Selembar Kain Kehormatan
Pernah mengalami pelecehan seksual gara-gara pakaian yang dikenakan? Aku
pernah mengalaminya belasan tahun lalu ketika aku masih SMP. Sore itu
aku dan bibiku berbelanja di salah satu pertokoan di kota kami,
Purwakarta. Bibiku sedang membayar belanjaan di kasir, aku berdiri di
belakangnya. Segerombol pria berjumlah sekitar lima orang berdiri tak
jauh dari kami.
“Harga
susu yang menonjol dan menyebabkan harga pisang naik,” begitu ucap
salah seorang pria dalam gerombolan. Otakku bekerja, mencerna perkataan
pria itu. Akhirnya, kusadari bahwa ucapan pria itu bertujuan untuk
menyindirku. Saat itu aku memakai T-shirt ketat warna kuning terang yang
otomatis menunjukkan dengan jelas lekuk tubuh. Meski sebal, aku tak
bisa berbuat apa-apa. Tak kutanggapi keisengan pria itu. Aku dan bibiku
berlalu meninggalkan toko.
Setelah
keluar dari toko, bibiku tak berkomentar tentang kejadian tadi. Mungkin
ia tidak merasa keponakannya telah dilecehkan secara lisan. Aku juga
tak membahasnya. Lagipula, memang salahku yang memakai baju ketat
sehingga mengundang keisengan lawan jenis. Aku memang senang sekali
memakai baju yang bagus dan menarik perhatian. Setiap beli baju, aku
pasti memilih baju yang terlihat cantik di tubuh manekin yang dipajang
di etalase toko. Ibuku pun dengan senang hati membelikannya untukku.
Sebagai
anak baru gede, aku suka sekali menjadi pusat perhatian. Untuk itu, aku
berusaha tampil menarik, cantik secara fisik, dan berprestasi dalam hal
akademik. Kalau soal prestasi, seringkali aku belajar hingga larut
malam, sedangkan dalam hal penampilan, aku banyak bereksperimen dengan
dandanan baru. Kadang kujepit atau kukuncir rambutku agar terkesan lebih
fresh dan imut. Untuk acara-acara tertentu seperti parade drum band,
tak jarang aku memakai bedak dan lipstik milik ibuku. Rok seragam drum
band yang tadinya di bawah lutut, aku lipat di bagian pinggang hingga
menjadi beberapa centi di atas lulut. Senang rasanya menjadi bintang
cemerlang dan diperhatikan banyak orang. Namun, sejak kejadian di toko
pakaian itu, aku mulai risih dengan yang namanya baju-baju ketat. Aku
tidak suka dilecehkan gara-gara pakaian. Maka, mulailah kupilih
baju-baju yang lebih longgar dan tidak terlalu membentuk lekuk tubuh.
Suatu
hari ketika bulan Ramadhan, aku mendengar ceramah dari salah seorang
guruku. Dia memaparkan kewajiban berjilbab bagi muslimah. Hatiku begitu
tersentuh mendengarnya. Dari situ, terbersitlah keinginan untuk
berjilbab. Saat itu aku duduk di kelas dua SMP. Rasanya tanggung kalau
berjilbab sebelum tamat SMP. Kasihan orangtuaku jika harus membelikan
seragam sekolah yang baru. Saat itu, kondisi ekonomi keluarga kami
sedang tidak begitu baik. Mau tidak mau, kuntunda keinginan untuk
berjilbab.
Ketika
aku mengutarakan keinginan umtuk berjilbab jika masuk SMA, orangtuaku
sama sekali tak menentang. Hari pertama menjadi murid SMA, aku nyaris
kesiangan karena harus berjibaku dengan jilbab. Selembar kain kehormatan
yang diperintahkan Allah untuk dipakai para muslimah ini membuat aku
kerepotan mengenakannya. Ternyata, memakai jilbab itu rasanya gerah dan
ribet. Aku menghabiskan waktu lama untuk memasang jilbab di kepala.
Dengan terburu-buru, aku menaiki tangga sekolah, menuju ke kelas.
Langkah ini rasanya tak selebar biasanya, rok panjang yang kukenakan
terasa membatasi langkah kakiku.
Tiba
di kelas, hanya ada satu bangku kosong yang tersisa. Mega, seorang
gadis hitam manis yang sudah kukenal sejak MOS (masa orientasi siswa),
menawariku untuk duduk di sana.
“Kirain siapa, pangling.” Ujar Mega. Aku hanya tersenyum simpul.
Hari-hari
selanjutnya aku mulai terbiasa dengan jilbab, tidak lagi merasa gerah
dan lebih terampil mengenakannya. Rok panjang yang tadinya terasa
menghambat langkah, kugunting beberapa senti ujungnya di kanan-kiri agar
langkahku lebih leluasa. Tak lupa kupakai kaos kaki yang lebih panjang
agar betisku tak nampak jika belahan rok terbuka.
Sebagai remaja, aku juga suka mengikuti tren yang sedang in, termasuk
tren dalam berbusana dan berjilbab. Awal-awal berjilbab, ujung jilbab
kubiarkan menjuntai apa adanya. Paling-paling hanya kusematkan bros
untuk menyatukan kedua ujung jilbab di depan dada agar tidak terbuka.
Ketika musim jilbab gaul, aku pun ikut-ikutan. Salah seorang teman
membantuku untuk mengepang ujung-ujung jilbab yang kukenakan.
Kepangannya ditempatkan di belakang, persis ekor kuda yang dipilin.
Masa-masa
berekspereimen dengan jilbab gaul terjadi hingga aku kelas dua SMA.
Kelas tiga SMA aku kembali insyaf, tidak neko-neko dalam berjilbab.
Mungkin karena pengaruh bimbingan kakak-kakak di organisasi ROHIS
(kerohanian Islam). Pertemuan ROHIS khusus putri dilakukan seminggu
sekali setiap hari Jum’at. Kakak-kakak kelasku yang aktif di ROHIS
hampir semuanya berjilbab lebar. Mereka terkesan sangat lembut dan
sabar. Bergaul dengan mereka membuat aku semakin relijius. Jika
teman-teman lain pergi ke kantin saat jam istirhat tiba, aku dan
teman-teman ROHISku lebih memilih pergi ke mushola untuk shalat dhuha.
Aku merasa sangat beruntung berteman dengan orang-orang yang baik,
sehingga masa remajaku tak sia-sia dengan kegiatan-kegitan yang tidak
berguna.
Setelah
memutuskan untuk berjilbab, sedapat mungkin aku tidak buka-tutup
jilbab. Penutup kepala yang diwajibkan atas muslimah itu selalu
kukenakan tiap kali aku keluar rumah, meskipun itu hanya untuk menjemur
pakaian. Jilbab membuat aku merasa aman dan nyaman, bebas dari pandangan
penuh nafsu dari para lelaki yang tipis iman. Jilbab juga menjadi
penjagaku dari segala macam pengaruh negatif di sekitar. Jika terbersit
niat untuk berbuat/berkata jahat, jilbab menjadi rem yang
menghentikannya. Semoga makin banyak muslimah yang sadar untuk memakai
jilbab dan istiqomah mengenakannya. (pm)
Rihanu Alifa - Purwakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar