Serba-serbi Selama Perawatan
Setelah
terkapar sakit beberapa hari, si Tengah yang sedang di rumah sebelum
keberangkatannya, sudah nyinyir menyuruh ke dokter. Dia (yang dokter
gigi) bersikukuh mengatakan tidak ada istilah masuk angin secara medis.
Artinya ada sesuatu yang tidak beres dan itu hanya mungkin dianalisa
oleh dokter, katanya. Dengan (masih) bergurau, saat itu aku jawab bahwa
sudah tidak ada dokter yang praktek karena semua bersiap-siap menyambut
lebaran.
Akhirnya,
setelah masalah jadi lebih serius karena tidak bisa buang air kecil,
aku terpaksa menyerah dibawa ke Rumah Sakit. Pada hari kedua datang ke
Rumah Sakit, si Sulung yang ikut menemani dan mendengar penjelasan
dokter memberitahuku, bahwa aku harus menjalani cuci darah. Reaksi
pertamaku tentu saja kaget. Aku tidak tahu apa persisnya yang disebut
cuci darah, tapi aku pernah mendengar bahwa cara pengobatan seperti ini
berlangsung selama sisa hidup orang yang menjalaninya. Minimal harus
cuci darah sekali seminggu. Kalau aku juga dihadapkan pada kondisi
seperti itu betapa akan sangat beratnya bagiku.
Rumah Sakit Harum tidak punya fasilitas lebih untuk operasional cuci darah. Alat mereka yang terbatas semuanya sudah fully booked.
Aku dianjurkan mencari Rumah Sakit lain. Si Bungsu sibuk menghubungi
beberapa RS lain dan akhirnya menemukan Mitra Keluarga Bekasi Timur.
Penerimaan staff mereka menyenangkan dan penuh perhatian. Alhamdulillah.
Dokter ahli penyakit dalam yang bertanggung jawab untuk cuci darah
datang menemuiku menerangkan proses yang harus dijalani. Dia seorang
Chinese di usia sekitar pertengahan empat puluhan. Sangat ramah dan
baik. Di antara penjelasan yang diberikannya, bahwa untuk proses cuci
darah diperlukan pengencer darah. Pengencer darah yang biasa digunakan
di Rumah Sakit tersebut terdiri dari unsur babi, Heparin namanya. Dia
menanyakan pendapatku. Reaksiku spontan, aku tidak mau menggunakan zat
itu. Baik, katanya. Alternatifnya adalah Aristra, yang mereka tidak
punya pengalaman memakainya dan harganya jauh lebih mahal. Aku katakan,
bahwa aku mau menggunakan yang terakhir ini saja.
Sebelum
proses cuci darah mereka menanamkan alat (pipa plastik) di leherku. Aku
dibius waktu mereka mengerjakannya. Kemudian, setelah dokter menyatakan
proses cuci darah sudah dianggap selesai, dan alat tersebut dicabut,
baru aku tahu bahwa yang ditanamkan di leherku itu adalah pipa plastik
masif, sepanjang 12 senti dengan diameter 4mm. Pastinya mereka yang
memasang alat itu adalah orang-orang yang ahli. Aku terheran-heran
melihat bagaimana benda sebesar itu ditanamkan tanpa aku merasa sakit
yang berarti.
Proses
cuci darah pertama dijalani dengan aman. Waktunya 4 jam. Tidak ada rasa
sakit. Waktu yang panjang itu aku lalui sambil tidur, mungkin akibat
pengaruh obat bius yang digunakan sebelum pemasangan alat di leherku
itu.
Besoknya
aku menjalani cuci darah kedua. Ternyata terjadi beberapa gangguan.
Darah yang disedot keluar ternyata beku. Aku dengar lamat-lamat, ini
karena tidak menggunakan pengencer Heparin (unsur babi). Suster petugas
bekerja keras untuk mengatasinya. Akhirnya mereka meminta Aristra
tambahan (dua lagi). Harga Arista hampir Rp 500 ribu sementara Heparin
hanya Rp 65 ribu dan cukup untuk dipakai beberapa orang. Istriku
bertanya apakah dengan memakai Aristra pekerjaan itu bisa diselesaikan
(meski lama)? Kata suster bisa. Jawab istriku, kalau begitu tolong
diteruskan saja.
Pagi-pagi
di hari kedua di rumah sakit, sesudah aku shalat subuh dengan
sebelumnya bertayamum, perawat menawarkan apakah aku mau dimandikan
(dilap). Aku bilang mau, tapi tolong panggilkan istriku. Kata petugas
istri bapak tidak boleh masuk ruangan ini kecuali nanti jam 10 siang.
Aku akhirnya dibersihkan oleh perawat, meski aku merasa sangat risi. Aku
tanyakan apakah aku bisa diantarkan ke toilet untuk BAB. Kata suster
tidak bisa. Di ruang khusus itu tidak ada toilet. Jadi kalau aku mau BAB
harus menggunakan pispot atau langsung saja karena aku memakai pamper.
Hari itu aku tidak melakukannya. Besoknya dengan sedikit memaksa,
setelah istriku hadir di ruangan itu, mereka membawaku ke toilet khusus
untuk karyawan. Alhamdulillah, di sana aku bisa membuang hajat.
Hari
ketiga, sesudah cuci darah kedua dan pemeriksaan rontgen untuk
memeriksa ginjal, dokter ahli ginjal berkesimpulan (sementara) tidak ada
yang salah dengan ginjal. Dia yang tadinya memberitahuku akan langsung
melakukan tindakan operasi seandainya dia menemukan masalah di ginjal
menjelaskan lagi bahwa tidak ada operasi yang perlu dia lakukan.
Hari
kelima aku diizinkan pulang untuk kembali lagi hari Selasa berikutnya
untuk cuci darah keempat. Terjadi keanehan, di rumah, pada hari Ahad
sehari sesudah pulang aku tiba-tiba bisa buang air kecil dengan lancar
dan normal. Begitu juga di hari raya (hari Senin). Tapi tiba-tiba macet
lagi di hari Selasa. Hari Selasa aku jalani cuci darah ke empat. Kali
ini suster yang mengurus pekerjaan itu kembali menghadapi masalah,
dengan darah yang menurut dia beku. Berkali-kali diusahakannya mengatasi
kebuntuan, namun darah tetap tidak bisa keluar. Mungkin karena dia tahu
aku tidak akan mau menerima penggunaan Heparin, dia akhirnya
mengusulkan solusi untuk membuat saluran baru melalui vena di dekat
pergelangan tangan. Aku bilang silahkan saja. Percobaan pertama gagal
pula. Baru pada percobaan kedua usaha itu berhasil. Menurut istriku dia
bergidik melihat ukuran jarum yang digunakan. Aku tidak merasa sakit
karena dibius lokal sebelumnya.
Dari
hasil test darah sebelum proses cuci darah, ditemukan bahwa kreatinin
dan ureum dalam darah kembali tinggi. Dokter menduga bahwa aku
menggunakan obat lain, yang aku akui demikian. Dokter memperingatkan
agar sementara jangan menggunakan obat lain karena menurut dia,
obat-obat itu saling bereaksi dan membiarkan penyakit tidak terobati.
Cuci
darah berikutnya adalah hari Jumat, tiga hari kemudian. Aku telah
menghentikan penggunaan obat herbal, dan alhamdulillah sejak hari Rabu
sesudah cuci darah keempat sudah bisa lagi buang air kecil. Waktu aku
tertidur selama proses itu, tiba-tiba aku dibangunkan suster memberitahu
bahwa dokter ingin berbicara kepadaku. Dokter itu sudah ada di sisi
tempat tidur. Wajahnya ceria. Dia bilang, hasil test hari ini bagus
sekali. Akupun bercerita bahwa sejak hari Rabu aku sudah bisa buang air
kecil dengan lancar. Ini mu'jizat namanya, katanya. Setelah hasil lab
hari Selasa yang lalu, dia jadi agak pesimis dan memesan media yang
harus ditanam di lengan yang digunakan pelanggan cuci darah abadi. Tapi
dari hasil hari ini, pesanan itu saya batalkan katanya. Dia berpesan
agar pada kunjungan tiga hari berikutnya, cukup melakukan pemeriksaan
darah saja dan langsung ke tempat prakteknya. Setelah itu akan
dijelaskannya apa yang harus dilakukan.
Hari
Senin awal pekan ini aku lakukan seperti yang disarankannya. Periksa
darah di lab, lalu dengan hasilnya menemui dokter tersebut di ruang
prakteknya. Keputusannya hari itu tidak usah cuci darah. Tapi dia minta
agar datang tiga hari lagi untuk test darah lagi. Kalau hasilnya masih
sama (meski sebenarnya sedikit di atas ambang batas, menurut dia) baru
alat yang ditanam di leher itu bisa dicabut.
Hari
Kamis aku datang lagi. Test darah lagi. Dan hasilnya, dokter
mengizinkan agar 'insang' yang dicantelkan di leherku boleh dilepas.
Alhamdulillah.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar