Selasa, 29 Desember 2009

Pulang kampung Lagi (6)

(6)

Mobil melaju dibawah guyuran hujan lebat, melalui Palangki, terus ke simpangan ke Sijunjung. Entah apa nama kampung ini, aku lupa. Padahal aku pernah mengakrabinya tahun 1978 dulu. Menempuhnya masuk sampai ke Sijunjung, ke Muaro Sijunjung di tepi Batang Kuantan. Ketika aku mengerjakan perpetaan geologi untuk thesisku di daerah Sijunjung ini. Merancah sungai Sukam, masuk ke kampung-kampung dan sungai-sungai kecil. Dulu di jalur ini ada tanda rambu lalu lintas bergambar harimau, untuk mengingatkan pengendara mobil bahwa sewaktu-waktu harimau bisa saja melintas. Ya, jalan ini adalah jalan raya contoh yang tidak dicontoh. Jalan raya buatan perusahaan Korea di tahun-tahun terakhir 1970an. Orang Korea yang membuatkan jalan ini sejak dari Muaro Kalaban sampai ke Lubuk Linggau. Sekarang, sesudah lebih dari 30 tahun, jalan itu masih enak dilalui, walau ada kerusakan-kerusakan kecil. Begitu cara orang membuat jalan. Bertahun-tahun maintenance free. Sementara awak membuat jalan kadang-kadang hanya untuk dipakai dalam bilangan bulan, sudah harus diperbaiki lagi. Antahlah maak…. Karena disitu sumber rejeki, kata yang punya proyek.

Hujan mulai agak reda. Kecepatan mobil tidak bisa terlalu dipacu. Kami berpapasan dengan truk tronton besar pembawa batu bara. Berpuluh-puluh banyaknya. Daerah sekitar Pulau Punjung yang sekarang adalah kabupaten tersendiri, kabupaten Damasraya namanya, banyak menghasilkan batubara. Batubara itu dibawa ke Teluk Bayur melalui Solok dan Sitinjau Lauik. Sepertinya truk tronton ini memberi andil kepada cepat rusaknya jalan terutama di daerah Sitinjau Lauik yang labil itu.

Telah kami lalui Sungai Dareh, Pulau Punjung dan entah kota kecil apa lagi. Aku sudah banyak lupa. Terakhir kali aku mengendarai mobil di jalan ini adalah di tahun 2000 yang lalu, pulang pergi Jakarta – Bukit Tinggi. Waktu itu melalui jalur tengah.

Kami sampai di Muaro Bungo di waktu maghrib. Langsung berbelok ke kiri menuju Jambi. Target kami adalah Jambi dan disana nanti kami akan beristirahat. Muaro Bungo – Jambi ini kalau tidak salah jaraknya lebih dari 300 kilometer. Yang aku ingat, dulu ketika aku melintasinya di tahun 1998, sangat sedikit pompa bensin di sepanjang jalur ini.

Jalan ini masih lumayan bagus meski lebih kentara ada lobang-lobang kecil di sana-sini. Hujan rintik-rintik masih turun. Kendaraan yang lalu lalang masih banyak. Paling tidak lebih ramai dari yang aku ingat sepuluh tahun yang lalu. Pambayan (suami adik ipar) menanyakan apakah aku sudah mau digantikan. Aku jawab biarlah sebentar lagi. Mungkin dia ingat bahwa aku pernah berkomentar, seboleh-bolehnya aku menghindari menyetir di malam hari.

Di Muaro Tebo kami berganti. Setir aku serahkan kepadanya. Kami mengisi bensin disini. Kami teruskan perjalanan di kegelapan malam. Kadang-kadang aku coba mengintip batu penunjuk kilometer jalan. Batu yang malang itu hampir tidak ada manfaatnya. Tulisannya kecil-kecil, disingkat pula. Muara Tebo disingkat MTO, Muara Tembesi MTB.

Terasa benar panjangnya jalan menuju Jambi. Rasanya sudah lama kami melintasinya belum juga kunjung sampai. Waktu di Limbanang dua hari lalu, kami mendengar cerita bahwa jalur Tempino – Jambi jalannya rusak, karena digunakan oleh truk-truk besar pembawa logistik alat-alat pengeboran minyak bumi. Kami sepakat tidak akan melalui jalan ini.

Di suatu tempat, di depan sebuah masjid mobil dihentikan suami adik ipar dan dia turun. Aku pikir mungkin dia ingin ke kamar kecil. Ada kira-kira sepuluh menitan dia di luar. Rupanya dia bersenam-senam kecil untuk melemaskan otot. Aku tahu dari istrinya. Kota Jambi masih lebih dari 60 kilometer lagi di hadapan. Aku menawarkan diri kalau-kalau dia ingin digantikan. Tidak usah, bang, katanya.

Kami sampai di Jambi menjelang tengah malam. Segera mencari tempat makan. Dan sesudah itu mencari penginapan. Kami menginap di hotel Matahari untuk setengah malam itu.


***

Senin, 28 Desember 2009

Pulang Kampung Lagi (5)

(5)

Ketika para saudara bertemu sekali-sekali yang terjadi biasanya adalah hota panjang. Ditingkahi senda gurau dan tertawa terkekeh-kekeh. Itu pula yang terjadi di Garegeh malam itu. Apa lagi ada pula adik ipar yang lain baru sampai dari Pakan Baru setelah terlebih dahulu singgah di Limbanang. Rencananya besok kami akan melakukan perjalanan panjang dengan mobilnya ke Jakarta. Bagi sang adik ipar perjalanan itu bahkan lebih panjang lagi karena mereka suami istri akan terus ke Jogya. Jauh hari sebelumnya mereka menawarkan apakah kami suami istri mau ikut dalam perjalanan itu. Dan aku menyanggupinya.

Malam itu kami mahota panjang sampai tengah malam. Aku sebenarnya sudah keletihan. Sudah tiga malam berturut-turut kurang tidur dan malam ini adalah malam keempat.

Begitu kembali ke penginapan sudah hampir jam satu malam aku berusaha untuk langsung tidur. Dan alhamdulillah tertidur. Bahkan keterusan. Paginya aku baru terbangun dan mendengar wirid (pengajian) subuh dari masjid. Tidak terdengar suara azan. Padahal azan subuh itu dua kali. Sudah hampir jam setengah enam. Ya Allah……. sudah berlalu waktu subuh. Kami shalat berdua. Masih mengantuk, sesudah shalat aku sambung lagi tidur. Dan melaju lagi sampai dekat jam delapan. Barulah badan terasa agak segar. Kami berempat, masih dengan ipar yang dari Sawahlunto pergi lagi ke Garegeh. Untuk sarapan teh talua di lepau. Setelah itu mereka mendrop kami di rumah ipar yang juga di Garegeh, karena mereka akan segera pula pergi untuk urusan lain hari itu.

Di Garegeh sudah menunggu ipar yang dari Pakan Baru. Mereka baru saja bergerak mau menyusul kami ke penginapan. Kami kembali lagi ke mess PLN untuk mengemasi barang-barang kami. Ada segerobak tolak pula banyaknya. Kami susun baik-baik di bagian belakang mobil. Tempat duduk di row paling belakang terpaksa dikosongkan dengan melipat bangkunya. Barang-barang itu kami susun hati-hati. Seandainya muat, dan bangku di row kedua tidak terganggu seorang kemenakan akan ikut bersama kami. Dan alhamdulillah semua barang-barang itu berhasil dimuat.

Barulah kami mandi. Dan berkemas diri. Dan setelah itu kembali lagi ke Garegeh karena kedua adik-adik itu juga belum pada mandi. Sementara hari sudah mulai hujan rinai-rinai kembali.

Jam setengah dua belas tepat kami berangkat dari Garegeh. Berlima dengan kemenakan, anak dari ipar yang di Garegeh. Lalu ke Baso untuk terus ke Batu Sangkar, melalui Talawi, melalui Sawahlunto dan terus ke Muaro Kalaban. Sambil mehota-hota kecil sepanjang jalan. Aku amati batang Lunto yang airnya tidak seberapa dalam. Melayang pula ingatan ke Blog angku Idris Talu yang hobby memancing di sungai. Aku katakan bahwa aku berniat suatu hari nanti, kubawa mobil ke kampung, tinggal di kampung agak lama, dan pergi memancing ke sungai-sungai besar. Seperti ke sungai Kampar di Rantau Berangin. Kenapa tidak? Biarlah sementara itu menjadi niat saja dulu. Kalau lai umua panjang dikayayan juo nanti.

Sudah jam setengah dua siang ketika kami berhenti untuk makan siang dan shalat di lepau nasi dendeng batokok di Muaro Kalaban. Lah sadang elok litak paruik. Lepau nasi yang ini kami pilih begitu saja. Karena sudah lapar dan karena plang namanya, Dendeng Batokok. Rasa biasa-biasa saja.

Jam setengah tiga kami lanjutkan perjalanan. Bergantian membawa mobil. Kali ini giliranku memegang kemudi. Berpacu menuju selatan. Ditengah guyuran hujan.

***

Pulang Kampung Lagi (4)

(4)

Minggu 20 Desember.

Pagi yang lebih cerah dari pagi kemarin. Tidak ada hujan walau langit tetap saja agak mendung. Tadi aku shalat subuh di masjid Baitul Haq. Setelah hari mulai agak terang, kami mengatur rencana untuk pergi ke Garegeh lagi. Tiba-tiba aku ditelepon kakak sepupu, (yang ikut pulang kampung untuk rapat siang nanti) mengatakan bahwa lepau tutup. Aku menganjurkan untuk ke lepau lain di Ateh Ngarai, persis di simpang tiga pintu masuk ke ngarai. Lepau disini lebih besar dan lebih ramai dari lepau di Garegeh. Tidak ada ketan dan goreng pisang di lepau ini tapi bubur samba, bahkan gado-gado, bubur kampiun dan beraneka macam kue-kue ada tersedia. Teh telur juga bisa dipesan. Lepau ini memang pilihan keduaku.

Kami berkumpul di lepau ini. Kami berempat dan rombongan kakak sepupuku enam orang. Semua berkecepak-kecepong. Di dalam lepau yang penuh pengunjung ini. Bahkan di luar masih ada yang antri karena tidak kebagian tempat duduk. Aku tidak tahu apakah lepau ini seramai ini karena hari Minggu pagi atau memang seperti ini setiap hari. Sesudah sarapan aku ikut dengan rombongan kakak sepupu ke kampung, karena kami akan rapat jam sembilan pagi. Aku minta tolong istriku untuk pergi membeli dan mengantarkan nasi bungkus untuk konsumsi peserta rapat nanti siang.

Sesuai rencana rapat di sekolah penghafal Al Quran itu dimulai jam sembilan lebih sedikit. Bertempat di bangunan sekolah di Kasiak, di Koto Tuo Balai Gurah. Sekolah ini setingkat SMP, dengan kekhasan pendidikan menghafal Al Quran ditambah pengetahuan agama disertai pengenalan hadits-hadits Rasulullah SAW. Kami menamainya Ma'had Tahfizhul Quran di bawah Yayasan Syekh Ahmad Khatib. Sekolah dengan fasilitas pemondokan dimana santrinya memang diwajibkan untuk tinggal di sekolah. Baru dibuka untuk tahun pertama di tahun ajaran 2009 - 2010. Jumlah santrinya masih sangat mini, hanya empat orang. Tapi yang empat orang itu (mulanya 7 orang) alhamdulillah bisa bertahan dan membuat kemajuan yang lumayan. Rapat kami pagi itu adalah dalam rangka mengatur strategi untuk lebih mensosialisasikan keberadaan sekolah itu kepada masyarakat. Sekolah dengan penekanan menghafal Al Quran ini baru satu-satunya di Sumatera Barat. Dipimpin oleh seorang kepala sekolah tamatan Madinah, dibantu seorang lagi guru yang juga tamatan Madinah serta guru-guru dari sekolah umum dan guru-guru tamatan IAIN. Di dalam rapat itu kami rencanakan untuk memanfaatkan media televisi (Bukit Tinggi TV), radio swasta dan koran terbitan Padang sebagai sarana.

Rapat yang sangat konstruktif itu berjalan lancar dan berakhir jam dua siang.

Sesudah selesai rapat, kami pergi lagi meraun ke Kamang. Berputar-putar sejak dari Parikputuih, Lungguakmuto, Kapau, Koto Tangah, Magek, Koto Panjang, Pakan Sinayan di Kamang Mudiak, terus ke Gaduik. Melereng di kaki Bukik Kawin. Memandang bukit batu gamping yang sambung-menyambung. Tapi tidak masuk mendekati Ngalau. Ada bagian dari jalan yang melingkar-lingkar itu yang belum pernah kutempuh. Ada keinginan untuk mampir ke rumah bako di Koto Panjang, tapi aku batalkan. Dua bulan yang lalu aku sudah mengunjungi mereka. Kedatanganku pasti akan 'merepotkan' mereka saja.

Sore hari menjelang maghrib kami berada di antara orang ramai di bawah jam gadang. Sebelum masuk waktu maghrib aku bergegas ke masjid Raya, meninggalkan istri dan ipar yang akan langsung pulang ke penginapan. Malam itu kami dijamu adik ipar makan malam di rumahnya di Garegeh. Kali ini makan malam tanpa disertai durian.

***

Pulang Kampung Lagi (3)

Hari Sabtu pagi.

Alhamdulillah, meski baru tidur jam dua tadi malam, aku terbangun persis menjelang azan subuh. Tapi di luar hari hujan. Aku bangunkan istri. Sesudah kumandangan azan jam 4.50 pagi itu selesai, kami shalat berdua di kamar. Aku tidak bisa pergi ke mesjid karena di luar hujan. Ketika aku hampir selesai shalat subuh, di masjid Baitul Haq dan masjid Raya, imam sama-sama takbir. Bacaan imam-imam itu bertanding-tanding, terdengar sangat jelas karena sama-sama menggunakan pengeras suara yang prima. Untunglah di masjid masing-masing bacaan imam dari masjid lain tidak terdengar.

Sesudah shalat disambung tidur sedikit lagi. Jam tujuh terbangun. Acara kami (aku dan istri beserta ipar suami istri pula) adalah pergi minum pagi ke..... Garegeh.

Lepau di Garegeh itu aku temukan pertama kali di tahun 1991, ketika kami pulang dari shalat subuh di masjid Raya, menuju ke kampungku di Koto Tuo Balai Gurah. Di kegelapan subuh berembun kala itu, terlihat pintu lepau terbuka. Kami segera mampir. Bangunan dengan bangku panjang lepau itu tidak pernah berubah. Mungkin yang berubah adalah rumah tembok di belakangnya yang semakin berkilat saja. Yang istimewa, dan juga tidak pernah berubah adalah ketan putih pulut tulang dengan goreng pisang raja serta pilihan lain yaitu bubur samba dengan gulai cubadak. Seperti itu delapan belas tahun yang lalu, seperti itu juga sekarang.

Kesanalah kami pergi minum pagi. Pesananku, seperti biasanya teh telor dan bubur samba. Dan sesudah itu sebuah goreng pisang raja sebagai penutup. Dulu, ketika masih lebih muda, bubur samba ditambah dengan ketan goreng pisang aku sanggup menyelesaikan. Tapi sekarang sudah tidak sanggup lagi.

Kami meraun panik di sekitar Bukit Tinggi sesudah minum pagi. Sementara hari masih gelap dan hujan. Sesudah shalat zuhur kami kembali lagi pergi baralek ke Limbanang. Sedikit saja yang ingin aku komentari tentang perhelatan yang sedang 'in' di Ranah Minang, yaitu menghadirkan orgen tunggal. Orgen itu dihubungkan ke sistim pengeras suara yang entah berapa desibel ukuran kekerasannya, tapi yang pasti sangat memekakkan telinga. Suara orgen itu bahkan lebih keras pula dari suara orang yang berlagu sehingga apa yang dinyanyikan tidak dapat disimak. Baitu caronyo kini. Di sela-sela suara musik yang antahlah maaak itu, terdengar olehku ungkapan seorang tamu, bahwa di Padang Panjang orrgen tunggal itu sudah dilarang oleh Pemda. Aku berharap Pemda Sumatera Barat secara berjamaah akan melarangnya pula.

Sekalian untuk menghindar dari suara musik yang memekak telinga, kami minta izin kepada tuan rumah untuk pergi ke Koto Tinggi. Ini adalah kampung saudara sebapak istriku yang hari itu memestakan anaknya tersebut. Kami pergi ke sana dengan kakak perempuannya. Rumahnya di Koto Tinggi persis di hadapan lapangan pasar Koto Tinggi tempat terletaknya monumen PDRI. Baru sekali itu aku ke tempat ini.

Sesudah maghrib kami kembali ke Limbanang. Suasananya sudah sunyi dari suara orgen tunggal. Ternyata tetangga di sebelah tempat pesta itu sedang kemalangan. Ada anggota keluarganya yang meninggal. 'Syukurlah, ada alasan untuk menghentikan suara musik tadi,' kata istri kakak iparku. Rupanya dia juga terpaksa menghadirkan acara itu. Yang kalau tidak dihentikan, biasanya akan berlanjut sampai tengah malam. Dan konon, semakin larut semakin aneh-aneh tingkah polah baik yang menyanyi maupun yang menonton. Dan konon pula, pada saat yang sudah larut itu beredar bir dan sebangsanya yang bukan disediakan oleh tuan rumah.

Jam sepuluh malam kami kembali ke Bukit Tinggi. Adik ipar yang tinggal di Bukit Tinggi ikut ke mess, membawa ......... duren lagi. Duren yang lebih mantap dari yang kemarin. Aku sedikit lebih berani kali ini. Mencomot sampai lima butir.


***

Minggu, 27 Desember 2009

Pulang Kampung Lagi (2)

(2)

Kami sampai di Limbanang, di rumah calon anak daro, menjelang maghrib. Rumah ini memang sudah disiapkan untuk baralek. Sudah dihias dengan kain berwarna emas, berjumbai-jumbai. Kursi pelaminan untuk tempat duduk anak daro jo marapulai pun sudah disiapkan. Tapi baik anak daro maupun ibunya masih berpakaian rumahan. Ternyata akad nikah itu baru akan dilaksanakan nanti sesudah isya, bukan sesudah maghrib, begitu yang aku dengar.

Setelah berbasa basi sebentar dengan sanak saudara, lalu kami bersama-sama pergi menuju masjid untuk shalat maghrib.

Sesudah maghrib kami kembali terlibat dalam obrolan. Mehotar ke hilir ke mudik. Dan suasana terlihat masih santai-santai saja. Aku malas untuk bertanya. Sementara itu hujan turun meski tidak terlalu deras. Sudah berkumandang azan isya. (Aku sudah menjamak shalat ketika maghrib tadi). Dan beberapa saat pula berlalu sesudah itu. Masih tenang-tenang saja.

Jam sembilan malam baru terlihat kesibukan. Artinya sudah satu jam lebih sesudah waktu isya. Hujan masih turun. Beberapa buah mobil datang. Di antaranya mobil marapulai dan pengiring-pengiringnya. Tamu-tamu itu masuk ke dalam rumah. Rumah jadi penuh dengan rombongan tamu dan rombongan tuan rumah. Dengan si alek dan si pangka. Sudah akan dimulaikah prosesi akad nikah?

Ternyata bapak penghulu belum hadir. Salah satu dari yang hadir mengatakan bahwa beliau sedang dijemput. Bahkan sudah di perjalanan menuju rumah perhelatan. Perlu beberapa belas menit menunggu sampai pak penghulu akhirnya hadir. Lalu dimulailah acara itu sebagaimana lazimnya. Hari sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

Ijab kabul itu akhirnya selesai dan disahkan oleh para saksi. Dengan sedikit perulangan karena baik marapulai maupun wali nikah sama-sama agak gugup pada awalnya. Sampai pulalah pada giliranku untuk menyampaikan nasihat pernikahan, sesuatu yang sudah diminta-tolongkan kakak ipar sejak jauh hari sebelumnya.

Selesai pula acara makan minum sekitar jam sebelas malam. Untungnya tidak memakai pasambahan yang berunyai-unyai. Tamu-tamu, berikut marapulai kembali pulang ke rumah masing-masing. Rupanya begitu pula adatnya, marapulai belum boleh menginap di rumah anak daro meskipun mereka baru saja disahkan sebagai suami istri.

Tinggallah sipangka. Karib kerabat sanak saudara. Ada pula acara yang sudah disiapkan mereka adik beradik. Pesta katan jo durian. Durian sedang musim. Sejak dari Sicincin - Kayutanam waktu baru sampai kemarin, sampai ke Bukit Tinggi, Payakumbuh, sepanjang jalan ke Limbanang durian terlihat bertumpuk-tumpuk di sepanjang jalan. Aku penyuka durian meski tidak termasuk yang kelas berat. Di tengah keluarga, aku kalah dibandingkan istri dan ketiga puteri-puteriku. Mereka adalah pencinta durian sejati. Malam itu aku membatasi diriku dengan dua biji durian saja. Yang segera jadi bulan-bulanan ketawaan. Aku khawatir kalau-kalau durian ini akan menyepak asam urat pula.

Sudah jam satu malam ketika kami meninggalkan Limbanang pada malam hari itu. Kami kembali ke penginapan di Bukit Tinggi. Besok adalah acara baralek di rumah ini, dan kami akan kembali lagi. Insya Allah.

***

Pulang Kampung Lagi (1)

Bukit Tinggi 17 - 21 Desember 2009

(1)

Ada lagi kesempatan pulang kampung. 'Keharusan' karena ada ipar mau mantu, menikahkan puterinya. Dan karena ada rapat di Ma'had Tahfizhul Quran Syekh Ahmad Khatib di kampung. Aku dan istriku berangkat hari Kamis 17 Desember dengan pesawat Batavia. Sampai di Minangkabau International Airport jam 12.30 siang. Sangat on time. Langsung menyewa taxi untuk menuju Bukit Tinggi. Di bawah guyuran hujan rinai-rinai.

Sampai di Bukit Tinggi, di mess PLN di Jalan Luruih sekitar jam tiga sore lebih. Sengaja tidak mampir di jalan untuk makan siang, karena hari hujan dan karena aku cinan, ingin makan di restoran Selamat di Kampung Cino. Tapi hari hujan. Dan pilek istriku sedang menjadi-jadi. Aku lalu meminjam payung dan berjalan kaki ke Selamat yang hanya sekitar dua ratus langkah dari mess PLN. Dan kamipun makan nasi ramas Selamat.

Di malam hari yang lambok karena hujan tidak kunjung berhenti, kami tidak kemana-mana. Adik ipar yang datang mengunjungi kami.

Hari Jumat subuh aku terbangun saat azan pertama. Di luar hujan sudah berhenti. Begitu azan kedua (azan subuh yang sebenarnya berkumandang) aku keluar sendirian. Istri masih flu berat. Aku berjalan kaki melintasi jalan, mendaki jenjang dan menuju Masjid Raya. Ini hari Jumat. Dan benar, di subuh hari Jumat ini imam membaca surat Sajadah di rakaat pertama. Berbeda dengan kesempatan terdahulu yang mungkin sekitar dua tahun yang lalu, ketika aku juga shalat subuh di masjid ini, maka pagi ini jamaahnya lebih dari dua puluhan orang. Artinya cukup banyak. Harus diingat bahwa lokasi masjid tidaklah di persekitaran rumah tinggal.

Hari mulai agak cerah di sebelah pagi. Tadinya kami mengira bahwa ipar yang dari Sawahlunto akan datang pagi ini. Soalnya nanti sore kami akan ke Limbanang, ke tempat ipar yang akan menikahkan puterinya itu. Jam sebelas seperempat, ipar yang di Sawahlunto memberi tahu bahwa mereka (suami istri) akan datang sekitar waktu ashar. Kok penting betul ini ditulis? Karena tadinya kami menunggu mereka untuk pergi makan nasi Kapau uni Lis. Jadi, kami pergi berdua saja. Melintasi jalan, mendaki jenjang. Padahal sudah hampir jam setengah dua belas, waktu untuk pergi ke masjid untuk shalat Jumat. Kami sempatkan juga pergi mengunjungi uni Lis. Nasi Kapau jo gulai tunjang. Melepas taragak. Jam dua belas kurang lima ketika aku memasuki Masjid Raya. Tentu saja hanya kebagian saf di belakang.

Sore harinya, kami berempat berangkat menuju Payakumbuh untuk terus ke Limbanang. Di perjalanan, menjelang Baso, terlepas ucapan pambayan (suami dari ipar) bahwa mereka sudah mencicipi minuman kawa di Tabek Patah. Dua bulan yang lalu, kami berempat lewat di Tabek Patah dalam perjalanan ke Sawahlunto dan berbincang tentang minum kawa di galuak. Sayang waktu itu lepaunya sudah tutup (ketika kami melintasi jalan waktu itu sudah jam sembilan malam). Dan akhirnya, sore ini, kami berbelok ke Tabek Patah. Alek di Limbanang itu nanti sesudah maghrib dan kami masih punya waktu.

Kami minum kawa di lepau di pinggir jalan. Minum air rebusan daun kopi dari galuak (tempurung kelapa). Daun kawa yang disangai mengeringkannya. Dengan rasa kalek-kalek tanggung. Memang begini rasanya dulu..... lebih lima puluh tahun yang lalu. Bedanya sedikit, dibandingkan jaman entah berantah dulu itu, kali ini pemanisnya bukanlah gula enau tetapi gula biasa. Mungkin maksudnya untuk lebih praktis saja. Kami hirup kawa hangat ditemani goreng pisang raja.

***

Sabtu, 12 Desember 2009

Penyimpangan Dalam Islam

Taklim Ahad Subuh

Di masjid kami, alhamdulillah setiap hari Ahad ba'da subuh selalu ada taklim. Kami punya dua orang ustadz yang istiqamah selalu hadir tanpa dijemput untuk memberikan taushiyah di Ahad subuh. Pengajian kami biasanya menyangkut hal-hal sehari-hari dalam urusan agama.

Pagi ini kami mendengar ceramah tentang bulan-bulan haram. Ada empat bulan yang diistimewakan dalam Islam, yakni bulan-bulan Rajab, Zulqaidah, Zulhijjah dan Muharram. Bulan-bulan itu disebut bulan-bulan haram Artinya bulan yang punya keistimewaan. Bulan Rajab, misalnya adalah bulan di isra' mi'raj kannya Rasulullah SAW. Bulan Zulqaidah, bulan diselamatkannya suatu kaum dari gangguan Ya'juj dan Ma'juj oleh Iskandar Zulqarnain. Bulan Zulhijjah, bulan disyariatkannya ibadah haji sejak dari jaman Nabi Allah Ibrahim. Dan bulan Muharram adalah bulan diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir'aun, Nabi Yunus dari perut ikan paus. Diselamatkannya Nabi Yusuf dari sumur tempat beliau dibuang saudara-saudaranya. Semuanya terjadi pada tanggal 10 Muharram yang biasa dikenal dengan hari 'Asyura. Disunahkan untuk berpuasa di hari 'Asyura.

Anehnya, di kalangan sebagian umat Muslim di negara kita perayaan Muharram itu dilakukan pada tanggal 1 Muharram yang disebut tanggal 1 Suro. Banyak ritual-ritual yang tidak ada sangkut pautnya dengan aqidah Islam dikerjakan orang pada hari itu. Seperti memandikan pusaka, melarung sajian ke laut, berpuasa tanpa sahur selama dua puluh empat jam. Semua perbuatan ini tidak berhubungan dan tidak berasal dari ajaran Islam. Bahkan banyak dari ritual itu yang nyata sekali kesyirikannya. Seperti memandikan keris, mengambil air bekas cuciannya dan mengaggapnya bertuah, mengambil kotoran kerbau yang dikeramatkan, melemparkan sajian ke laut, menanam kepala kerbau.

Timbul pertanyaan dari kami sebagai jamaah. Tidak adakah upaya MUI untuk menjernihkan kemusyrikan itu? Menurut ustadz, ada. Hanya saja, fatwa MUI itu tidak lebih dari sebatas himbauan. Fatwa MUI tidak pernah menjadi kekuatan hukum atau undang-undang di negeri ini. Jadi pada akhirnya, terserah kepada ummat, seandainya mau tetap memelihara kesaktian tradisi nenek moyang, biarlah masing-masing mempertanggungjawabkannya nanti di hadapan Allah. MUI sudah mengingatkan, tapi sayangnya, Umara atau pemimpin alias penguasa tidak merasa berkepentingan dengan apa-apa yang difatwakan MUI.

*****

Kamis, 10 Desember 2009

Menggelas

Manggaleh = Menggelas

Sudah sejak beberapa bulan ini istriku mencoba jadi pedagang. Jadi penggelas, kata urang awak jadi rang panggaleh. Berawal dari usul seorang teman saat aku persis menjelang pensiun untuk menginvestasikan uang di sebuah ruangan toko di Ambassador Plaza. Sebuah ruangan yang subhanallah, luasnya hanya 7m2. Harganya hampir setengah ton. Teman yang mengusul sudah lebih dulu memiliki lahan serupa dan katanya cukup menguntungkan. Akupun, kala itu tergiur untuk mengadu nasib, maksudnya ikut berinvestasi. Alhamdulillah pula, waktu itu langsung mendapat penyewa, karena memang niat awal untuk disewakan. Rasa-rasanya aku atau istri tidaklah berbakat untuk berdagang.

Kedai petak mungil itupun disewalah. 35 jt pertahun..... Hemmmm... memang lumayan juga sepertinya.

Akan tetapi ternyata, si penyewa itu seorang beginner. Bahkan menyambil kerja kantoran. Dan toko itu hanya dibukanya menjelang malam. Entah bagaimana peruntungannya yang sesungguhnya, yang jelas sesudah satu tahun selesai dia mundur. Tidak mau lagi memperpanjang kontrak. Kebetulan berikutnya, itu terjadi di paruh kedua 2008, tahun krisis yang menghebohkan itu. Perdagangan kononnya lesu. Termasuk tentu saja di Indonesia. Termasuk di Jakarta. Akibatnya, tidak kunjung dapat penyewa berikutnya. Tinggallah toko mungil itu menganggur. Sebulan, dua bulan, tiga bulan dan terus berlanjut. Repotnya, pemilik dikenakan service charge sebesar 500 ribu lebih setiap bulan. Tentu saja cukup merepotkan membayar sebanyak itu ketika sudah jadi pensiunan.

Mulailah timbul angan-angan sang istri untuk mencoba peruntungan. Singkat cerita, toko itu didandani kembali dengan rak dan etalase. Sang madame mau berjualan pakaian wanita. Bismillah...

Kendala pertama, seperti sudah diprediksi sejak awal adalah tenaga. Rasanya akan sangat berat untuk datang ke toko ini setiap hari sejak jam sembilan pagi sampai jam delapan malam. Perlu ada yang membantu. Perlu karyawan. Tentu tidak yang asal-asalan karena tentu diperlukan yang amanah. Kan mau berurusan dengan uang. Begitulah akhirnya. Karyawan pertama adalah pembantu rumah yang katanya tamatan SMA. Kan sayang tamat SMA bekerja jadi pembantu. Diajak kerja di toko, dengan janji penghasilan lebih. Ternyata dia tidak betah. Entah kenapa, sedikitpun dia tidak menunjukkan keseriusannya untuk jadi rang panggaleh. Ujung-ujungnya, dia minggat dari rumah. Suatu pagi ketika kami kembali dari shalat subuh, ternyata dia sudah tidak ada. Sudah pergi tanpa pesan.

Terpaksalah aku ikut menemani istri, duduk di tempat yang sempit ini. Ceritanya menjelang dapat orang baru lagi. Orang baru itu dapat. Tapi, lagi-lagi hanya untuk jangka waktu singkat. Katanya dia dapat tawaran pekerjaan yang lebih bagus. Sampai pegawai keempat, kelima. Sami mawon. Begitu lagi, begitu lagi. Yang terakhir tinggal di rumah, dikasih uang transport dan disuruh bawa bekal dari rumah. Kayak-kayaknya sih dia tidaklah terlalu serius. Berhari-hari laporannya zero penjualan. Dan eloknya pula, dia juga mengundurkan diri setelah bekerja hampir tiga bulan. Katanya pindah ke tempat dia di terima bekerja di pabrik.

Aku kasihan juga melihat istriku berusaha tegar. Aku sudah menyuruh dia menaikkan bendera putih. Cari penyewa lagi saja. Sepertinya dia setuju. Tapi tidak mudah dan tidak serta merta pula untuk mendapatkan penyewa.

Hari ini, hari Kamis aku menemaninya di sini sejak siang tadi. Tadinya kami mau pulang jam lima biar aku dapat shalat maghrib di masjid kami. Ada pembeli saat jam lima itu. Ya, sudahlah, aku setuju sampai maghrib. Aku akan shalat maghrib di mushala. Habis maghrib ada lagi pembeli. Dan kagok untuk pulang jam setengah tujuh dari tempat ini. Aku tidak akan dapat shalat berjamaah isya di masjid karena pasti belum sampai di rumah. Akhirnya aku menunggu isya disini. Sesudah isya baru kami akan pulang.

Jual beli disini masih do, re, mi. Ini yang agak melemahkan semangat. Memang ada saja hari-hari yang benar-benar nol, kata istriku. Begitu keadaannya. Jadi rang panggaleh ternyata harus benar-benar sabar....

*****

Rabu, 09 Desember 2009

Timing belt

Sebuah pelajaran

Istriku menelpon dari jalan, baru kira-kira dua puluh lima menit sejak dia berangkat dari rumah. Mobil tiba-tiba mogok, katanya. Padahal sedang berkecepatan tinggi di jalan tol Cikampek menuju Jakarta. Lebih kurang di sekitar Univ. Borobudur. Tapi untunglah (alhamdulillah) dia berhasil meminggirkan mobil itu dengan selamat, dengan sisa tenaga mobil itu sendiri, kendati mesin sudah mati.

Tetap disana dan jangan mau melayani tukang derek, aku akan segera ke sana, kataku. Dugaanku yang ngadat adalah aki mobil. Aku pernah mengalami hal yang sama dua setengah tahun yang lalu, ketika mobil itu tiba-tiba 'mati pucuk'. Beruntung waktu itu aku hanya seratus meter dari sebuah toko yang menjual aki di Pondok Kelapa. Dan sekarang, sesudah dua setengah tahun, tentulah aki itu lagi yang bermasalah, begitu firasatku. Dan dengan yakin (akhirnya terbukti sok tahu) aku ditemani si Sulung disertai dua serdadu kecilnya, menuju ke toko aki itu. Aku ajak seorang montirnya ikut ke tempat istriku menunggu di pinggir jalan tol.

Si montir bekerja dengan sangat sigap. Tanpa mengetes apa-apa lagi dengan mesin mobil. Sekitar sepuluh menit kemudian aki baru sudah terpasang dan aku dimintanya menstart mesin. Eh...... ternyata mesinnya tetap saja ngambeg. Barulah aku terpikir untuk mentest aki yang lama, yang...... subhanallah... ternyata masih OK punya. Tapi mau bagaimana lagi? Mana mungkin pembelian aki baru yang sudah terpasang itu akan dibatalkan. Dia mencoba mengutak-atik ala kadarnya, meski dia sudah mengaku duluan bahwa dia bukan montir mesin. Dugaannya, hanya dugaan saja, ada yang tidak beres dengan pompa bensin. Aku terpaksa diam saja.

Aku menghubungi adikku, yang sedikit lebih pintar dariku tentang mesin mobil yang tinggal di Bekasi Timur. Dia bilang, dia akan segera datang. Aku suruh istri, si Sulung dan staffnya untuk segera pulang saja. Biar aku yang menunggu adikku itu. Merekapun berangkat.

Dalam penantian, dalam cuaca cukup panas sekitar jam setengah sebelas siang, aku...... mengaji dengan Quran kecilku di mobil itu. Sebuah mobil polisi (yang ada tulisan highway patrol , seolah-olah berasal dari negara antah berantah) berjalan pelan-pelan disampingku. Aku cuek saja. Mungkin karena mereka lihat ada orang dalam mobil, mobil itu tidak berhenti dan terus berlalu. Sebuah mobil derek datang berikutnya, dan seseorang turun menghampiriku. Dia bertanya apakah ada yang perlu dibantu, meski dengan bahasa yang agak kasar. Aku jawab tidak ada, karena aku sedang menunggu. Dia bertanya sedang menunggu siapa. Sekalian aku ingin mempermainkannya karena gaya bahasanya yang agak kurang elok itu, bahwa aku sedang menunggu mobil derek langgananku. Dia tambah nafsu. Pakai mobil kita saja. Terserah bapak mau bayar berapa, katanya. Aku bilang tidak, karena aku juga sedang menunggu adikku. Sudahlah, biar kami saja yang menarik mobil ini, mau ditarik kemana. Bayarnya terserah bapak, begitu lagi katanya. Aku sudah banyak mendengar cerita seperti ini, yang seandainya aku ikuti sangat mungkin akan berakhir dengan persoalan lain sesudahnya. Jadi aku keukeuh, tidak mau.

Untunglah dia cepat berlalu.

Masih berpuluh menit sebelum akhirnya adikku dan anaknya datang. Mesin mobil diutak-utiknya sebentar. Kebetulan ada pula petugas DLLAJR yang berhenti pula. Si petugas DLLAJR ini yang pertama memberikan diagnosa bahwa...... timing belt putus.

Ya, sudah. Melalui bantuan bapak DLLAJR (yang ternyata urang awak dari Bonjo), sebuah mobil derek jalan toll dipanggil. Sedikit berunding akhirnya disepakati, biaya dua ratus ribu untuk menarik Kuda yang lumpuh itu ke bengkel langgananku di Jatibening. Artinya, mobil derek itu harus keluar dulu di Cawang dan masuk kembali ke toll Cikampek, ke arah Jatibening. Alhamdulillah, akhirnya sang Kuda sampai di bengkel. Segera didiagnosa. Betul sekali. Timing beltnya putus.

Padahal, aku sudah memprogramkan akan menggantinya karena setelah mengganti pertama kali ketika kilometernya 55,000 sementara saat ini angka itu berada pada 99,500 sekian. Rencananya sih, begitu km 100,000 terlewati aku akan mengganti timing belt itu karena begitu saran buku petunjuk, pergantiannya dilakukan sesudah masa pakai 50,000 km. Si A Song pemilik bengkel menjelaskan begini. 'Pak, 50,000 km itu dalam kondisi mobil melaju di jalan raya. Tapi di Jakarta kan tidak seperti itu. Seandainya bapak, terperangkap macet setengah jam saja sehari, dan setahun dihitung 250 hari sibuk saja, bisa bapak bayangkan, bahwa timing belt itu sudah bekerja lembur sangat banyak sebenarnya.

Aku harus mengakui kebenaran teori si A Song......

Dan biaya Kuda yang seharusnya sekitar sejuta untuk mengganti timing belt berikut ongkos pasang telah membengkak menjadi empat kali lipat. Ke enam belas buah klep piston harus diganti. Ditambah pula belanja aki yang ternyata keliru. Sebuah pelajaran yang cukup mahal.

*****

Kamis, 03 Desember 2009

Sirsak

Durian Belanda

Ada yang menyebut namanya durian belanda, ada yang menyebut sirsak. Bahasa Inggerisnya soursop. Konon buah sirsak merupakan sebuah karunia Allah yang mempunyai kemampuan menyembuhkan berbagai penyakit. Di antaranya untuk meredakan asam urat. Ini sangat penting bagiku karena aku seorang penderita asam urat.

Pernah dulu, seorang teman memberiku artikel tentang khasiat sirsak untuk meredakan asam urat. Aku minta istriku agar sering-sering membeli buah ini dan membuatkan sari buah atau juice nya. Untuk beberapa hari, istriku rajin membuatkan jus sirsak. Tapi akhirnya berhenti sendiri. Mula-mula karena sirsak tidak selalu ada dijual di pasar. Lama-lama lupa dan akhirnya jadi malas karena menyiapkan jus sirsak memang agak sedikit ribet karena harus menyisir daging buah dan memisahkannya dari biji-bijinya.

Baru-baru ini aku kembali tertarik dengan khasiat sirsak yang ramai lagi dibicarakan teman-teman. Bahkan buah sirsak katanya sangat berkhasiat untuk melawan kanker. Artinya buah ini memang punya keistimewaan. Aku kembali tertarik untuk menikmatinya. Sayangnya waktu itu (beberapa minggu yang lalu), buah itu agak susah didapatkan. Untunglah sekarang sudah kembali banyak di pasar. Tidak usah repot-repot dijus. Langsung saja dimakan mentah, ternyata enak dan segar. Khasiatnya? Entahlah. Aku baru memulainya sekitar sepuluh hari terakhir ini.



