Sabtu, 09 Agustus 2014

Serba-serbi Selama Perawatan

Serba-serbi Selama Perawatan

Setelah terkapar sakit beberapa hari, si Tengah yang sedang di rumah sebelum keberangkatannya, sudah nyinyir menyuruh ke dokter. Dia (yang dokter gigi) bersikukuh mengatakan tidak ada istilah masuk angin secara medis. Artinya ada sesuatu yang tidak beres dan itu hanya mungkin dianalisa oleh dokter, katanya. Dengan (masih) bergurau, saat itu aku jawab bahwa sudah tidak ada dokter yang praktek karena semua bersiap-siap menyambut lebaran.  

Akhirnya, setelah masalah jadi lebih serius karena tidak bisa buang air kecil, aku terpaksa menyerah dibawa ke Rumah Sakit. Pada hari kedua datang ke Rumah Sakit, si Sulung yang ikut menemani dan mendengar penjelasan dokter memberitahuku, bahwa aku harus menjalani cuci darah. Reaksi pertamaku tentu saja kaget. Aku tidak tahu apa persisnya yang disebut cuci darah, tapi aku pernah mendengar bahwa cara pengobatan seperti ini berlangsung selama sisa hidup orang yang menjalaninya. Minimal harus cuci darah sekali seminggu. Kalau aku juga dihadapkan pada kondisi seperti itu betapa akan sangat beratnya bagiku.

Rumah Sakit Harum tidak punya fasilitas lebih untuk operasional cuci darah. Alat mereka yang terbatas semuanya sudah fully booked. Aku dianjurkan mencari Rumah Sakit lain. Si Bungsu sibuk menghubungi beberapa RS lain dan akhirnya menemukan Mitra Keluarga Bekasi Timur. Penerimaan staff mereka menyenangkan dan penuh perhatian. Alhamdulillah. Dokter ahli penyakit dalam yang bertanggung jawab untuk cuci darah datang menemuiku menerangkan proses yang harus dijalani. Dia seorang Chinese di usia sekitar pertengahan empat puluhan. Sangat ramah dan baik. Di antara penjelasan yang diberikannya, bahwa untuk proses cuci darah diperlukan pengencer darah. Pengencer darah yang biasa digunakan di Rumah Sakit tersebut terdiri dari unsur babi, Heparin namanya. Dia menanyakan pendapatku. Reaksiku spontan, aku tidak mau menggunakan zat itu. Baik, katanya. Alternatifnya adalah Aristra, yang mereka tidak punya pengalaman memakainya dan harganya jauh lebih mahal. Aku katakan, bahwa aku mau menggunakan yang terakhir ini saja.

Sebelum proses cuci darah mereka menanamkan alat (pipa plastik) di leherku. Aku dibius waktu mereka mengerjakannya. Kemudian, setelah dokter menyatakan proses cuci darah sudah dianggap selesai, dan alat tersebut dicabut, baru aku tahu bahwa yang ditanamkan di leherku itu adalah pipa plastik masif, sepanjang 12 senti dengan diameter 4mm. Pastinya mereka yang memasang alat itu adalah orang-orang yang ahli. Aku terheran-heran melihat bagaimana benda sebesar itu ditanamkan tanpa aku merasa sakit yang berarti. 

Proses cuci darah pertama dijalani dengan aman. Waktunya 4 jam. Tidak ada rasa sakit. Waktu yang panjang itu aku lalui sambil tidur, mungkin akibat pengaruh obat bius yang digunakan sebelum pemasangan alat di leherku itu.  

Besoknya aku menjalani cuci darah kedua. Ternyata terjadi beberapa gangguan. Darah yang disedot keluar ternyata beku. Aku dengar lamat-lamat, ini karena tidak menggunakan pengencer Heparin (unsur babi). Suster petugas bekerja keras untuk mengatasinya. Akhirnya mereka meminta Aristra tambahan (dua lagi). Harga Arista hampir Rp 500 ribu sementara Heparin hanya Rp 65 ribu dan cukup untuk dipakai beberapa orang. Istriku bertanya apakah dengan memakai Aristra pekerjaan itu bisa diselesaikan (meski lama)? Kata suster bisa. Jawab istriku, kalau begitu tolong diteruskan saja. 

Pagi-pagi di hari kedua di rumah sakit, sesudah aku shalat subuh dengan sebelumnya bertayamum, perawat menawarkan apakah aku mau dimandikan (dilap). Aku bilang mau, tapi tolong panggilkan istriku. Kata petugas istri bapak tidak boleh masuk ruangan ini kecuali nanti jam 10 siang.  Aku akhirnya dibersihkan oleh perawat, meski aku merasa sangat risi. Aku tanyakan apakah aku bisa diantarkan ke toilet untuk BAB. Kata suster tidak bisa. Di ruang khusus itu tidak ada toilet. Jadi kalau aku mau BAB harus menggunakan pispot atau langsung saja karena aku memakai pamper. Hari itu aku tidak melakukannya. Besoknya dengan sedikit memaksa, setelah istriku hadir di ruangan itu, mereka membawaku ke toilet khusus untuk karyawan. Alhamdulillah, di sana aku bisa membuang hajat.

Hari ketiga, sesudah cuci darah kedua dan pemeriksaan rontgen untuk memeriksa ginjal, dokter ahli ginjal berkesimpulan (sementara) tidak ada yang salah dengan ginjal. Dia yang tadinya memberitahuku akan langsung melakukan tindakan operasi seandainya dia menemukan masalah di ginjal menjelaskan lagi bahwa tidak ada operasi yang perlu dia lakukan.  

Hari kelima aku diizinkan pulang untuk kembali lagi hari Selasa berikutnya untuk cuci darah keempat. Terjadi keanehan, di rumah, pada hari Ahad sehari sesudah pulang aku tiba-tiba bisa buang air kecil dengan lancar dan normal. Begitu juga di hari raya (hari Senin). Tapi tiba-tiba macet lagi di hari Selasa. Hari Selasa aku jalani cuci darah ke empat. Kali ini suster yang mengurus pekerjaan itu kembali menghadapi masalah, dengan darah yang menurut dia beku. Berkali-kali diusahakannya mengatasi kebuntuan, namun darah tetap tidak bisa keluar. Mungkin karena dia tahu aku tidak akan mau menerima penggunaan Heparin, dia akhirnya mengusulkan solusi untuk membuat saluran baru melalui vena di dekat pergelangan tangan. Aku bilang silahkan saja. Percobaan pertama gagal pula. Baru pada percobaan kedua usaha itu berhasil. Menurut istriku dia bergidik melihat ukuran jarum yang digunakan. Aku tidak merasa sakit karena dibius lokal sebelumnya. 

Dari hasil test darah sebelum proses cuci darah, ditemukan bahwa kreatinin dan ureum dalam darah kembali tinggi. Dokter menduga bahwa aku menggunakan obat lain, yang aku akui demikian. Dokter memperingatkan agar sementara jangan menggunakan obat lain karena menurut dia, obat-obat itu saling bereaksi dan membiarkan penyakit tidak terobati. 

Cuci darah berikutnya adalah hari Jumat, tiga hari kemudian. Aku telah menghentikan penggunaan obat herbal, dan alhamdulillah sejak hari Rabu sesudah cuci darah keempat sudah bisa lagi buang air kecil. Waktu aku tertidur selama proses itu, tiba-tiba aku dibangunkan suster memberitahu bahwa dokter ingin berbicara kepadaku. Dokter itu sudah ada di sisi tempat tidur. Wajahnya ceria. Dia bilang, hasil test hari ini bagus sekali. Akupun bercerita bahwa sejak hari Rabu aku sudah bisa buang air kecil dengan lancar. Ini mu'jizat namanya, katanya. Setelah hasil lab hari Selasa yang lalu, dia jadi agak pesimis  dan memesan media yang harus ditanam di lengan yang digunakan pelanggan cuci darah abadi. Tapi dari hasil hari ini, pesanan itu saya batalkan katanya. Dia berpesan agar pada kunjungan tiga hari berikutnya, cukup melakukan pemeriksaan darah saja dan langsung ke tempat prakteknya. Setelah itu akan dijelaskannya apa yang harus dilakukan.

Hari Senin awal pekan ini aku lakukan seperti yang disarankannya. Periksa darah di lab, lalu dengan hasilnya menemui dokter tersebut di ruang prakteknya. Keputusannya hari itu tidak usah cuci darah. Tapi dia minta agar datang tiga hari lagi untuk test darah lagi. Kalau hasilnya masih sama (meski sebenarnya sedikit di atas ambang batas, menurut dia) baru alat yang ditanam di leher itu bisa dicabut.

Hari Kamis aku datang lagi. Test darah lagi. Dan hasilnya, dokter mengizinkan agar 'insang' yang dicantelkan di leherku boleh dilepas. Alhamdulillah.....

****  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar