Jumat, 15 November 2013

Adakah Yang Hilang Dalam Da'wah?

Adakah Yang Hilang Dalam Dakwah?

Pada suatu kesempatan, aku berbincang dengan seorang rekan dalam obrolan santai selama rehat kopi. Tentang kualitas iman umat Islam secara umum. Dia mengambil contoh di kampungnya sendiri di Madura sana. Menurut pengamatannya, ada penurunan kualitas keimanan warga kampungnya sejak tidak lagi diasuh oleh seorang Kiyai, yang kebetulan sudah meninggal. Ketika Sang Kiyai masih hidup dan masih kuat berdakwah, keimanan masyarakat jauh lebih baik. Bagaimana mengukurnya, aku bertanya. Dulu orang kampung lebih taat, begitu jawabnya. Masyarakat langsung mengukur setiap perbuatan dengan berdosa dan berpahala. Kalau mereka bersedekah, berpahala. Lalu orang gemar bersedekah. Kalau berjudi, itu adalah perbuatan dosa. Dan orang saling mengingatkan resiko berbuat dosa tersebut. Resiko yang bisa diterima di dunia dan akan ditambah lagi nanti dengan siksa akhirat. Itu sebagai contoh. Dulu itu, Sang Kiyai tidak ada capek-capeknya mengingatkan umat. Dengan pengajian yang intinya mungkin sangat dasar, tentang dosa dan pahala, tetapi disampaikan dengan tepat. Dan dengan santun. Dulu, kata rekan ini menambahkan, hampir tidak ada kasus kriminalitas di kampungnya. Hampir tidak ada orang berbuat dosa setidaknya secara terang-terangan. Aku bertanya lagi, apa maksudnya berbuat dosa secara terang-terangan. Dia memberi contoh, perjudian, perzinaan, mabuk-mabukan, membungakan uang. Lha, apa sekarang orang melakukannya terang-terangan, aku bertanya lebih lanjut. Dan dia menjawab, iya.

Aku bertanya pula, apakah tidak ada ulama pewaris Kiyai tersebut. Dia jawab, ada. Putera Sang Kiyai sendiri, yang bahkan lebih tinggi sekolahnya. Sang Putera ini tamatan Timur Tengah, yang harusnya tentu lebih luas ilmunya. Lalu, kenapa dong? aku bertanya lagi. Menurut rekan ini, perbedaan mendasar terletak pada semangat pergi berdakwah. Meskipun dia lebih berilmu, tapi dalam hal pergi menyampaikan dakwah dia kalah gesit dibandingkan dengan ayahnya.

Tapi mungkin ada pula pengaruh tatanan kehidupan masyarakat sekarang, aku mencoba berkomentar. Dia bertanya apa yang aku maksud. Lalu aku jelaskan, bahwa masyarakat kita, di mana saja saat ini ikut dipengaruhi kemajuan peradaban. Ada televisi, ada internet, ada hape sampai ke kampung-kampung. Dan kita kan tahu, bahwa dengan semua alat-alat moderen itu sangat mudah membawa pengaruh buruk. Dulu orang kampung tidak kenal dengan narkoba, tidak kenal dengan video porno. Tapi sekarang?

Benar juga, katanya. Tapi dulu bukannya tidak ada tantangan berbuat dosa. Orang sudah kenal juga dengan yang namanya arak, dengan namanya judi. Atau keinginan mengumbar syahwat. Tapi semua ini berhasil diredakan oleh dakwah Sang Kiyai. Harusnya kiyai-kiyai sekarang lebih gigih lagi berdakwah kepada masyarakat. Dakwah bilhal. Dan disertai dengan contoh ketawadhuk-an. Mubaligh yang menyampaikan dakwahnya dengan santun namun tegas ke pokok masalah. Menjelaskan dengan gamblang mana yang boleh mana yang tidak boleh. Di atas segala-galanya mereka berdakwah semata-mata mencari keridhaan Allah. Lillahi ta'ala.

Aku setuju. Kalau dipikir, memang dengan cara berdakwah seperti itulah Islam dibawa ke negeri kita ini dahulu. Dengan dakwah yang menyejukkan serta langsung dengan memberi contoh nyata. Dan masyarakat langsung melihatnya sebagai kebajikan di tengah alam kehidupan. Rahmatan lil'alamiin. Saat ini sepertinya kita kekurangan mubaligh seperti itu sementara tantangan untuk mempertahankan keimanan semakin berat.

Aku mencoba mencerna dan membandingkan apa yang kami diskusikan dengan kondisi di kampungku. Kami juga mempunyai seorang ustadz panutan masyarakat. Beliau juga sudah berpulang kerahmatullah beberapa tahun yang lalu. Aku belum bisa menilai apakah tingkat keimanan masyarakat kampungku menurun sejak kepergian beliau. Wallahu a'lam.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar