Kamis, 04 Mei 2017

Mengunjungi Tempat-tempat Khusus Dengan Pemandu Wisata

Mengunjungi Tempat-tempat Khusus Dengan Pemandu Wisata 

Hari Rabu kami melakukan kunjungan ke tempat-tempat khusus di kota Marakesh dipandu seorang pemandu wisata. Sang pemandu, orang Maroko asli bernama Abdul Aziz, sangat ramah. Kami bertemu dengannya di dekat mesjid jami' Kutubiyah. Dia langsung memulai ceritanya tentang mesjid itu, yang dibangun di penghujung abad ke dua belas. Sebuah mesjid yang mempunyai keistimewaan di kerajaan Maroko. Kutubiyah berarti 'penjual buku', konon mempunyai koleksi buku-buku tentang Islam. Mesjid ini mempunyai menara setinggi 77 meter. Diatur oleh undang-undang bahwa tidak ada bangunan yang boleh lebih tinggi dari menara mesjid ini di kota Marakesh. 

Sayangnya, kami hanya bisa mendengar cerita Abdul Aziz tentang keindahan dan keutamaan mesjid Kutubiyah karena kami tidak bisa melihat keadaan di dalamnya, kecuali kalau kami datang di saat waktu shalat. Karena peraturan yang ditetapkan raja Muhammad VI, semua mesjid di Maroko hanya boleh dibuka di waktu-waktu shalat dan sesudah shalat harus dikunci kembali. Aku menanyakan apa alasan penutupan mesjid di luar waktu shalat dan kami terlibat dalam debat dengan Abdul Aziz tentang peraturan itu. Dia hanya mengatakan bahwa hal tersebut diperintahkan raja, dan tidak ada seorangpun yang berani menyanggahnya.

Kami lanjutkan perjalanan di pagi itu menuju istana Bahia. Melalui quartier juif alias kampung Yahudi. Abdul Aziz menceritakan bahwa dulu di sini bermukim orang-orang Yahudi Maroko dengan tenteram. Mereka berperawakan, berpakaian, memakan makanan yang sama seperti orang Maroko lainnya. Yang membedakan hanyalah bahwa mereka menutup tokonya di hari Sabtu. Sekarang orang-orang Yahudi itu sebahagian besar sudah beremigrasi ke Israel, namun tetap secara berkala pulang ke Maroko. Mereka membahasakan bahwa raja Maroko adalah raja mereka dan Maroko adalah tanah air mereka. Abdul Aziz menambahkan bahwa saat ini 8 orang menteri Israel adalah orang Yahudi Maroko. Waktu dia begitu bersemangat bercerita tentang Yahudi Maroko, aku bertanya dengan canda, apakah dia seorang Yahudi? Bukan, jawabnya. Saya asli Maroko dan Islam. Saya sudah pergi haji....

Kami sampai di istana Bahia. Istana (disebutnya palais, palace) tapi bukan untuk tempat tinggal raja, melainkan untuk perdana menteri, Sidi Musa. Istana ini dibangun di akhir abad sembilan belas, diberi nama Bahia, seperti nama istri perdana menteri Musa, yang memberinya anak laki-laki pertama. Dari luar tidak terlihat istimewa, tapi di dalamnya cukup mengagumkan. Menurut Abdul Aziz, penampakan sederhana dari luar ini adalah sebagai sikap tidak suka pamer.
Istana ini menempati tanah seluas 8000 meter persegi, mempunyai puluhan kamar-kamar, taman-taman dan air mancur. Ada kamar untuk keempat istri Sidi Musa di samping kamar lain untuk para selir. Bagian dalam istana ini dihiasi dengan kalighrafi serta mosaik keramik yang disusun dari potongan keramik-keramik kecil yang dikerjakan ahlinya yang berasal dari Fes. Luar biasa juga hebatnya perdana menteri Sidi Musa ini. Selama masa protektorasi Perancis, istana ini ditempati oleh gubernur Perancis. Gubernur ini menambahkan cerobong asap (chimney) yang menurut pendapat Abdul Aziz sangat dipaksakan dan justru memperburuk keindahan istana. Saat ini istana tersebut hanya jadi cagar budaya dan kelihatan rusak di beberapa tempat. Abdul Aziz menjelaskan bahwa furniture dan permadani istana ini sudah tidak ada lagi karena sebahagian besar hilang dicuri orang.

Seterusnya kami mengunjungi madrasah Bin Yusuf. Perlu diketahui bahwa semua objek yang kami kunjungi terletak di dalam kota lama (Medina) dan kami berjalan kaki untuk mencapainya, melalui pasar tradisional yang sangat luas. Jarak dari Istana Bahia ke madrasah sekitar 3 kilometer. 

Madrasah ini dibangun oleh salah satu raja Maroko, yakni Sultan Ali bin Yusuf yang memerintah antara tahun 1106 - 1142. Dengan pergantian waktu, sejak abad ke empatbelas, madrasah ini berubah menjadi sebuah universitas untuk pendidikan agama Islam dan merupakan yang terbesar di Maroko dan bahkan termasuk yang paling baik di Afrika Utara. Sebagian besar ulama Maroko berasal dari sekolah ini. 

Bangunan besar ini disamping mempunyai ruang belajar, mesjid, taman (lapangan) serta kolam tempat bersuci mempunyai 130 buah kamar untuk para santrinya. Kamar-kamar berukuran kecil sekitar 10 sampai 12 meter persegi. Ada yang mempunyai jendela dan ada yang tidak. Kamar-kamar itu benar-benar digunakan untuk tempat tidur saja, karena sehari-harian para santri berada di ruang belajar atau mesjid. 

Sayang sekali bahwa sarana pendidikan ini akhirnya ditutup di tahun 1962 karena, pemerintah memperkenalkan sistim pengajaran baru bahkan untuk sekolah berbasis agama

Bangunan ini direnovasi dan dibuka kembali sebagai peninggalan sejarah sejak tahun 1982. Kondisinya sekarang terlihat kurang terpelihara. Abdul Aziz mengatakan karena pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk memeliharanya lebih layak.

Demikian kunjungan kami ke objek sejarah kota Marakesh di hari itu, yang kami lakukan sejak jam sepuluh pagi dan berakhir jam empat sore.   

**** 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar