Buya Hamka: Mereka Memusuhi Wahabi Demi Penguasa Pro Penjajah
Selasa 14 Jamadilawal 1434 / 26 Maret 2013 08:14
Oleh: Zulkarnain Khidir
Belakangan ketika isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan
Ummat Islam agar iklim pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya.
Nama Wahabi menjadi salah satu faham yang disorot dan kian menjadi
bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu dilakukan oleh
kalangan ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh Ummat Islam itu
sendiri.
Beberapa buku propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan
yang dituding Wahabi, di antaranya buku hitam berjudul “Sejarah Berdarah
Sekte Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.”
Bertubi-tubi, berbagai tudingan dialamatkan oleh alumnus dari
Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud yang berhaluan Wahabi,
yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para kiyai dari pelosok
pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi. Kasus terakhir
adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam tabligh akbar
FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan
tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?
Menarik memang menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan
karakter terhadap dakwah atau personal pengikut Wahabi ini bukan hal
baru, melainkan telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah diurai dengan
lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI yang paling karismatik,
yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disapa Buya HAMKA.
Siapa tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan independensinya
sebagai seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku “Dari Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang
beliau merinci berbagai fitnah terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya
telah berlangsung berkali-kali. Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa
kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada era Orde Lama, Wahabi
seringkali menjadi objek perjuangan yang ditikam fitnah dan diupayakan
penghapusan atas eksistensinya. Mari kita cermati apa yang pernah
diungkap Buya Hamka dalam buku tersebut:
“Seketika terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut
kembali yang baru lalu, untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang
mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang
Masyumi. Pihak komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut Wahabi
dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke Sumatera. Dan
orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah
dari keturunan kaum Wahabi.
Memang sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di
pusat tanah Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan
Turki yang sedang berkuasa, takut kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah,
permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya, karena
serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad. Dan Wahabi
pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke
suatu negeri, dia akan mengembangkan mata penduduknya menentang
penjajahan. Sebab faham Wahabi ialah meneguhkan kembali
ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa
kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat takut
melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud, yaitu
memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
Ajaran ini telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan
revolusi Prancis di Eropa. Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari
gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 di zaman
pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih terkenal dengan gelaran “Sunan
Bagus,” beberapa orang penganut faham Wahabi telah datang ke tanah Jawa
dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu masuk ke
Solo dan Yogya, tetapi mereka pun meneruskan juga penyiaran fahamnya di
Cirebon, Bantam dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik, sebab terang
anti penjajahan.
Sunan Bagus sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi.
Pemerintah Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan
kepadanya.Pemerintah Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya, jika faham Wahabi ini dikenal oleh rakyat.
Padahal ketika itu perjuangan memperkokoh penjajahan belum lagi
selesai. Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat
akibat-akibatnya bagi Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan
memberi advis kepada Sunan, supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan
saja kepada Belanda. Lantaran desakan itu, maka mereka pun
ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu
pun diusir kembali ke tanah Arab.
Tetapi di tahun 1801, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi
datang lagi. Sekarang bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia
sendiri, yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji
Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris
Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Mereka menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan
banyak beroleh murid dan pengikut. Diantara murid mereka ialah Tuanku
Nan Renceh Kamang. Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya gerakan mereka
itu meluas dan melebar, sehingga terbentuklah “Kaum Paderi”
yang terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Maka
terjadilah “Perang Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun
lamanya mereka melawan penjajahan Belanda.
Bilamana di dalam abad ke delapan belas dan Sembilan belas
gerakan Wahabi dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir
dari Jawa, kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad kedua puluh mereka muncul lagi!
Di Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda.” Di
Jawa datanglah K.H. A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H.A. Dahlan
mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat
baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika dia mulai datang, orang
Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Arrabithah Alawiyah dan Al-Irsyad.
Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari kalangan yang
kemudiannya membentuk Ar-Rabithah Adawiyah.
Musuhnya dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan
Turki. Kedua Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir.
Ulama-ulama pengambil muka mengarang buku-buku buat “mengafirkan”
Wahabi. Bahkan ada di kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku
mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham ini adalah
keturunan Musailamah Al Kazhab!
Pembangunan Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hambali, tetapi
faham itu juga dianut oleh pengikut Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi
Minangkabau. Dan juga penganut Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi di
India.
Sekarang “Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan
tertentu untuk menekan semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke
belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan
orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi
pelajaran wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir. Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya kelihatan bahwa
fahamnya dalam agama Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi.
Kaum komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan membangkit-bangkit nama Wahabi. Padahal
seketika terdengar kemenangan gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja
Wahabi Ibnu Saud, yang mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah.
Ummat Islam mengadakan Kongres Besar di Surabaya dan mengetok kawat
mengucapkan selamat atas kemenangan itu (1925). Sampai mengutus dua
orang pemimpin Islam dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S. Cokroaminoto dan
K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus Salim datang lagi ke Mekkah tahun 1927.
Karena tahun 1925 dan tahun 1926 itu belum lama, baru lima puluh
tahun lebih saja, maka masih banyak orang yang dapat mengenangkan
bagaimana pula hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari pemerintah
penjajahan, walau dari Ummat Islam sendiri yang ikut benci kepada
Wahabi, karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-ulama
pengikut Syarif.
Sekarang pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin
menyebut-nyebut “Wahabi” dan membusuk-busukkannya ini akan disimpan
dahulu untuk pemilihan umum yang akan datang. Dan mungkin juga
propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga gambar-gambar “Figur
Nasional,” sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan dari
dinding. Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan
faham Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain
diminta supaya dibubarkan saja.
Kepada orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka
Islam dari SUmmatera yang datang memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini
adalah penganut atau keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang
dari SUmmatera itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih! Sebab kepada
mereka diberikan kehormatan yang begitu besar!
Sungguh pun demikian, faham Wahabi bukanlah faham yang dipaksakan
oleh Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak. Dan masih banyak yang
tidak menganut faham ini dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan
Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah dan anti kepada
segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan dari mereka
bersama!”
Dari paparan tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik
akar terjadinya fitnah yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan
vonis “Faham Hitam” yang dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya adalah
modus lama namun didesain dengan gaya baru yang disesuaikan dengan
kepentingan dan arahan yang disetting oleh para Think Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”
Maka perhatikanlah apa yang pernah diutarakan oleh Buya HAMKA dalam pembahasan Islam dan Majapahit berikut ini:
“Memang, di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita
tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari
jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya,
untuk menguatkan kekuasaannya.”
“Tahukah tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul
Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka
Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat
mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya
tertipu, sebab yang diperanginya itu adalah kawan sefahamnya dalam
Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan
ikatan serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi
menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan,
bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke
Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya?”
“Maka dengan memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan
dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan
saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama,
dan itulah pangkal bala dan bencana!”
Kiranya, sepeninggal HAMKA, alangkah laiknya jika Ummat Islam masih
kenal dan bisa mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya HAMKA dalam
bukunya tersebut. Dengan demikian, niscaya Ummat Islam tidak perlu
sampai menjadi keledai yang terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh
musuh-musuh Islam dengan modus yang sama tetapi dalam nuansa yang
berbeda.
Wallahu A’lam
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar