Jumat, 20 Desember 2013

Perjalanan Ke Perhelatan Itu

Perjalanan Ke Perhelatan Itu 

Rencana helat bertegak penghulu itu berhasil memikat hati perantau kampung kami untuk hadir. Orang ingin menyaksikan upacara adat yang langka ini. Menurut catatan, helat bertegak penghulu terakhir dilaksanakan tahun 1942, sudah tujuh puluh satu tahun yang lalu. Kenapa menunggu sekian lama? Entahlah.

Yang sama-sama berangkat satu pesawat denganku ada kakak sepupu dengan cucunya, adikku dengan istri dan seorang kemenakan dari istrinya, lalu aku dengan istri. Pesawat Lion yang kami tompangi terlambat satu jam dari jadwal semula jam 3.30 sore. Kami baru terbang jam setengah lima dan mendarat di Padang jam enam. Cuaca sore itu cerah. Kijang sewaan yang dipesan sebelumnya sudah siap menunggu kami. Tapi ada kabar kurang mengenakkan yang kami terima sebelum berangkat menuju Bukit Tinggi. Ada jembatan rusak di Anai dan antrian bisa sampai 5 jam. Bagaimana kalau kita lewat jalan baru via Sicincin dan Malalak? Ada yang mengatakan bahwa jalan itu ditutup karena ada yang longsor. Kalau mau lewat Sitinjau Lauik, saran seseorang. Lalu yang lain memberi info kalau jalan itu juga sedang bermasalah longsor sehingga tidak lancar. Oalah.... Masih ada satu pilihan lagi, lewat Pariaman - Tiku - Lubuk Basung - Maninjau - Matur baru ke Bukit Tinggi. Masya Allah, malam-malam melalui lintasan yang beriku-liku itu sungguh tidak nyaman. Tiba-tiba kampung terasa jadi jauh, meski kami sudah sampai di Ketaping.

Akhirnya kami sepakat untuk mencoba saja menghadang antrian di tempat jembatan rusak itu. Menurut berita dari adikku yang sudah lebih dahulu melewati lokasi bermasalah itu beberapa jam sebelumnya, dia memerlukan sekitar dua jam tambahan waktu. Mudah-mudahan saja kondisi antriannya sudah berkurang. 

Info pertama tentang jalan macet ini yang disampaikan Okki si pemilik mobil sewa, ketika dia mengingatkan  agar kami segera mencari restoran untuk makan malam dan jangan memikirkan RM Ayia Badarun di luar kota Padang Panjang menuju Bukit Tinggi. Resto yang satu ini memang favorit kami. Waktu aku tanya kenapa, barulah cerita berkembang tentang suasana jalan macet akibat jembatan rusak.

Sudah hampir jam tujuh ketika kami meninggalkan bandara. Dan kami berhenti di RM Lamun Ombak, beberapa kilometer dari bandara. Makan lalu shalat maghrib dan isya. Jam delapan lebih beberapa menit kami berangkat melanjutkan perjalanan. Lalu lintas sedang-sedang saja, tidak sepi tapi juga tidak ramai. Kendaraan bisa dipacu dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Beberapa kali sedikit tersendat ketika harus mendahului iringan truk besar.  Kami lalui Lubuk Alung dengan aman. Lalu Sicincin. Terus Kayu Tanam. Semua lancar-lancar saja. Aku mulai berharap bahwa urusan macet dan antrian sudah tidak ada.

Ternyata salah. Di belokan pertama memasuki lembah Anai kami menemukan antrian itu. Nyaris tak bergerak. Aku baru sadar setelah beberapa saat bahwa dari arah berlawanan juga tidak ada kendaraan. Ternyata antrian itu betul-betul menyesakkan. Bergerak maju beberapa meter kemudian berhenti total untuk beberapa menit yang panjang. Bahkan untuk beberapa menit yang panjang, bukan saja kami tidak bergerak, tapi dari arah berlawanan tidak ada kendaraan yang datang. Aku membayangkan terjadi kebuntuan di titik pertemuan kedua arah ini. Yang membuat lebih kacau, pada saat dari arah berlawanan tidak ada kendaraan yang datang, kendaraan di belakang kami menyerobot mengisi kekosongan di sebelah kanan. Tentu bertambah kacau jadinya.

Begitulah, bukan menit demi menit, jam demi jam berlalu. Kami beringsut-ingsut sedikit sekali. Yang agak mengherankan, pada satu saat ada rombongan dari arah sana bisa berlalu dalam waktu lama, ada sekitar 40 menit tidak berhenti. Kita berharap, sesudah aliran itu berhenti kami pula yang bisa melaju ke arah sana untuk waktu yang sama panjangnya. Tapi disanalah keanehannya. Setelah yang dari atas itu berkurang dan akhirnya berhenti, kami tetap tidak bisa maju. Pada saat itu kembali rombongan dari belakang menerobos ke jalur kanan. Aku, akhirnya berbuat sama, memotong ke kanan. Tapi hanya untuk beberapa ratus meter, tidak sampai satu kilo, kami berhenti di sebuah titik yang hampir sepenuh jalan diisi kendaraan mengarah ke tujuan kami. Lalu macet total. Ya, iyalah. 

Aku matikan mesin mobil. Kakiku terasa pegal karena terlalu lama menginjak kopling. Sambil berdoa saja. Tanpa aku ketahui bagaimana caranya, kemacetan itu tiba-tiba terurai. Kendaraan itu mulai maju pelan-pelan. Masih agak tersendat di beberapa titik lagi, tapi alhamdulillah rombongan ini membuat 'kemajuan'. Dan akhirnya berhasil lepas. Empat jam lebih kami tersekat di lembah Anai.

Jam setengah dua malam kami sampai di tempat menginap di Bukit Tinggi. Akhirnya aku mengalami juga cerita kemacetan jalan Padang - Bukit Tinggi yang kabarnya terjadi setiap libur hari raya Aidil Fitri.

Begitu cerita perjalanan di malam itu.

****

                            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar