Senin, 26 Oktober 2015

Merdeka Dan Demokrasi Kita

Merdeka Dan Demokrasi Kita 

Negeri kita ini dulu dijajah sangat lama. Yang paling lama bercokol dan berkuasa di sini adalah Belanda. Beratus tahun mereka menerajui negeri-negeri di kepulauan Nusantara yang berhasil mereka adu domba. Berperang di Jawa mereka bawa serdadu berkulit coklat dari Sulawesi dan Ambon. Berperang di Aceh mereka bawa serdadu dari Jawa dan Madura. Mereka perlaga-lagakan antara kita sesama kita, dan dengan cara seperti itu Belanda berhasil menguasai negeri-negeri di Nusantara ini, berlama-lama. 

Dengan izin Allah, akhirnya penjajah dapat diusir. Dan kitapun merdeka. Tidak serta merta dalam suasana aman damai, bahkan berdarah-darah di awal kemerdekaan tersebut. Ya, Indonesia akhirnya merdeka. Merdeka berarti bahwa yang berkuasa tidak lagi orang asing. Yang jadi pemimpin sejak dari yang paling atas adalah orang Indonesia. Presiden, menteri-menteri, gubernur, bupati, semua orang Indonesia. Berubahkah taraf kehidupan rakyat banyak sesudah merdeka? Karena hasil bumi negeri ini tidak lagi diambil penjajah, tapi boleh dinikmati sendiri? Ternyata nikmat kemerdekaan tidak semudah itu. Yang terjadi malah kebalikannya, kehidupan rakyat biasa jadi lebih sulit. Dengan lugu sebahagian rakyat berderai itu termimpi-mimpi agar bisa hidup lagi seperti di zaman 'normal'. Yang mereka maksud adalah seperti ketika masih dijajah Belanda dulu. Lho, kok begitu? Lalu apa yang salah?   

Dulu, ketika penjajah Belanda membuat peraturan maka aturan itu harus dipatuhi orang banyak. Kalau ada yang melanggar aturan, pemerintah penjajah dengan senang hati menghukum pelakunya. Menghukum ini disamping untuk menegakkan keadilan sekaligus juga untuk mendapatkan tenaga murah untuk kerja paksa. Sebuah contoh sederhana, tambang batubara di Sawahlunto dahulu itu mempekerjakan berpuluh kalau tidak beratus 'orang rantai' atau orang hukuman. Maka 'keadilan hukum' di tengah masyarakat berdiri lebih kokoh. Orang harus berpikir panjang sebelum membuat kejahatan.

Sejak Indonesia merdeka, hukum tidak lagi tajam. Hukum makin lama makin centang parenang. Tajamnya hanya ke bahagian paling ujung di paling bawah. Di bahagian tengah, apalagi di pangkalnya sangat tumpul. Seorang pencuri dua butir telor akan dipenjarakan sungguhan. Kebalikannya, seorang koruptor yang tertangkap, kalaupun dipenjarakan, dia masih bisa bebas berkeliaran. Bahkan kalaupun mesti tinggal di penjara, dia bisa menyulap sel tahanannya menjadi seperti kamar hotel berbintang. Begitu menurut berita.

Karena hukum tidak lagi adil, orang seperti tidak takut berbuat jahat. Banyak orang merasa merdeka untuk berbuat apapun untuk kepentingan dirinya, atau kelompoknya. Ini terjadi hampir di setiap starata kehidupan masyarakat. Ada orang-orang kecil yang berbuat jahat sesuka-sukanya. Memperkosa, merampok, mencuri, membunuh dengan sadis. Ada orang-orang kelas menengah berbuat makar sesuka-sukanya pula. Menelikung, menipu, korupsi. Orang-orang di lapisan atas apalagi. Orang-orang tersebut tidak punya rasa takut dan rasa malu. Orang tidak merasa malu hidup bermewah-mewah padahal penghasilannya jelas tidak memungkinkan kehidupan mewah tersebut.   

Sampai kemerdekaan berumur lebih dari setengah abad, banyak yang menduga, keadaan ambur-adul negeri ini disebabkan karena terlalu lamanya kekuasaan terpegang di satu tangan. Selama setengah abad itu pula, yang benar-benar menikmati kejayaan dan kebahagiaan dalam kemerdekaan hanyalah mereka-mereka yang sangat dekat dengan kekuasaan. Presiden pertama memerintah lebih dari dua puluh tahun. Dalam kurun waktu itu, secara perlahan-lahan dia menobatkan dirinya menjadi setengah 'dewa'. Dia yang sangat berkuasa menghitam dan memutihkan negeri ini, menghukum dan memenjarakan orang-orang yang tidak disukainya, melantik dirinya menjadi presiden seumur hidup dengan panggilan Paduka Yang Mulia. Tapi dengan kehendak Allah dia terjungkal. Terjatuh ke tempat yang mungkin tidak pernah dibayangkannya sebelumnya. Presiden kedua, berkuasa lebih lama lagi, tiga puluh dua tahun. Hampir-hampir sama, diapun menjadi seorang yang sangat berkuasa penuh dan sangat ditakuti. Berani menyanggahnya, besar resikonya. Akhirnya diapun jatuh.  

Setelah selama itu berada di bawah kekuasaan totaliter seorang pemimpin, orang banyak yang diwakili oleh kaum cerdik pandainya menginginkan perubahan sistim. Menjadikan negeri ini lebih demokratis. Demokrasi secara umum artinya membolehkan rakyat berderai memilih dan menentukan cara pengaturan negeri ini. Rakyat  memilih wakilnya yang akan duduk di dewan perwakilan. Wakil-wakil ini (diharapkan) akan memperjuangkan kepentingan rakyat banyak pemilihnya untuk mencapai kesejahteraan bersama. Dibuatlah berbagai perubahan peraturan dan perundang-undangan. Di antaranya, kekuasaan presiden tidak boleh lagi terlalu lama, cukup maksimum dua kali lima tahun. 

Tiba-tiba Republik Indonesia menjadi salah satu negeri yang paling demokratis di dunia. Rakyat memilih wakilnya untuk jadi anggota dewan, atau memilih pemimpinnya, sejak dari presiden, gubernur, bupati melalui pemungutan suara. Tiap sebentar ada pemilu. Untuk memilih anggota dewan atau memilih bupati. Atau gubernur. Atau presiden. Tapi demokrasi ini, kemudian terasa hambar. Tidak membawa perubahan berarti kepada rakyat banyak. Dia hanya mempunyai arti untuk wakil-wakil rakyat. Menjadi wakil rakyat sebagai anggota dewan, yang paling rendah (di tingkat kabupaten) sampai yang paling tinggi di tingkat negara, memang sangat nyaman dan menyenangkan. Kehidupan para anggota dewan ini sangat tercelak penuh glamour. Penghasilan mereka susah dihitung kalau melihat kenyamanan hidup mereka. 

Wakil-wakil rakyat itu adalah orang-orang partai. Orang-orang yang mendapat kesempatan dan keuntungan melalui partai. Jadi mereka juga sangat loyal kepada partai. Apa yang terjadi kemudian? Mereka lebih membela partai daripada membela kepentingan rakyat  pemilihnya. 

Baik untuk menjadi anggota dewan, maupun untuk menjadi pimpinan negeri, setiap calon harus mengeluarkan biaya besar. Biaya kampanye, biaya tim sukses, biaya ini-itu. Perlu dana ber MM yang harus dirogoh dari kocek sendiri. Kalaupun ada sponsor, pastilah sponsor yang nanti akan minta fasilitas ekstra seandainya yang disponsori terpilih. Kalau kalah, ya kalahlah sendiri. Tanggungkanlah sendiri. Tapi kalau tembus, terpilih sesuai dengan cita-cita, tentulah harus 'bekerja keras' untuk mengembalikan modal. Caranya dengan sipak sintung ke sana ke mari, menggunting mana-mana yang terjumbai. Kurang pandai bermain, maka jadilah sasaran tembak Komisi Pemberantas Korupsi. Ratusan orang yang telah dicokok oleh KPK. Ada mantan menteri, mantan gubernur, mantan bupati, mantan anggota dewan.  

Seperti itulah demokrasi tadi itu. Biaya setiap pesta demokrasi tadi itu bukan main-main besarnya. Yang bahkan membuat kita terheran-heran. Dari mana pemerintah mengambil dana untuk biaya setiap pesta demokrasi itu? Ternyata dari hutang. Sudah berlungguk-lungguk hutang. Takut kita mendengar angkanya. Dan entah dengan apa hutang itu akan dibayar nanti. 

Masyarakat negara kita ini secara keseluruhan hanyalah kumpulan orang-orang penikmat dunia tapi tidak seberapa mampu membuahkan hasil karya. Kita adalah kumpulan orang-orang yang rancak di labuah kata orang Minang. Parlente, tapi banyak hutang. Lihatlah jalan-jalan raya kita, penuh sesak dengan kendaraan sehingga macet di mana-mana, tapi tidak sebuahpun dari kendaraan-kendaraan itu buatan anak negeri. Semua barang impor. Kita membeli apa saja, dan belum mampu membuatnya sendiri. Hasil pertanian negeri yang sangat luas ini tidak cukup untuk kita makan sehingga perlu mengimpor sebagian. Ikan di laut kita yang luas banyak dicuri orang tanpa kita mampu melindunginya. Kayu dari hutan-hutan kita sudah habis kita babat. Hasil tambang kita dikuasai oleh orang-orang asing.  

Sudah tujuh puluh tahun lebih negara kita merdeka. Tapi rakyat negeri ini masih begitu-begitu saja. Masih terlalu banyak yang belum merasakan buah kemerdekaan sebenarnya. Terpuruk dalam himpitan sulitnya hidup. Tetap kita berharap. Suatu saat keadaan ini akan berubah ke arah yang lebih baik. Untuk semua kita......

****                    

2 komentar:

  1. Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu,

    Angku Muhammad Dafiq Saib nan saya muliakan, harapan saya seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati nikmat kemerdekaan tersebut. Semoga doa orang yang beriman dikabulkan Allah Ta'ala.

    Wassalam.

    Idris Talu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikumussalam wa rahmatullaahi wa barakaatuhu...... Tarimo kasih angku Idris Talu. Ambo aamiin kan doa angku Idris.... wassalam...

      Hapus