Rabu, 19 Februari 2014

Selembar Kain Kehormatan (Dari Nabawia.com)

Selembar Kain Kehormatan

Pernah mengalami pelecehan seksual gara-gara pakaian yang dikenakan? Aku pernah mengalaminya belasan tahun lalu ketika aku masih SMP. Sore itu aku dan bibiku berbelanja di salah satu pertokoan di kota kami, Purwakarta. Bibiku sedang membayar belanjaan di kasir, aku berdiri di belakangnya. Segerombol pria berjumlah sekitar lima orang berdiri tak jauh dari kami.

“Harga susu yang menonjol dan menyebabkan harga pisang naik,” begitu ucap salah seorang pria dalam gerombolan. Otakku bekerja, mencerna perkataan pria itu. Akhirnya, kusadari bahwa ucapan pria itu bertujuan untuk menyindirku. Saat itu aku memakai T-shirt ketat warna kuning terang yang otomatis menunjukkan dengan jelas lekuk tubuh. Meski sebal, aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak kutanggapi keisengan pria itu. Aku dan bibiku berlalu meninggalkan toko.

Setelah keluar dari toko, bibiku tak berkomentar tentang kejadian tadi. Mungkin ia tidak merasa keponakannya telah dilecehkan secara lisan. Aku juga tak membahasnya. Lagipula, memang salahku yang memakai baju ketat sehingga mengundang keisengan lawan jenis. Aku memang senang sekali memakai baju yang bagus dan menarik perhatian. Setiap beli baju, aku pasti memilih baju yang terlihat cantik di tubuh manekin yang dipajang di etalase toko. Ibuku pun dengan senang hati membelikannya untukku.

Sebagai anak baru gede, aku suka sekali menjadi pusat perhatian. Untuk itu, aku berusaha tampil menarik, cantik secara fisik, dan berprestasi dalam hal akademik. Kalau soal prestasi, seringkali aku belajar hingga larut malam, sedangkan dalam hal penampilan, aku banyak bereksperimen dengan dandanan baru. Kadang kujepit atau kukuncir rambutku agar terkesan lebih fresh dan imut. Untuk acara-acara tertentu seperti parade drum band, tak jarang aku memakai bedak dan lipstik milik ibuku. Rok seragam drum band yang tadinya di bawah lutut, aku lipat di bagian pinggang hingga menjadi beberapa centi di atas lulut. Senang rasanya menjadi bintang cemerlang dan diperhatikan banyak orang. Namun, sejak kejadian di toko pakaian itu, aku mulai risih dengan yang namanya baju-baju ketat. Aku tidak suka dilecehkan gara-gara pakaian. Maka, mulailah kupilih baju-baju yang lebih longgar dan tidak terlalu membentuk lekuk tubuh.

Suatu hari ketika bulan Ramadhan, aku mendengar ceramah dari salah seorang guruku. Dia memaparkan kewajiban berjilbab bagi muslimah. Hatiku begitu tersentuh mendengarnya. Dari situ, terbersitlah keinginan untuk berjilbab. Saat itu aku duduk di kelas dua SMP. Rasanya tanggung kalau berjilbab sebelum tamat SMP. Kasihan orangtuaku jika harus membelikan seragam sekolah yang baru. Saat itu, kondisi ekonomi keluarga kami sedang tidak begitu baik. Mau tidak mau, kuntunda keinginan untuk berjilbab.

Ketika aku mengutarakan keinginan umtuk berjilbab jika masuk SMA, orangtuaku sama sekali tak menentang. Hari pertama menjadi murid SMA, aku nyaris kesiangan karena harus berjibaku dengan jilbab. Selembar kain kehormatan yang diperintahkan Allah untuk dipakai para muslimah ini membuat aku kerepotan mengenakannya. Ternyata, memakai jilbab itu rasanya gerah dan ribet. Aku menghabiskan waktu lama untuk memasang jilbab di kepala. Dengan terburu-buru, aku menaiki tangga sekolah, menuju ke kelas. Langkah ini rasanya tak selebar biasanya, rok panjang yang kukenakan terasa membatasi langkah kakiku. 

Tiba di kelas, hanya ada satu bangku kosong yang tersisa. Mega, seorang gadis hitam manis yang sudah kukenal sejak MOS (masa orientasi siswa), menawariku untuk duduk di sana. 

“Kirain siapa, pangling.” Ujar Mega. Aku hanya tersenyum simpul. 

Hari-hari selanjutnya aku mulai terbiasa dengan jilbab, tidak lagi merasa gerah dan lebih terampil mengenakannya. Rok panjang yang tadinya terasa menghambat langkah, kugunting beberapa senti ujungnya di kanan-kiri agar langkahku lebih leluasa. Tak lupa kupakai kaos kaki yang lebih panjang agar betisku tak nampak jika belahan rok terbuka.

Sebagai remaja, aku juga suka mengikuti tren yang sedang in, termasuk tren dalam berbusana dan berjilbab. Awal-awal berjilbab, ujung jilbab kubiarkan menjuntai apa adanya. Paling-paling hanya kusematkan bros untuk menyatukan kedua ujung jilbab di depan dada agar tidak terbuka. Ketika musim jilbab gaul, aku pun ikut-ikutan. Salah seorang teman membantuku untuk mengepang ujung-ujung jilbab yang kukenakan. Kepangannya ditempatkan di belakang, persis ekor kuda yang dipilin. 

Masa-masa berekspereimen dengan jilbab gaul terjadi hingga aku kelas dua SMA. Kelas tiga SMA aku kembali insyaf, tidak neko-neko dalam berjilbab. Mungkin karena pengaruh bimbingan kakak-kakak di organisasi ROHIS (kerohanian Islam). Pertemuan ROHIS khusus putri dilakukan seminggu sekali setiap hari Jum’at. Kakak-kakak kelasku yang aktif di ROHIS hampir semuanya berjilbab lebar. Mereka terkesan sangat lembut dan sabar. Bergaul dengan mereka membuat aku semakin relijius. Jika teman-teman lain pergi ke kantin saat jam istirhat tiba, aku dan teman-teman ROHISku lebih memilih pergi ke mushola untuk shalat dhuha. Aku merasa sangat beruntung berteman dengan orang-orang yang baik, sehingga masa remajaku tak sia-sia dengan kegiatan-kegitan yang tidak berguna.

Setelah memutuskan untuk berjilbab, sedapat mungkin aku tidak buka-tutup jilbab. Penutup kepala yang diwajibkan atas muslimah itu selalu kukenakan tiap kali aku keluar rumah, meskipun itu hanya untuk menjemur pakaian. Jilbab membuat aku merasa aman dan nyaman, bebas dari pandangan penuh nafsu dari para lelaki yang tipis iman. Jilbab juga menjadi penjagaku dari segala macam pengaruh negatif di sekitar. Jika terbersit niat untuk berbuat/berkata jahat, jilbab menjadi rem yang menghentikannya. Semoga makin banyak muslimah yang sadar untuk memakai jilbab dan istiqomah mengenakannya. (pm)


Rihanu Alifa - Purwakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar