sudah berumur di atas 50 tahun. Lalu kelompok ibu-ibu dan kelompok remaja. Sampai malam ke duapuluh kami bertadarus sampai menyelesaikan satu juz setiap malam. Lalu pada sepuluh malam terakhir bisa sampai lima - enam juz setiap malamnya. Ada beberapa orang jamaah mesjid yang selalu rajin bertahan di mesjid di malam-malam terakhir Ramadhan.

Dari kelompok bapak-bapak itu tidak semua lancar membaca al Quran. Ada yang masih pemula. Masih terbata-bata bacaannya, berbaur saja panjang dengan pendek, bertukar-tukar bunyi huruf. Tapi semangat mereka bolehlah. Namun sayangnya, kebanyakan dari beliau-beliau ini hanya mengaji di bulan puasa saja. Karena dari tahun ke tahun tidak banyak perubahan. Masih tetap terpeloh-peloh

Sejak beberapa bulan yang lalu, kami lakukan pula tadarus di luar Ramadhan sekali seminggu, setiap malam Jum'at. Tujuannya untuk melatih dan memperbaiki bacaan bagi yang masih belum lancar.   

Di tempat aku bekerja sekarang, kami juga bertadarus setiap hari Senin sesudah shalat zuhur. Meski pesertanya tidak banyak, hanya sekitar delapan orang saja. Dan di kantor itu ada seorang ustadz, hafidz al Quran yang memimpin tadarus. 

Mudah-mudahan kita sanggup meningkatkan keakraban dengan al Quran..... 

*****                          

Sabtu, 23 Februari 2013

Mumbang Jatuh Kelapa Jatuh

Mumbang Jatuh Kelapa Jatuh

Apa yang dapat anda katakan ketika diberitahu bahwa seorang ibu muda, umur 33 tahun, punya anak tiga, sedang hamil tujuh bulan anak ke empat, pergi berjalan-jalan ke mall dengan suami dan anak-anaknya untuk berbelanja keperluan si anak-anak. Lalu, setelah selesai dengan urusan belanja menuju pulang. Dalam perjalanan pulang itu mengeluh sakit dada, lalu langsung dibawa singgah ke rumah sakit oleh suaminya. Dalam bilangan menit kemudian ternyata dipanggil Allah. Apa yang akan anda katakan selain innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun

Memang begitulah yang terjadi dengan seorang warga komplek kami sore kemarin. Mumbang jatuh kelapa jatuh. Yang muda meninggal yang tua meninggal. Bahkan bayi orok dalam kandungan si ibu muda itu pun ikut dengan ibunya.  Aku mendengar berita itu sesudah shalat maghrib sore kemarin di mesjid.  Hampir tidak percaya rasanya. Tapi mana ada perlu 'rasa-rasanya' dalam hal ini. Kalau Allah berkehendak, itulah yang terjadi.

Ada saja keterangan para dokter untuk sekedar menjelaskan bagaimana kejadian kematian itu dilihat dari ilmu kedokteran. Tapi itu hanya sekedar untuk penambah-nambah saja. Yang sudah pergi tidak akan mungkin kembali lagi. Ada memang keterangan tambahan, bahwa dia ini punya riwayat penyakit begini-begitu. Bahwa dia anak anak dari ayahnya yang dulu juga meninggal secara mendadak karena penyakit begini-begitu.

Sedih aku mengingat nasib anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Kebetulan seumur dengan cucu-cucuku. Bahkan anak pertamanya juga kembar seperti cucu pertamaku. Lalu ada adiknya, perempuan hampir seumur pula dengan adik dari cucu kembarku. Entah bagaimanalah perasaan anak-anak kecil itu ketika mengetahui kepergian ibu mereka seperti itu. Menetes air mataku mengingatnya.

Tapi semua itu ada dalam kekuasaan Allah. Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa dengan apa yang dilakukan-Nya. Aku yakin Allah akan menjaga dan memelihara ketiga anak-anak piatu itu. Allah adalah Yang Maha Memelihara.

Tulisan ini untuk ke sekian kalinya menyinggung tentang kematian di blog ini. Tentang kematian yang kadang-kadang datang tanpa disangka-sangka. Karena memang tidak perlu disangka-sangka. Dia pasti datang. Dan dia akan datang dengan cara yang telah ditetapkan Allah. Yang kita, makhluk Allah yang masih hidup tidak mengetahui  kapan, dimana, dengan cara apa dia akan menjemput kita. Maka yang sebaik-baiknya tentulah mempersiapkan diri menyambut kedatangannya itu.

Mumbang jatuh kelapa jatuh.  Dan kita pasti kembali kepada-Nya. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun......

*****                                                        

Jumat, 22 Februari 2013

Jajanan Keliling

Jajanan Keliling

Masyarakat kita adalah masyarakat suka jajan. Banyak pedagang jajanan biasa berkeliling di mana-mana, termasuk di komplek-komplek perumahan. Sejak dari pagi buta sampai jauh malam. Macam-macam dagangan mereka, mulai dari roti dan bubur ayam di pagi hari, bakso, gado-gado dan cendol di siang hari, siomai, empek-empek dan otak-otak di sore hari, sate (Padang) dan nasi goreng di malam hari. Ada yang dengan gerobak dorong, ada pula yang dengan sepeda atau sepeda motor. Untuk menjajakan dagangan mereka ada yang berteriak asli dengan mulut sendiri, ada yang menggunakan rekaman yang diputar berulang-ulang dan ada pula dengan bunyi-bunyian yang khas. 

Di antara sebanyak itu, ada seorang tukang cendol yang biasa berdagang di komplek tempat aku tinggal. Usianya sekitar tiga puluhan. Sudah cukup lama dia berdagang keliling seperti ini, mendorong sebuah gerobak yang di antara perlengkapannya adalah sebuah bejana besar berisi cendol beras berwarna hijau. Yang menarik darinya adalah bahwa dia sering mampir di mesjid kami untuk shalat berjamaah di waktu zuhur.  

Apa hubungannya dengan dia rajin mampir shalat? Hubungannya adalah, mudah-mudahan dia seorang yang benar-benar pedagang. Seorang pedagang yang amanah. Warna cendol berasnya adalah warna hijau daun pandan. Bukan warna hijau pewarna. Peralatannya, sejak dari gerobak dagangannya terpelihara kebersihannya. Tidak ada was-was kita untuk sekali-sekali ikut jajan membeli segelas cendolnya.

Pedagang jajanan sekarang ada yang perlu dicurigai. Apalagi sejak marak berita tentang bakso yang menggunakan dagingan oplosan dari daging babi. Sebuah kenyataan yang sangat pahit untuk umat Islam karena dipecundangi oknum pedagang dengan cara licik seperti itu. 

Pekerjaan mengoplos yang bermaksud menipu ini ternyata bukan hanya itu. Berbagai macam tipuan dilakukan oleh pembuat makanan jajanan kelas bawah. Seperti menggunakan pewarna dari zat kimia berbahaya. Mengunakan boraks, menggunakan formalin. Bahkan konon, ada yang menggunakan cairan plastik untuk gorengan agar tidak melempem.  Kita tidak tahu bagaimana cara melindungi masyarakat banyak, terutamanya kelas bawah, dari  ancaman penipuan seperti ini. Karena resikonya jelas sangat tinggi. Pengkonsumsinya bisa keracunan. 

Perlu sangat berhati-hati memilih jajanan......

*****                                      

Sabtu, 16 Februari 2013

Mengukur Bayang-bayang Sepanjang Badan

Mengukur Bayang-bayang Sepanjang Badan

Inilah sebuah ungkapan bijak yang sangat perlu diamalkan kalau kita mau jujur dan selamat dalam kehidupan. Selamat untuk dunia dan akhirat, insya Allah. Pandai menghitung diri. Mengenali keadaan diri kita sendiri dengan sebenar-benarnya. Dengan wajar. Agar tidak over estimate dan tidak pula under estimate terhadap diri sendiri. Tidak merasa bahwa awak sudah sangat 'wah'. Padahal 'wah' nya awak penuh dengan cacad dan kekurangan. Sebaliknya, tidak pula merasa terlalu kecil dan hina di tengah kumpulan orang-orang biasa yang dengannya kita bergaul sehari-hari.

Kenapa mesti bayang-bayang yang sepanjang badan? Karena bayang-bayang itu bisa jauh lebih panjang dan sebaliknya bisa jauh lebih pendek dari badan. Bayang-bayang yang lebih panjang itu jelas menipu. Dia masih mirip dengan badan. Ada kepala, ada tangan, ada kaki dan sebagainya, tetapi ukurannya sudah dimanipulasi. Sudah tidak sesuai dengan ukuran. 

Maksud dari ungkapan ini adalah, agar dalam mengukur diri, hendaklah disesuaikan dengan kemampuan. Dalam hal apa saja. Beramal hendaklah disesuaikan dengan kemampuan.... dan disesuaikan dengan ilmu. Berbuat sesuatu hendaklah disesuaikan pula. Apa lagi dalam berbelanja. Jangan sampai kita melakukan yang diluar kemampuan.

Dengan kecanggihan teknologi, dengan kemudahan-kemudahan semu kehidupan moderen, kita bisa lupa, tidak lagi mengukur bayang-bayang sepanjang badan. Disangka awak masih banyak cadangan uang, karena kemudahan dengan penggunaan kartu kredit, ternyata rekening di bank sudah kosong. Betapa bahayanya yang demikian. Salah-salah akan jadi sasaran penagih hutang yang sangar-sangar.

Tidak pandai mengukur bayang-bayang bisa berakibat fatal. Dalam mempergunakan uang, kalau kita tidak pandai-pandai memperkirakan, bisa besar pasak dari tiang. Besar pengeluaran dari penghasilan. Tentu yang akan merasakan akibatnya adalah diri sendiri juga. Pada saat terlibat dengan hutang. 

Tidak pandai mengukur tenaga dalam bekerja bisa berakibat salah urat. Atau keseleo. Disangka akan mampu mengangkat beban berat, tidak diperhitungkan kemampuan, lalu main angkat saja.

Maka kenalilah diri kita. Pandai-pandai mengukur diri. Pandai-pandai mengukur bayang-bayang....

*****                                         

Minggu, 10 Februari 2013

Bahaya Fitnah

BAHAYA FITNAH


Al Ust. Drs. Ahmad Sukina

Dalam sejarah Islam terkenal sebuah kisah besar tentang fitnah yang menimpa ‘Aisyah RA istri Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, yang telah diftnah berbuat selingkuh dengan salah seorang shahabat bernama Shafwan bin Mu’aththal. Orang-orang munafiq menghembuskan fitnah itu dalam rangka mendiskreditkan keluarga Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan menyebarkan fitnah itu mereka berharap bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam beserta keluarganya akan kehilangan kepercayaan dari kaum muslimin. Kepercayaan adalah pintu kesetiaan, kesetiaan adalah pintu untuk mendapatkan dukungan dan dukungan adalah pintu untuk meraih keberhasilan. Maka untuk menggagalkan dukungan dari kaum muslimin, orang-orang munafiq menebarkan fitnah untuk menghilangkan kepercayaan kaum muslimin kepada Rasulullah dan keluarganya.

Begitu besarnya bahaya fitnah tersebut terhadap kelangsungan dakwah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, maka Allah merasa perlu membersihkan nama ‘Aisyah dengan menurunkan beberapa ayat-Nya, QS. An-Nuur : 12

لَوْلا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِينٌ

“Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata”. Juga firman Allah yang artinya, “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar”. [QS. An-Nuur : 15-16]

Allah juga menandaskan bahwa fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan [QS Al Baqarah : 191].

