Selasa, 31 Maret 2015

Gulai Kapalo Ikan

Gulai Kapalo Ikan

Kalau anda masuk ke restoran masakan Minang (lebih populer dengan nama Rumah Makan Padang), anda akan menemui salah satu menunya gulai kapalo ikan. Ada bermacam-macam kepala ikan berukuran besar yang bisa digulai, tapi biasanya yang lebih populer adalah kepala ikan kakap merah. Biasanya sebelah kepala yang ukurannya sepenuh piring makan (piring besar, berbeda dengan piring-piring kecil tempat lauk lainnya). Harganya juga 4 sampai 5 kali lipat harga satu potong lauk lain, apakah itu ayam, rendang, tunjang atau ikan lain. Jadi memang cukup mahal.

Gulai kepala ikan yang sempurna pengerjaannya memang sangat nikmat. Sempurna dalam arti, ikannya segar, bumbu-bumbunya terasa dan dimakan ketika masih panas. Semua bagian kecuali tulangnya sangat lezat, bagi yang menggemari gulai kapalo ikan. Karena ternyata memang tidak semua orang bisa menikmatinya. Bahkan ada temanku yang kaget dan tercengang (bercampur geli) ketika melihat kepala ikan dengan mata dan gigi-gigi seperti gambar di sebelah. Dan dia tidak berani memakannya. 

Di dekat kantor di Kuningan tempat aku bekerja dulu ada sebuah restoran rumahan dikelola sepasang suami istri. Istrinya pintar memasak. Gulai kepala ikannya sangat enak. Namun suatu hari terjadi 'kecelakaan'. Gulai kepala ikan itu bermasalah karena ikannya tidak segar. Waktu melewati kuali besar yang memang diletakkan dekat pintu masuk restorannya, aku sudah merasa bahwa bau gulai ikan itu kurang pas. Dan ternyata benar. Aku beritahukan kepada si ibu restoran, dan dia minta maaf. Memang tadi waktu dibeli di pasar sudah terlihat kurang segar. Oleh si ibu itu disiram dulu dengan air panas sebelum dimasak. Tidak tertolong. Akhirnya gulai sekuali itu terpaksa disingkirkannya. Rugi besar dia hari itu.

Aku bukan hanya penikmat gulai kepala ikan, tapi juga bisa memasaknya. Di awal tahun 2000an aku bertugas beberapa bulan di Balikpapan. Tinggal di hotel. Ada teman kerja yang tinggal di rumah bujangan. Karena aku sering bercerita bahwa aku bisa memasak, suatu hari aku ditantangnya untuk mencoba memasak di rumahnya. Kami pergi berbelanja ikan segar dan bumbu-bumbunya ke pasar. Dan aku mengolahnya. Hasilnya, alhamdulillah perfect. Teman itu menghadiahkan sepotong gulai ikan dengan kuahnya (bukan kepalanya) ke tetangganya, geologist perempuan, yunior kami. Si yunior ini berkali-kali mengucapkan terima kasih. Saking enaknya, ketika sepotong ikan sudah dimakan dan kuahnya masih ada, dia masukkan telur rebus ke dalam kuah tersebut. Masih enak katanya. Setiap kali bertemu sesudah itu dia mengulang-ulang kenangannya dengan gulai ikan.   
                                                
Balikpapan memang surga untuk ikan laut segar. Kalau kita datang pagi-pagi, ikan kakap besar-besar dan masih segar tersedia sangat banyak di pasar Kelandasan.  Ketika anak dan menantu kami masih di Balikpapan tahun-tahun yang lalu, di rumahnya pernah pula aku masak gulai kepala ikan. 

Gulai kepala ikan kakap sepertinya memang khas masakan Minang. Orang Bugis Makassar biasa pula memasak kepala ikan. Aku pernah mencoba masakan seperti ini di Nunukan. Tapi berbeda rasanya.   

Kepala ikan sepertinya tidak dimakan oleh orang-orang Eropah dan Arab. Kita bisa  menemukan video di Youtube, bagaimana mereka mengambil bagian daging (filet) ikan dan membuang sebagian besar dari ikan itu, termasuk kepala dan kulitnya. 

Ada cerita seorang teman yang pernah bekerja di Abu Dhabi, ketika dia meminta kepala ikan kakap yang sudah dibuang ke tong sampah. Penjual ikan itu menanyakan untuk apa. Teman ini terpaksa mengatakan untuk kucing. Aku tidak tahu apakah orang Cina dan orang Jepang juga membuang kepala ikan.  

(Gambar-gambar ini aku dapatkan di Google dengan meminta  gambar 'gulai kepala ikan'. Mohon maaf kepada pemilik foto.)

*****

Minggu, 29 Maret 2015

Terperangah

Terperangah  

Aku ikut terperangah dengan keputusan-keputusan pemerintah sekarang. Biasanya aku malas berkomentar tentang pemerintah, politik dan orang-orang politik. Bahkan ketika terjadi debat di dunia maya atau di dunia nyata antara pendukung kelompok yang satu dengan yang lain, aku tidak pernah mau ikut. 

Aku terperangah ketika pemerintah menaikkan lagi harga bensin. Bensin premium dari Rp 6800 menjadi Rp 7300. Pertamax dan pertamax plus bahkan sudah lebih dulu menaikkan harga. Terperangah karena ini dilakukan ketika harga minyak dunia bertahan di sekitar US$ 50 per barrel. Lalu wakil presiden dengan enteng mengatakan bahwa harganya dinaikkan sesuai dengan nilai rupiah yang merosot dibandingkan dollar Amerika. Lho, kok begitu? Yang seharusnya menjaga agar nilai rupiah tidak merosot itu bukannya pemerintah? Seandainya suatu ketika nanti harga minyak mentah dunia naik lagi ke paras di atas US$ 100 per barrel, entah berapa harga premium akan dijual pemerintah. 

Yang repotnya bagi masyarakat awam, setiap kali harga BBM dinaikkan ongkos transport seperti bus, angkot dan taksi secara otomatis dinaikkan oleh pengusaha angkutan. Ketika harga BBM turun ongkos transport tidak pernah turun. Lalau ketika BBM kembali naik harganya, ongkos transport ini naik lagi. Dan setiap kali ongkos transport naik, barang-barang keperluan sehari-hari ikut naik. Hal seperti ini yang benar-benar menyakitkan bagi masyarakat. Pemerintah seolah-olah menutup mata dengan kenyataan ini.

Pemerintah kita tidak pernah menjelaskan secara rinci berapa sebenarnya biaya yang diperlukan untuk mendapatkan satu liter bensin. Dengan membandingkan harga jual bensin di negara kita dengan harga bensin di Malaysia misalnya kita tahu bahwa kita telah membayar lebih mahal untuk satu liter premium (RON 88) di sini dibandingkan dengan bensin RON 95 di Malaysia. Padahal Malaysia juga mengatakan bahwa mereka tidak lagi memberi subsidi dalam penjualan bahan bakar minyak. Banyak pendapat mengatakan bahwa saat ini justru pengguna BBM yang mensubsidi pemerintah.

Alasan pemerintah lagi, seperti pernyataan bapak wakil presiden, karena mereka membutuhkan banyak dana untuk membangun. Bolehkah hal ini dijadikan alasan untuk menaik-naikkan harga? Bukan saja harga BBM untuk kendaraan bermotor yang dinaikkan, tetapi termasuk gas yang diperlukan rumah tangga untuk memasak, tarif listrik dan sebagainya. Sepertinya pemerintah benar-benar membebankan segalanya kepada rakyat, sementara rakyat semakin tercekik dalam kesulitan hidup, dengan penghasilan yang terbatas. 

Aku terperangah membaca pernyataan pejabat pemerintah bahwa yang tidak sanggup membayar pajak bumi bangunan, maka tanahnya akan disita. Wadduh..... Ini kita hidup di jaman penjajahan atau bagaimana? 

Aku terperangah karena keadaan sungguh sangat memprihatinkan.......

****
                                             

Rabu, 25 Maret 2015

Masuk Islam Karena Melihat Shaf Kaum Muslimin (Dari Islampos)

Masuk Islam Karena Melihat Shaf Kaum Muslimin

Rabu 9 Rejab 1433 / 30 Mei 2012 08:12


kabah

DALAM sebuah tayangan acara televisi  di Saluran TV Majd, “Satu Keluarga”, Dr. Yahya sebagai penceramahnya kala itu, dengan lantang mengatakan bahwa umat Muslim itu memang tidak pernah teratur, dan yang dibutuhkan umat Muslim adalah satu keyakinan untuk dapat melakukan suatu aksi.

Lantas beliaupun menceritakan satu kisah seseorang Amerika Non-Muslim yang memperbincangkan tentang Islam seraya menyaksikan sebuah program Live (siaran langsung) di sebuah channel lain.

Seorang warga Amerika merasa sangat kagum dengan dengan kerumunan orang-orang di Masjidil Haram. Ada lebih dari 3 Juta orang pada waktu itu yang berkumpul untuk shalat Isya di malam terakhir bulan Ramadhan. Kondisinya sangat ramai dengan kerumunan orang-orang yang saling hilir mudik tidak beraturan.

Lalu Dr Yahya bertanya kepada orang Amerika tadi: “Menurut Anda, berapa lama waktu yang dibutuhkan supaya orang orang itu bisa baris dengan rapi?”

Orang Amerika itupun menjawab: “Dua sampai tiga jam.”

Dr Yahya menyatakan: “Itu Masjidil Haram mempunyai 4 tingkat.”

Si Amerika pun menjawab: “Kalau begitu butuh waktu dua belas jam.”

Sang Da’i pun kembali menjelaskan: “Mereka yang Anda lihat di TV itu datang dari negara berbeda dan  juga berbeda bahasa antara satu dengan yang lainnya.”

Kembali orang Amerika itu menyanggah: “Wah, kalau begitu mereka sama sekali tidak mungkin bisa dibariskan.”

Akhirnya waktu shalat itupun tiba dengan tanda bunyinya suara Iqamah. Tampak Sheikh Abdur-Rahman as-Sudais (Imam Besar Masjidil Haram) berdiri di posisi paling depan seraya berkata : “Istawuu,” yang artinya “Luruskanlah shaf / barisan kalian masing-masing”.

Maka berdirilah jutaan jama’ah tersebut dalam shaf-shaf atau barisan yang tersusun menjadi rapi, dan membutuhkan waktu tidak lebih dari dua menit.

Warga Amerika tadi terperanjat dengan argumennya sendiri yang dipatahkan oleh kenyataan yang ada di depannya. Dipandanginya layar TV sejenak, dan kemudian ia mengucapkan syahadat.

[sa/islampos/facebook]

****

Senin, 23 Maret 2015

Harimau Mati Meninggalkan Belang......

Harimau Mati Meninggalkan Belang.....  

Ada pepatah mengatakan; 'Harimau mati meninggalkan belang - Gajah mati meninggalkan gading.' Sebenarnya permainan kata-kata dalam pepatah ini agak kurang pas. Ketika harimau mati ditembak pemburu yang telah dipesan oleh si pengawet, barangkali barulah harimau meninggalkan belangnya karena diawetkan. Tapi kalau dia mati terkapar karena tua di tengah rimba, tidak berapa lama sesudah itu kulit belangnya akan hancur melebur dengan tanah. Kalau untuk gajah, mungkin benar. Setelah gajah mati di tengah rimba raya, gadingnya masih akan bertahan untuk jangka waktu lebih lama. 

Tapi bukan urusan harimau atau gajah mati itu yang jadi cerita. Makna dari pepatah tadi itu adalah bahwa ketika 'orang besar' mati maka dia akan meninggalkan nama. Siapa itu orang besar? Ya, orang  besar menurut penilaian manusia, yang telah berjasa kepada orang banyak. Mungkin seorang raja. Mungkin seorang presiden. Atau seorang menteri. Seorang pahlawan perang. Atau pejabat penting lainnya. Atau orang ternama. Seperti mubaligh besar. Ketika beliau-beliau ini meninggal, biasanya namanya akan dikenang orang. Selama jasa-jasanya memang lebih menonjol dibandingkan kekeliruannya selama masih hidup.  

Karena ada saja raja, atau presiden yang dilupakan orang karena yang ditinggalkannya hanya kenangan buruk. Entah karena kezalimannya. Atau kesewenang-wenangannya.

Tadi pagi seorang mantan perdana menteri Singapura meninggal. Lee Kwan Yew yang pernah menerajui negara pulau itu selama lebih dari 30 tahun. Dalam usia cukup sepuh, 91 tahun. Lee Kwan Yew telah berbuat sangat banyak untuk memakmurkan Singapura. Negara kecil itu merupakan salah satu kota penting pusat perdagangan di dunia. Pulau yang tadinya tidak terlalu menonjol, di bawah pemerintahan Lee berganti rupa dengan sangat pesat. Singapura jadi indah, moderen dan teratur.

Ada yang mengatakan bahwa Lee Kwan Yew berkuasa dengan tangan besi. Entahlah kebenaran dugaan itu. Cuma yang kelihatan adalah bahwa dia berhasil menegakkan disiplin untuk menjaga kerapihan Singapura. Pelanggaran terhadap peraturan pemerintah diberi sangsi dengan denda uang atau dimasukkan ke penjara. Anda tidak bisa membuang sampah sembarangan. Atau meludah, atau membuang puntung rokok sesuka hati. Semua ada sangsi denda atau kurungan. Dan hal itu diterapkan dengan sungguh-sungguh, sehingga orang takut melanggar. 

Yang cukup mengagumkan, aturan-aturan yang dimulainya bisa bertahan meski dia tidak lagi menjadi orang berkuasa. Penggantinya tinggal meneruskan kebijakan yang dirintisnya. Hal yang agak berbeda dengan kita. Ada kota di Sumatera ketika dipimpin oleh walikota A selalu mendapat predikat kota terbersih. Tapi begitu walikota diganti, kebersihan kota kembali jadi centang parenang.

Sepertinya Lee Kwan Yew adalah seorang yang setelah mati akan meninggalkan namanya, untuk dikenang oleh banyak penduduk Singapura.

****                                                    

Jumat, 20 Maret 2015

Tersinggung

Tersinggung  

Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, memang sangat mudah bagi kita untuk saling bersinggungan. Saling salah pengertian dan bahkan meningkat menjadi salah sangka yang akhirnya jadi saling tidak merasa nyaman. Bahkan bisa menjadi saling bermusuhan. Sesuatu yang dimulai dengan hal-hal kecil dan sepele. Kadang-kadang bisa diawali dengan 'salah melihat' lalu digertak oleh seseorang yang merasa dilihat dengan mengatakan; 'apa lo lihat-lihat!' yang tentu saja diiringi dengan mata melotot. Dan kalau dilayani bisa berlanjut lebih fatal, katakan dengan perkelahian. 

Dua orang sahabat karib, bisa bubar persahabatan mereka karena tersinggung. Misalnya si Fulan terlupa memberi tahu sahabatnya si Falun tentang sesuatu hal yang menurut yang terakhir ini dia sepantasnya diberi tahu. Ketika menyadari bahwa dia tidak diberi tahu, dia lalu tersinggung. Ketersinggungannya disampaikannya ke pada sahabatnya si Fulan dengan perasaan marah. Dia merasa disepelekan. Nah, kalau si Fulan merasa bahwa kealpaannya itu merupakan sesuatu yang sepele, yang tidak perlu dipermasalahkan, si Falun justru akan semakin kesal. Dan akhirnya retaklah persahabatan mereka.

Kita memang tidak mungkin terbebas dari saling bersinggungan dengan orang lain, baik disengaja ataupun tidak. Permintaan maaf adalah jalan keluar yang paling baik dalam menyelesaikan kesalahpahaman dan ketersinggungan. Seandainya kita terlanjur menyinggung perasaan seseorang, lalu kita sadar atas keteledoran tersebut, maka cepat-cepatlah minta maaf. Begitu pula, jika kebetulan ada orang lain yang minta maaf kepada kita karena dia terlanjur menyinggung perasaan kita, sebaiknya segeralah dimaafkan. Karena kalau tidak, setan akan merayu-rayu agar masalah itu tidak dibiarkan selesai begitu saja. Kalau bisikan setan yang lebih kita dengarkan, maka urusan kecil akan berobah menjadi besar. 

Ada saja orang yang pantang tersinggung. Orang yang 'tasinggung labiah bak takanai'. Tersinggung sedikit tapi merasa seolah-olah telah dipukul. Sifat seperti ini adalah sifat kekanak-kanakan. Anak-anak kecil biasanya yang berprilaku seperti itu. Dan hal ini bukanlah sifat yang terpuji.  

Mudah-mudahan Allah menunjuki kita agar menjadi orang yang bijak, yang tidak mudah menyinggung perasaan orang lain. Dan menjadikan kita orang yang berlapang dada dan pemaaf. Aamiin.

****

                                                    

Minggu, 15 Maret 2015

Sujud Tilawah

Sujud Tilawah   

Di dalam al Quran ada 15 ayat pada beberapa surah yang berbeda, yang ketika mendengar atau membacanya disunahkan untuk sujud sambil membaca; Sajada wajhiya lilladzi khalaqahu wa shuwwarahu washaqqa sam'ahu wa basharahu bihauwlihi wa quwwatihi, tabaarakallaahu ahsanal khaaliqiin..  (Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang membentuknya, yang membentuk pendengaran dan penglihatannya dengan kuasa dan kekuatan-Nya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta). Ke 15 ayat itu disebut sebagai ayat-ayat sajadah.  Kalau kita sedang membaca al Quran sendirian, sampai kepada ayat-ayat tersebut, atau ketika kita sedang menyimak bacaan seseorang, lalu dia sampai kepada ayat yang sama, maka sunah hukumnya untuk sujud. Sujudnya dilakukan dengan spontan, tanpa komando dari siapapun.

Begitu pula jika imam membaca ayat-ayat sajadah itu dalam shalat, disunahkan untuk sujud dengan komando imam. Sujud ini disebut sebagai sujud tilawah. Dikatakan dengan komando imam, para makmum ikut sujud jika imam melakukan sujud. Tetapi jika imam tidak sujud, meski makmum mengetahui bahwa imam shalat membaca salah satu ayat sajadah, makmum tidak boleh sujud sendiri karena dengan demikian dia jadi tidak mengikuti imam.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca surah Sajadah (surah ke 32) pada shalat subuh di hari Jum'at. Ayat ke 15 dari surah ini adalah ayat sajadah. Dan tentu saja disertai dengan sujud tilawah. Sesudah sujud (tilawah) imam kembali berdiri dan melanjutkan bacaan surah yang sama sampai akhir sebelum rukuk pada rakaat pertama. Pada rakaat kedua, sesudah membaca alfatihah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surah Al Insaan (surah ke 76).

Banyak juga mesjid yang melakukan sunah Rasulullah seperti ini di setiap shalat subuh di hari Jumat. Mesjid Raya di Bukit Tinggi termasuk salah satunya. Di Masjidil Haram maupun di Mesjid Nabawi sujud tilawah di hari Jumat tidak dilakukan setiap hari Jum'at. 

Di Mesjid di komplek kami, sujud tilawah pada shalat subuh dilakukan sekali sebulan.

****                       

Rabu, 04 Maret 2015

Buya Hamka: Mereka Memusuhi Wahabi Demi Penguasa Pro Penjajah (Dari Islampos)

Buya Hamka: Mereka Memusuhi Wahabi Demi Penguasa Pro Penjajah

Selasa 14 Jamadilawal 1434 / 26 Maret 2013 08:14

BuyaHamka4
Oleh: Zulkarnain Khidir

Belakangan ketika isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan Ummat Islam agar iklim pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya. Nama Wahabi menjadi salah satu faham yang disorot dan kian menjadi bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu dilakukan oleh kalangan ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh Ummat Islam itu sendiri.

Beberapa buku propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan yang dituding Wahabi, di antaranya buku hitam berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Bertubi-tubi, berbagai tudingan dialamatkan oleh alumnus dari Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud yang berhaluan Wahabi, yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para kiyai dari pelosok pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi. Kasus terakhir adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam tabligh akbar FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?

Menarik memang menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan karakter terhadap dakwah atau personal pengikut Wahabi ini bukan hal baru, melainkan telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah diurai dengan lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI yang paling karismatik, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disapa Buya HAMKA. Siapa tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan independensinya sebagai seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.

Dalam buku “Dari Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang beliau merinci berbagai fitnah terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya telah berlangsung berkali-kali. Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada era Orde Lama, Wahabi seringkali menjadi objek perjuangan yang ditikam fitnah dan diupayakan penghapusan atas eksistensinya. Mari kita cermati apa yang pernah diungkap Buya Hamka dalam buku tersebut:

“Seketika terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut kembali yang baru lalu, untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke Sumatera. Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah dari keturunan kaum Wahabi.
Memang sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di pusat  tanah Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan Turki yang sedang berkuasa, takut kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah, permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya, karena serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Dan Wahabi pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke suatu negeri, dia akan mengembangkan mata penduduknya menentang penjajahan. Sebab faham Wahabi ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat takut melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud, yaitu memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Ajaran ini telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan revolusi Prancis di Eropa. Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih terkenal dengan gelaran “Sunan Bagus,” beberapa orang penganut faham Wahabi telah datang ke tanah Jawa dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu masuk ke Solo dan Yogya, tetapi mereka pun meneruskan juga penyiaran fahamnya di Cirebon, Bantam dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik, sebab terang anti penjajahan.

Sunan Bagus sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya.Pemerintah Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya, jika faham Wahabi ini dikenal oleh rakyat.

Padahal ketika itu perjuangan memperkokoh penjajahan belum lagi selesai. Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan memberi advis kepada Sunan, supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan saja kepada Belanda. Lantaran desakan itu, maka mereka pun ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu pun diusir kembali ke tanah Arab.

Tetapi di tahun 1801, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).

Mereka menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh murid dan pengikut. Diantara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh Kamang. Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya gerakan mereka itu meluas dan melebar, sehingga terbentuklah “Kaum Paderi” yang terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Maka terjadilah “Perang Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun lamanya mereka melawan penjajahan Belanda.

Bilamana di dalam abad ke delapan belas dan Sembilan belas gerakan Wahabi dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa, kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad kedua puluh mereka muncul lagi!

Di Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda.” Di Jawa datanglah K.H. A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H.A. Dahlan mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika dia mulai datang, orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Arrabithah Alawiyah dan Al-Irsyad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari kalangan yang kemudiannya membentuk Ar-Rabithah Adawiyah.

Musuhnya dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama pengambil muka mengarang buku-buku buat “mengafirkan” Wahabi. Bahkan ada di kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham ini adalah keturunan Musailamah Al Kazhab!

Pembangunan Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hambali, tetapi faham itu juga dianut oleh pengikut Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi Minangkabau. Dan juga penganut Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi di India.

Sekarang “Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu untuk menekan semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran wahabi, melainkan nama Wahabi.

Ir. Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya kelihatan bahwa fahamnya dalam agama Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi.

Kaum komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan membangkit-bangkit nama Wahabi. Padahal seketika terdengar kemenangan gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja Wahabi Ibnu Saud, yang mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Ummat Islam mengadakan Kongres Besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat atas kemenangan itu (1925). Sampai mengutus dua orang pemimpin Islam dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S. Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus Salim datang lagi ke Mekkah tahun 1927.

Karena tahun 1925 dan tahun 1926 itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih saja, maka masih banyak orang yang dapat mengenangkan bagaimana pula hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan, walau dari Ummat Islam sendiri yang ikut benci kepada Wahabi, karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-ulama pengikut Syarif.

Sekarang pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut “Wahabi” dan membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan datang. Dan mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga gambar-gambar “Figur Nasional,” sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan dari dinding. Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan faham Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta supaya dibubarkan saja.

Kepada orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari SUmmatera yang datang memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini adalah penganut atau keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari SUmmatera itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih! Sebab kepada mereka diberikan kehormatan yang begitu besar!

Sungguh pun demikian, faham Wahabi bukanlah faham yang dipaksakan oleh Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak. Dan masih banyak yang tidak menganut faham ini dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah dan anti kepada segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan dari mereka bersama!”

Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik akar terjadinya fitnah yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan vonis “Faham Hitam” yang dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya adalah modus lama namun didesain dengan gaya baru yang disesuaikan dengan kepentingan dan arahan yang disetting oleh para Think Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”

Maka perhatikanlah apa yang pernah diutarakan oleh Buya HAMKA dalam pembahasan Islam dan Majapahit berikut ini:

“Memang, di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.”

“Tahukah tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya itu adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya?”

“Maka dengan memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana!”

Kiranya, sepeninggal HAMKA, alangkah laiknya jika Ummat Islam masih kenal dan bisa mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya HAMKA dalam bukunya tersebut. Dengan demikian, niscaya Ummat Islam tidak perlu sampai menjadi keledai yang terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh musuh-musuh Islam dengan modus yang sama tetapi dalam nuansa yang berbeda.  

Wallahu A’lam

****

Jamaah Mesjid Kami

Jamaah Mesjid Kami 

Mesjid di komplek perumahan kami hanyalah sebuah mesjid mungil. Bagian dalamnya (diluar mihrab tempat imam) berukuran 10 x 10 m2, cukup untuk sembilan baris shaf. Masing-masing shaf untuk sekitar 20 orang jamaah. Jadi kalau terisi penuh, bagian dalam mesjid itu hanya mampu menampung sekitar 180 jamaah. Ada bagian teras luar yang juga bisa digunakan tempat shalat (untuk shalat Jum'at dan shalat tarawih di awal bulan Ramadhan). Untuk komplek yang terdiri dari 200 an rumah, mesjid mungil ini cukuplah.

Jamaah shalat subuh di mesjid ini sekarang berkisar sekitar 50 orang jamaah tetap laki-laki dan perempuan. Umumnya sudah berumur di atas 60 tahun. Ada beberapa orang (4 - 5 orang) yang lebih muda di bawah 40 tahun. Pada puncaknya, jumlah jamaah subuh ini pernah mencapai seratus orang. Lalu kemana yang lain? Dalam waktu 10 sampai 12 tahun terakhir lebih dari 20 orang sudah dipanggil Allah. Bermacam-macam cara mereka berpulang. Ada yang sedang bersiap-siap mau berangkat shalat Jum'at, tiba-tiba merasa pusing dan beberapa saat kemudian...... berlalu. Ada yang baru pulang dari tempat bekerja, diantar pakai ojek dari pinggir jalan tol. Beberapa puluh meter menjelang sampai di rumahnya, tergelongsor dari sepeda motor. Digotong ke rumah, sampai di rumah langsung sudah tidak ada. Ada yang sakit, koma kira-kira dua bulan,  dan setelah itu berakhir. Begitu jalan yang sudah ditetapkan Allah untuk beliau-beliau itu.

Dua bulan terakhir ini, ada tiga orang jamaah yang terserang sakit ketika berada di mesjid. Yang pertama, sesudah selesai shalat qabliyah subuh, seorang jamaah tiba-tiba mengerang. Kaki dan tangan kanannya tiba-tiba tidak bisa digerakkan. Akhirnya beliau dibaringkan di belakang shaf ketika kami shalat subuh berjamaah. Shalat yang terpaksa harus diringkas. Sesudah shalat beliau diantar dengan kursi roda ke rumahnya, untuk seterusnya diantar ke rumah sakit. Alhamdulillah, sekarang sudah sembuh dan bisa ikut berjamaah kembali.

Yang kedua, tiba-tiba lemas sesudah shalat isya. Beliau ini mempunyai masalah dengan jantung. Terpaksa dijemput pakai mobil untuk pulang ke rumahnya yag berjarak hanya sekitar seratus meter saja dari mesjid. Beliau inipun, alhamdulillah sekarang sudah sehat setelah pemasangan ring di jantungnya. 

Yang terakhir kemarin subuh. Sesudah kami selesai shalat berjamaah, baru saja mulai dengan wirid dan doa, beliau ini tiba-tiba mengerang sambil meneriakkan takbir dan laailahaillallah dengan suara parau. Kami tentu saja kaget mendengarnya. Jemaah yang lain langsung membantu memijit dan membalurinya dengan minyak angin. Sepertinya beliau masuk angin berat. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pusing. Beliau dibawa ke rumah sakit dan sekarang masih dirawat.  

Begitulah keadaan jamaah mesjid kami. Semua sudah memegang tiket untuk berangkat. Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa usia umat beliau berkisar antara 60 dan 70 tahun. Dan sebagian besar kami berada dalam kisaran umur tersebut. Wallahu a'lam....

****