*****

Selasa, 01 Desember 2009

Cucu

Cucu-cucuku

Nama mereka Muhammad Rafi Aulia dan Muhammad Rasyid Hakim. Nama pemberian bunda mereka. Bunda mereka itu adalah si Sulung. Sulung dari tiga bersaudara yang ketiganya wanita. Aku memang tidak punya anak laki-laki. Apakah dulu tidak kepingin punya anak laki-laki? Tentu saja kepingin. Bahkan aku sudah menyiapkan nama untuk (seandainya lahir) anak laki-laki. Muhammad Faisal. Tapi tidak ada anak laki-laki

Rafi dan Rasyid adalah cucu pertamaku. Mereka kembar. Tidak punya anak laki-laki, alhamdulillah cucu pertama dapat langsung dua laki-laki. Saat ini umur mereka tiga setengah tahun. Sangat aktif dan berhenti bergeraknya mungkin hanya ketika tidur. Bergerak, berlari, memanjat.... pokoknya apa saja. Waktu berumur dua tahun dibelikan magic car. Mobil-mobilan yang bisa mereka kendarai sambil mengayuhnya dengan kaki. Magic car itu mempunyai kemudi. Dalam waktu singkat mereka menjadi ahli mengemudikan mainan itu dan rumah jadi arena balap. Inilah mainan yang sangat lama jadi favorit mereka.

Aktif bergerak tentu ada resiko jatuh. Awal-awalnya dulu, kalau ada yang terjatuh dan sebelum menangis aku menyemangati mereka dengan mengatakan, pemain sepak bola jatuh, ayo cepat berdiri lagi. Mereka tidak jadi menangis meski sempat meringis kecil dan lalu bangkit kembali. Meskipun demikian, Rafi pernah patah gigi dua kali. Gigi yang sama. Sehingga gigi itu jadi tidak beraturan, mirip-mirip seperti diukir. Kami menyebutnya 'gigi barendo'.

Sampai menjelang umur dua tahun, omongan mereka masih belum jelas. Sangat kontras dengan bundanya yang dulu umur satu tahun sudah banyak omong. Tapi sesudah itu..... wah..... pesat sekali kemajuannya. Saat berumur dua tahun itu kami bawa berjalan-jalan ke kampung. Sebuah kenangan yang terpateri di otaknya dan selalu diingatnya sampai sekarang. Rafi ingat ketika dia menggigil kedinginan di pesawat. Mereka ingat gunung Marapi dan Singgalang, danau Singkarak dan Maninjau, jam gadang.

Keduanya mempunyai daya ingat yang baik. Kami mengajarkan mereka memanggil inyiak dan nenek untuk saudara-saudara kami (besan orang Jawa, dan di kalangan besan dia memanggil kakeknya yangkung dan yangti). Mereka mengingat dan mengenali yang mana inyiak apa dengan sangat baik.

Sekarang, semakin hari semakin banyak omong dan mengerti dengan apa yang dikatakannya. Satu kali sang Bunda menyebut sebuah mobil tua di jalan dengan mengatakan mobil itu 'klasik'. Sesudah itu Rasyid menggunakan kata-kata klasik untuk mobil tua yang lain. Mobil adalah kegemaran Rasyid yang paling utama. Dia mengenali (dengan sungguh-sungguh) merek-merek mobil. Avanza, Xenia, Innova, Grand Livina, Mitsubishi Kuda, Mazda, Honda dan entah apa lagi. Jarang mereka mempunyai ketertarikan yang sama untuk sesuatu hal. Tapi untuk Mr. Bean, tokoh dagelanitu, keduanya sama-sama tertarik. Sementara ini Mr. Bean adalah tokoh favorit mereka.

Rafi / Rasyid sudah masuk sekolah (play group) sejak beberapa bulan yang lalu. Sekolah itu di kompleks Masjid Al Husna dekat rumah. Mereka sangat menikmati sekolah itu. Sekolah tiga kali seminggu, Selasa, Rabu dan Jumat. Pagi ini mereka sekolah.

Cucu menjadi hiburan sangat-sangat berharga. Saat ini cucu ke tiga (dari si Tengah) sedang 'diperjalanan'. Mudah-mudahan semua berjalan dengan sebaik-baiknya nanti. Dan akan bertambah cucu.

*****

Hujan

Musim hujan telah tiba.

Sekarang setiap hari hujan. Disertai guruh petir pula. Bahkan kadang-kadang disertai angin ribut. Pernah pula diberitakan ada hujan es. Dan Jakarta punya langganan di saat musim penghujan. Banjir. Banjir yang merendam apa saja.

Musim hujan adalah musim prihatin bagi yang tinggal dekat sungai. Dekat kali, kata orang di sini. Air berwarna kotor coklat menyerbu masuk rumah merendam apa saja yang dapat direndamnya. Kalau sudah begitu tidak ada lagi yang dapat dilakukan penghuni rumah selain menghindar menyelamatkan diri.

Usaha pemerintah daerah mengatasi banjir ada, meski tidak berpengaruh banyak. Banjir masih tetap saja akrab. Karena urusan penyebab banjir itu beraneka rupa. Sejak dari semakin banyak permukaan tanah (untuk meresapkan air) yang ditutupi bangunan, perbukitan di selatan Jakarta yang juga mengalami hal serupa (dipenuhi bungalow dan villa), kesadaran masyarakat yang kurang dalam mengelola sampah (mereka cenderung menganggap kali atau sungai sebagai tong sampah) dan buruknya sistim pengaliran air (drainase).

Akibatnya ya itu tadi. Setiap musim penghujan harus siap berbanjir-banjir. Berkendaraan di jalan-jalan di tengah kota harus bersiap-siap bermacet-macet karena jalan digenangi air. Banjir di tengah Jakarta tidak mesti dikarenakan hujan lokal. Banjir bisa pula berupa kiriman. Biarpun di Jakarta sedang tidak hujan, tapi Bogor dan Depok diguyur hujan lebat, kedua kota itu selalu bermurah hati mengirimi Jakarta dengan limpahan air.

Diberi hujan kebanjiran. Didera panas megap-megap.....

*****