Bermula dari fitnah keluarga bisa bubrah dan persatuan umat bisa terbelah. Berangkat dari fitnah perang antar negara bisa pecah. Amerika Serikat pernah menyebarkan fitnah bahwa regim Saddam Hussein memproduksi dan menyimpan senjata pemusnah massal.

Begitu intensifnya pemberitaan itu, sehingga masyarakat internasional mempercayai dan memberikan legitimasi bagi AS untuk menyerang Irak. Puluhan bahkan mungkin ratusan ribu nyawa melayang karena fitnah itu. Untuk itu Allah mengancam orang yang menyebarkan fitnah terhadap orang-orang beriman dengan adzab yang membakar di dalam neraka Jahannam, kecuali kalau mereka bertaubat [QS. Al-Buruj : 10] bila tidak bertaubat maka mereka akan memperoleh balasan sesuai dengan  konstribusinya dalam penyebaran fitnah tersebut. Mereka yang paling intens dalam menyebarkannya akan mendapatkan adzab yang besar. [QS. An-Nuur : 11].

Diantara sesama orang beriman harus tumbuh sikap saling mempercayai. Dia tidak suka mendengar berita kejelekan atau kejahatan orang beriman yang lain, sebagaimana dia tidak suka kalau dirinya diberitakan seperti itu juga. Dia akan senantiasa khusnudhon terhadap sesama saudara seiman.

Seandainya tersebar berita bohong atau fitnah terhadap orang beriman, dia tidak akan mempercayainya.  Di dalam hatinya ada bisikan: “Orang beriman itu tidak mungkin berbuat jahat“. Kalau jahat pasti dia bukan orang beriman. Kalau orang beriman kok diberitakan berbuat jahat, maka beritanya itu yang perlu dibuktikan kebenarannya dulu. Maka dalam Islam dikenal istilah tabayyun, mencari penjelasan tentang kebenaran suatu berita. Perlu dilakukan check and recheck terhadap kebenaran suatu berita, kalau perlu cross check agar terungkap kebenaran yang sesungguhnya. Sehingga informasi yang masuk tidak salah, dan keputusan yang diambil tidak mendatangkan mushibah, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. Al-Hujuraat : 6,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu mushibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Semoga Allah selamatkan kita dari fitnah dan berbuat fitnah. ***

Al-Ustadz  Drs. Ahmad Sukina
 

Ketua Umum Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA)

Jumat, 08 Februari 2013

Antara Rezeki Dan Keberkahan

Antara Rezeki Dan Keberkahan
 
Tersebutlah kisah seorang artis. Terbingung-bingung orang memperhatikan banyak dan mudahnya baginya mendapatkan rezeki. Tidak terlihat dia sebagai pekerja keras. Tidak terlihat keahliannya yang khusus. Rasanya, segala sesuatu pada dirinya biasa-biasa saja. Tapi rezekinya melimpah ruah. Demikianlah kalau Allah akan memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Ini sebuah contoh sederhana. Ada juga orang yang memang punya keahlian khusus. Dijualnya keahliannya itu. Kemudian banyak rezekinya mengalir dengan sebab kemampuannya tersebut. Disebabkan keahliannya itu. 

Dalam skala yang agak berbeda, ada suatu negeri yang diberikan oleh Allah banyak sekali rahmat. Banyak sekali pemberian. Baik yang keluar dari lautnya maupun dari perut buminya. Yang menjadikan negeri itu sangat makmur. Meskipun kemarin-kemarin negeri itu dikenal sebagai sebuah negeri kumuh dan terkebelakang saja. Begitulah kalau Allah berkehendak.  

Namun, ada perbedaan mencolok antara rahmat atau pemberian Allah dengan keberkahan yang juga datang dari Allah. Ada dan sering terlihat, sesuatu yang melimpah ruah itu ternyata tidak diiringi oleh keberkahan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kesusahan. Kehinaan. Penderitaan. Ada orang kaya. Apa yang tidak bisa dibelinya. Apa yang tidak mungkin dicapainya. Karena uangnya melimpah ruah. Tapi ternyata kenikmatan yang diberikan kepadanya sangat sedikit. Makan tidak bisa sembarang makan karena penyakitnya menyuruh banyak sekali berpantang. Pergi tidak bisa sembarang pergi karena bepergian dan berkendaraan membawa derita luar biasa baginya. 

Kita ambil lagi contoh seorang pesohor. Berlindak-lindak uang masuk. Semua gerakannya, semua bagian tubuhnya bisa dinilai dan menghasilkan uang. Macam-macam yang dibelinya dengan uangnya yang banyak itu. Sampai suatu saat dia mengkonsumsi barang yang membawa mudharat teruk kepada dirinya. Tiba-tiba berubah suasana serba mudah dan rezeki melimpah tadi itu. Sepertinya rezeki yang banyak itu tidak disertai keberkahan dari Allah.

Timbul pertanyaan. Bilakah keberkahan itu diberikan Allah? Nah inilah jawaban Allah di dalam surah Al A'raaf (surah ke 7) ayat 96; 'Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, sesungguhnya Kami bukakan keberkahan kepada mereka dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami. Lalu Kami siksa mereka karena perbuatan mereka.' 

Sangat gamblang dan jelas. Sejelas kedaan negeri kita yang subur dan kaya dengan laut luas dan beragam isinya. Berlimpah ruah rezeki. Tapi dikurangi Allah keberkahan karena tingkah laku dan perbuatan 'kita'. Seandainya saja kita mengambil pelajaran dari hal yang demikian.

*****                                                                                                      

Jumat, 01 Februari 2013

Jangan Berburuk Sangka



Jangan Berburuk Sangka!

(Dari Republika)



Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap semua orang. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mengutus Umar untuk menarik zakat, tetapi Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas paman Rasulullah tidak menyerahkan (zakat). 

Sehingga beliau bersabda, "Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat, kecuali karena dia fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya." "Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu." (HR Bukhari dan Muslim).



Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperingatkan umat Islam agar menjauhi prasangka buruk. "Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian menyadap (pembicaraan kaum), memata-matai mereka, berlomba-lomba (dalam hal yang tidak baik), saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).



Al-Hafidz mengatakan bahwa Khaththabi berpendapat bahwa yang dimaksud prasangka dalam hadis tersebut adalah benar-benar prasangka, bukan sesuatu yang terlintas dalam benak pikiran, sebab hal itu di luar kemampuan seseorang. Prasangka yang dimaksud oleh Khaththabi adalah prasangka yang menetap dalam hati. Lintasan hati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia. "Allah mengampuni prasangka yang terlintas dalam hati manusia selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya." (HR Bukhari dan Muslim).



Qurthubi mengatakan, yang dimaksud dengan prasangka (yang terlarang) adalah tuduhan tanpa alasan. Misalnya menuduh seseorang melakukan zina tanpa ada bukti nyata. Karena itu, kata azh-zhann dalam redaksi hadis ini, dihubungkan dengan larangan untuk memata-matai orang lain. Jika seseorang memiliki sedikit prasangka yang mengarah pada tuduhan di dalam hatinya, ia akan berupaya untuk mewujudkan tuduhan itu. Dia akan mencari-cari kesalahan orang yang dituduh dengan memata-matainya. Karena, langkah-langkah itu dilarang agama.



Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha

Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS al-Hujurat: 12).



Dalam kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini banyak kejadian yang bersifat prasangka dan tuduhan di antara sesama warga (su'uzhon). Padahal, berbagai persoalan tersebut memerlukan penelitian, klarifikasi (tabayyuni) sehingga duduk persoalan jelas dan kita dapat menyikapinya dengan bijaksana agar tidak menyalahkan orang lain.



Karena itu, kearifan dari berbagai pihak khususnya para tokoh dan pemimpin  masyarakat merupakan sikap Nabi yang selalu husnuzhan dalam menyikapi berbagai persoalan sehingga masalah menjadi cair, jernih, dan sejuk dan akhirnya persoalan dapat diselesaikan dengan damai dan adil. 

Wallahu 'alam.