Jumat, 10 Januari 2014

Muslim Taat, Diincar Aparat (dari majalah Hidayatullah)

Muslim Taat, Diincar Aparat

Hari itu mestinya Syamsul, 34 tahun, ikut pengajian pekanan. Tetapi ia justru menjadi was-was dan ragu, antara datang atau tidak. Jika datang, ia takut ditangkap kembali oleh aparat.

Sebelum kejadian salah tangkap oleh Brimob pada Desember 2012 lalu, warga Poso Pesisir Utara tersebut tidak pernah merasa takut jika ingin menghadiri pengajian. Namun, keadaan berubah setelah dirinya masuk daftar pencarian orang (DPO) oleh Polres Poso. Syamsul trauma. “Jangan-jangan saya akan dihantam lagi,” kata Syamsul kepada Suara Hidayatullah, akhir April lalu. Hingga kini, katanya, pengalaman itu masih menyisakan trauma. 

Kejadian yang menimpa Syamsul bermula dari peristiwa penembakan empat orang anggota Brimob di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Desember 2012. Ia termasuk satu dari belasan orang korban salah tangkap yang dilakukan oleh Densus 88. Ia dicokok oleh aparat di kediamannya usai shalat Zuhur di masjid dekat rumahnya.

Menurut Syamsul, saat itu ada anggota Brimob yang berteriak, “Siapa yang namanya Sam?” Ia langsung mengangkat telunjuk. Syamsul pun langsung diangkut ke atas truk menuju pasar. Ia disuruh menunjukkan teman-temannya yang juga ikut mengaji. Karena tidak ada, akhirnya Syamsul dibawa ke pos penjagaan di Desa Kalora.

Di situlah, aku Syamsul, ia diinterogasi soal kejadian penembakan, sambil dipukuli oleh beberapa aparat. Tak ayal, matanya bengkak akibat hantaman benda tumpul. “Pukulan itu kencang sekali, saya sampai sempoyongan,” ucapnya sambil mengingat kejadian tersebut. Beberapa saat kemudian Syamsul kembali naik truk menuju Kota Poso, siksaan masih berlanjut di atas truk. “Tengkuk dan tulang ekor saya dihajar lagi, sampai seperti mau buang air besar,” kenangnya pahit. 

Saat di kantor Mapolres, Syamsul juga mendapat perlakuan yang sangat merendahkan. “Saya ditelanjangi dan (maaf) memegang kemaluan saya,” ungkapnya pilu. “Ada juga di antara mereka yang memegang janggut saya, sambil berkata, ‘Apaan nih, pakai janggut segala?’”

Hal serupa juga dialami Syafrudin. Pria yang berprofesi sebagai guru di sebuah SMP negeri di Kalora ini juga menjadi korban salah tangkap anggota Brimob Poso. Sama halnya dengan Syamsul, bapak berusia 54 tahun ini juga dituding terlibat dalam penembakkan empat anggota Brimob di Kalora.

Syafrudin ditangkap di rumahnya saat tengah istirahat sepulang mengajar. Gedoran pintu yang mengagetkan itu ternyata dilakukan oleh anggota Brimob. “Ada apa ini?” tanya Syafrudin saat menemui tamu tak diundang itu. Tapi malang baginya, todongan senjata laras panjang menjadi jawaban atas sapaan Syafrudin. 

Segera ia dinaikkan ke atas truk, ternyata disitu sudah ada dua orang yang nasibnya sama. Syafrudin dibawa ke pos penjagaan polisi Kalora yang letaknya hanya sekitar 200 meter. Di pos yang hanya berukuran sekitar 3 x 4 meter itu, Syafrudin dihajar sampai tak sadarkan diri. “Ketika dibawa ke Polres Poso, saya sudah tidak ingat apa-apa. Ketika sadar, saya lihat muka sudah bengkak dan hitam-hitam,” ucapnya. 

Baik Syamsul dan Syafrudin saat itu matanya ditutup sampai tiga hari. Baru setelah hari ke-4 mata mereka dibuka. Hari ketujuh, Syamsul, Syafrudin, dan beberapa orang lainnya akhirnya dilepas.

Penangkapan yang dilakukan Brimob dan Densus 88 ini menyisakan trauma mendalam terhadap korban salah tangkap. Beberapa orang itu mengaku trauma jika melihat aparat. Mereka memilih menjauh kalau melihat polisi. “Saya trauma kalau lewat pos itu. Kalau mendengar suara sirine dari kendaraan muncul perasaan takut,” kata Syamsul. 

Menurut Syafrudin dan Syamsul, pihak Polres Poso mengaku tidak tahu menahu terhadap kekerasan yang dilakukan oleh anggota Brimob. Salah seorang polisi di Mapolres Poso mengatakan, pelaku pemukulan itu anggota Brimob dari Jakarta. “Mereka mengatakan resimen dari Kelapa Dua Jakarta, bukan dari Polres Poso,” ujar Syafrudin.

Perasaan takut ternyata tidak saja dialami oleh para korban salah tangkap, beberapa warga Poso lainnya pun merasakan hal yang sama. Bahkan sampai diikuti. Hal itu diakui, sebut saja A, ketika berangkat menuju Jakarta. Katanya, sekitar pertengahan tahun 2011, saat ia berada di Jakarta dan menginap di salah seorang kawannya. Lalu rumah kawannya itu sempat didatangi oleh orang tak dikenal. Saat dibukakan pintu, orang tak dikenal itu langsung bertanya, “Ada tamu dari Poso ya, jangan bohong kamu, koordinatnya ada di sini.”
Awal Istilah DPO di Poso

Tahun 2007 adalah awal umat Islam di Poso berurusan dengan satuan Brimob, Densus 88, dan jajaran Polres Poso. Hal itu bermula saat polisi melakukan razia sehari menjelang Idul Fitri 1427 H di daerah Tanah Runtuh, Gebangrejo, Poso Kota. Hal itu berujung bentrok warga dengan kepolisian. Bisa dikatakan ini merupakan peristiwa besar setelah konflik umat Islam dengan Kristen pada rentang tahun 1998-2005. 

Menurut Ustadz Adnan Arsal, Ketua Forum Solidaritas Perjuangan Ummat Islam (FSPUI), istilah DPO digunakan oleh Mabes Polri untuk umat Islam Poso yang pernah terlibat aktif dalam konflik berkepanjangan antara Islam dengan Kristen. “Itulah awal Densus 88 masuk dan masyarakat bergesekan dengan aparat,” ucap Adnan Arsal, kepada Suara Hidayatullah di Palu, Sulteng, April lalu.

Agenda Mabes Polri ini, ujar Adnan, tidak akan berhenti untuk memunculkan DPO baru. “Jika DPO sudah habis, bukan tidak mungkin saya juga bakal ditangkap atau bahkan ditembak, itu sudah risiko,” katanya.

Umat Islam menjadi geram soal DPO ini. Bahkan kian bertambah ketika seorang warga dituduh DPO. Saat itu Adnan menyerahkan langsung seorang yang dituding DPO secara baik-baik, asal Polisi juga memperlakukannya dengan baik dan tidak disiksa. Kapolda Sulteng menyetujuinya. Namun, kata Adnan, janji itu ternyata diingkari, setelah warga yang dituding DPO itu diserahkan ternyata dibawa ke Jakarta oleh Densus 88 yang datang dari Jakarta. “Saat itu umat Islam di Poso demo besar-besaran, menduduki kantor DPRD, Kejaksaan, dan Kehakiman selama satu bulan,” katanya.

Sejak itulah, umat Islam di Poso merasa tersudut. Padahal, Adnan sudah memerintahkan kepada umat Islam di sana agar jangan melawan aparat. 

Namun, kata Adnan, lama-lama umat Islam di Poso merasa terzalimi, mereka terpaksa melakukan perlawanan sporadis. Sebab, aparat main tangkap saja tanpa menjelaskan permasalahannya. “Kita sadar mustahil melawan aparat, tapi cara penegakan hukum mereka itu salah, tidak begitu,” ucapnya.

Bukan hanya Islam saja yang menolak kehadiran Densus 88 di Poso. Umat Kristen pun juga merasa resah dengan adanya aparat yang selalu mengaitkan Poso sebagai lumbung teroris. Tokoh Kristen Katolik di Poso mengatakan, perbuatan aparat yang main tembak dan asal tangkap juga membuat warga Kristen di Kota Poso enggan untuk tinggal di sana.

“Banyak warga Kristen yang sudah balik ke Kota Poso sekarang mengungsi lagi ke Tentena,” kata Pendeta Rinaldy Damanik, mantan Ketua Gereja Kristen Sulawesi Tengah kepada Suara Hidayatullah.

Bahkan, kata Rinaldy, sejak kejadian di Tanah Runtuh, warga Kristen di Poso sudah menyatakan ketidaksetujuan terhadap ulah Densus 88 yang bersikap brutal terhadap kaum Muslim di Poso. “Sejak 2007, kami sudah protes,” katanya. Persoalan Densus 88 ini, tambah Rinaldy, tak hanya persoalan Muslim saja, tetapi juga permasalahan bangsa.*

Tangkap Dulu, Suratnya Belakangan

SOP Densus 88 dipertanyakan. Selain kerap salah tangkap, juga menangkap tanpa surat. Operasi Sandi Aman Maleo 2 di Pegunungan Biru dan Hutan Tamanjeka Poso, Sulawesi Tengah telah berakhir Maret lalu. Operasi itu dilakukan oleh pasukan gabungan TNI dan Polri dari satuan Brigade Mobil (Brimob) sejak Januari 2013. Tepatnya pasca pembunuhan dua polisi serta penembakan empat anggota Brimob hingga tewas oleh orang tidak dikenal di Kabupaten Poso Pesisir Utara. 

Kendati operasi tersebut telah usai, tetapi jajaran Polres Poso sampai kini masih terus melakukan pencarian terhadap daftar pencarian orang (DPO).

“Kita masih meningkatkan operasi intelejen dengan aparat di jajaran pemimpin intel di Poso ditambah dengan aparat dari Polda Sulteng dan Brimob,” kata Kapolres Poso, AKBP Susnadi kepada Suara Hidayatullah di ruang kerjanya, Mapolres Poso Kota, akhir April lalu.

Sejak dua bulan menjelang pergantian tahun 2012, Poso memang kembali mencekam, setidaknya ada beberapa penangkapan terduga teroris yang dilakukan Brimob dan Densus 88. Salah satunya adalah penembakan Ahmad Halid, November 2012 lalu yang dilakukan oleh Densus. Kejadian ini sempat memicu kemarahan warga. Halid, PNS Polisi Hutan di Dinas Kehutanan Kabupaten Poso ditembak usai melaksanakan shalat Subuh berjamaah di Masjid Al- Muhajirin, Jalan Pulau Irian Jaya II, Kayamanya, Kota Poso.

Halid dituding sebagai pembuat peta bagi DPO yang bersembunyi di Gunung Biru dan Hutan Tamanjeka. Ia akhirnya ditembak mati di depan SDN 27 Poso, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Kakak Halid, Muhammad Nur mengatakan, Halid ditembak sekitar pukul 06.00 WIT, saat beberapa murid SDN 27 sudah datang. 

Ditodong Senjata

Sebelumnya, rumah Nur dan Halid didatangi oleh anggota Densus. Ibunda Halid, Suryaningsih, terkejut ketika pintu samping rumahnya didobrak paksa oleh anggota Densus.
Bahkan, kata Suryaningsih, salah seorang dari mereka memang sudah berniat ingin menghabisi nyawa anaknya. Salah satu anggota Densus ketika merangsek ke dalam rumah Suryaningsih, yang juga tempat tinggal Halid mengutarakan maksud ingin membunuh anaknya itu. “Kalau kita dapat Halid, kita tembak saja ya, Bu,” aku Suryaningsih menirukan ancaman anggota Densus, sambil dirinya ditodong senjata laras panjang.

Setelah ditodong senjata, sekitar 10 orang anggota Densus menggeledah rumah Suryaningsih. Saat Densus mendatangi rumah Halid, warga setempat marah, mereka tidak terima jika tindakan pasukan elit Polri berlambang burung hantu itu mengacak-acak daerah mereka.

Menurut Nur, selang beberapa jam, ratusan orang datang ke lokasi. Mereka melempari Densus dan anggota Brimob dengan batu. Warga mendesak agar jenazah Halid dikembalikkan ke keluarga, jangan diotopsi di Jakarta. “Kita mendatangi kantor Polres Poso, ibu-ibu pengajian juga banyak yang demo,” ucap Nur.

Saat penangkapan Halid, baik pihak Polres Poso dan Densus 88 tidak memanggil Halid terlebih dahulu. Parahnya lagi, surat penangkapan diberikan Densus setelah jenazah Halid dikubur.

Di hari yang sama, tetangga Halid, Ustadz Yasin juga menjadi target Densus 88 dengan tudingan DPO. Bedanya, Ustadz Yasin tidak ditembak mati, tetapi ia ditangkap hidup-hidup.

Istri Yasin, Ummu Aisyah menceritakan, waktu itu sang suami yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang kue dan menjual laptop bekas itu ditangkap usai shalat Subuh di Masjid Muhajirin.

Sebelumnya, ia melihat puluhan anggota Densus mengelilingi rumahnya. Baru saja suaminya merebahkan tubuhnya, tiba-tiba pintu rumahnya di dobrak. Lalu masuk anggota Densus menodongkan senjata. “Anak saya sampai menangis dan ketakutan, mereka memborgol dan menutup mata suami saya di depan anak-anak,” ucap ibu dari tujuh anak ini kepada Suara Hidayatullah.

Saat anggota Densus masuk ke rumah, Ummu Aisyah spontan menanyakan surat perintah penangkapan, tapi salah seorang anggota Densus mengaku tidak membawa. “Pokoknya suami Ibu bersalah, kita hanya melaksanakan tugas saja,” kata salah seorang anggota Densus, seperti dituturkan Ummu Aisyah.

Ketika Yasin hendak dibawa keluar oleh Densus, sambung Ummu Aisyah, salah seorang anak lakinya-lakinya yang masih kecil berteriak, “Jangan ambil bapak saya!”

Sama dengan Halid, lagi-lagi polisi memberikan surat penangkapan setelah 14 hari Yasin dibui. “Dua minggu baru dikasih surat penangkapannya,” katanya.

Kasus salah tangkap terhadap warga Muslim di Poso sudah beberapa kali terjadi, namun tidak sedikit juga aparat yang langsung menembak ditempat.

Menurut Kapolres Poso Susnadi, prosedur penangkapan yang dilakukan aparat sudah benar dan tidak melanggar undang-undang. “Polisi tidak asal, khususnya soal terorisme, undang-undangnya beda dengan yang lain, lebih spesifik,” kata Susnadi kepada Suara Hidayatullah.
Lebih lanjut Susnadi mengatakan, untuk menangkap DPO di Poso tidak selalu membutuhkan bukti yang cukup. Info dari intelejen atau masyarakat sudah cukup menjadi bukti. “Informasi saja bisa digunakan sebagai barang bukti. Tapi, polisi kan tidak ceroboh,“ ucapnya.

Pria yang baru menjabat Kapolres Poso Maret lalu ini mengatakan, aparat di Poso akan menangkap orang atau kelompok yang melawan ideologi Pancasila. Bukan hanya Islam, tambah Susnadi, tetapi agama lain juga bisa diperkarakan jika diduga ingin merongrong NKRI. “Tidak hanya Islam, pokoknya mereka yang radikal dan memiliki senjata,” ujarnya.

Sementara itu, menanggapi tudingan yang dialamatkan ke lembaganya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Polisi Boy Rafli Amar, mengatakan, Mabes Polri tidak khawatir atas desakan masyarakat agar kinerja Densus 88 dievaluasi. Terutama terkait dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, termasuk mengenai cara penggerebekan dan perlakuan terhadap pelaku teror.

Dikatakan Boy, segala masukan agar kinerja Densus 88 dievaluasi merupakan bentuk perhatian masyarakat agar polisi bisa bekerja lebih profesional, termasuk melalui detasemen tersebut.

“Intinya apa yang disampaikan semua dilandaskan keinginan agar Polri bisa lebih profesional dan ini akan saya sampaikan kepada pimpinan kami,” katanya dalam diskusi publik bertema Memberantas Terorisme Tanpa Teror dan Melanggar HAM di kantor PP Muhamadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, awal April lalu.

Namun, pada waktu terpisah, saat dikonfirmasi mengenai system operational and procedure (SOP) oleh Densus 88 dalam operasi penanganan terduga teroris atau DPO di Poso, Boy Rafli tidak menjawab. Telepon genggamnya berkali-kali dihubungi tidak diangkat, pesan singkat yang dikirim Suara Hidayatullah juga tidak dibalas.*

Suara-suara Miring Densus 88

Komnas HAM menuding Densus 88 kerap melakukan pelanggaran HAM. IPW minta Densus 88 dibubarkan.

Pertengahan Maret lalu di depan wartawan, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan pernyataan mengenai hasil penyelidikan video kekerasan dalam penanganan terorisme di Poso, Sulawesi Tengah.

Pernyataan tersebut dibuat setelah sebelumnya, 7-11 Maret, Komnas HAM melakukan investigasi langsung ke Poso, Sulawesi Tengah.

Menurut Siane Indriani, Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, telah ditemukan pelanggaran HAM serius yang diduga dilakukan oleh Densus 88 terhadap kaum Muslim di Tanah Runtuh 22 Januari 2007. Hal ini terungkap setelah melakukan wawancara dengan korban dan saksi yang masih hidup.

Masih dalam pers rilis yang dibuat Komnas HAM, disebutkan, peristiwa penembakan Densus 88 terhadap terduga atau tersangka tindak pidana terorisme di Tanah Runtuh diduga ada pelanggaran hak untuk hidup.

Ketika dihubungi melalui ponselnya, sampai berita ini dibuat, Siane mengatakan bahwa hingga kini Komnas HAM masih menyusun laporan. Pada 13 Mei lalu, Komnas HAM masih membawa masalah ini ke sidang paripurna.

“Masih akan ada rapat lagi, Komnas HAM belum bisa mempublikasikan ke media,” ucap Siane singkat.

Pelanggaran HAM Serius

Selain Komnas HAM, anggota DPR RI Komisi III rencananya bertolak ke Poso. Tetapi, mereka tidak jadi ke Poso hanya sampai di Palu, Sulawesi Tengah.

Rombongan Komisi III dipimpin oleh Muzzammil Yusuf. Politisi PKS tersebut mengatakan, tokoh masyarakat dan anggota DPRD di Palu menilai wilayah Kabupaten Poso sengaja dicitrakan sebagai pusat terorisme dan dijadikan pusat instabilitas permanen oleh pihak asing.

Wakil Ketua Komisi III ini mengaku sudah mendengar penjelasan dari Kapolda Sulawesi Tengah, tokoh agama, dan Panja DPRD Poso yang telah bekerja sejak Januari 2013. 

“Jika mendesak, dimungkinkan juga akan dibentuk Panitia Kerja (Panja) DPR RI untuk menyelidiki dan evaluasi pelanggaran HAM di Poso,” katanya kepada Suara Hidayatullah melalui sambungan telepon awal Mei lalu.

Dari Panja DPRD Poso, kata Muzzamzil, ia telah mendapatkan informasi, teror di Poso sewaktu-waktu bisa membesar lantaran dipicu penanganan terorisme yang dilakukan Densus 88 dipandang berlebihan dan demonstratif. 

“Masyarakat Poso mendukung pemberantasan terorisme, tapi mereka minta agar stempel Poso sebagai wilayah instabilitas permanen dan episentrum teror dihapus dari wacana publik,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam pers rilisnya awal Maret lalu menyebutkan, laporan tersebut merupakan bukti kekerasan yang dilakukan Densus 88 mulai bermunculan dan hal ini sebagai bentuk pelanggaran HAM serius.
“Sebenarnya sudah banyak keluhan publik terhadap sikap dan prilaku Densus 88. Antara lain anggota Densus yang cenderung menjadi algojo ketimbang sebagai aparat penegak hukum yang melumpuhkan tersangka, untuk kemudian di bawa ke pengadilan,” katanya. 

Muzzammil mengatakan, pemerintah dan legislatif harus segera membuat sistem kontrol yang ketat terhadap kinerja Densus 88. Selama ini, katanya, praktis tidak ada kontrol terhadap kinerja pasukan elit Polri itu.

Menilai banyaknya keluhan terhadap sikap dan perilaku Densus, maka IPW memandang sudah saatnya Densus 88 dibubarkan. Jika suatu saat ada isu teror, sambung Neta, cukup Brimob yang turun tangan.

Kata Neta, IPW memiliki data yaitu sejak tahun 2000 sudah 850 orang yang diduga teroris ditangkap Densus. Dari jumlah itu, 85 orang tewas ditembak di TKP. Sedangkan tahun 2011 merupakan penangkapan terbanyak, yakni 93 orang yang diduga teroris ditangkap hidup-hidup, 8 di antaranya ditembak di TKP.

Ketua MUI Sulawesi Tengah, Habib Ali Bin Muhammad Aljufri mengatakan, Densus dan aparat yang bertindak main hakim sendiri harus segera ditarik dari Poso. 

“Yang menyebabkan keamanan terganggu harus ditarik, kita bermusuhan dengan kekerasan, siapapun orangnya,” kata Habib Ali Bin Muhammad Aljufri kepada Suara Hidayatullah akhir April lalu di kediamannya, Palu, Sulawesi Tengah.

Pria yang juga Ketua Umum PB Al-Khairaat ini menambahkan, kasus ini bukan hanya masalah Islam saja melainkan persoalan masyarakat Indonesia. “Ini masalah kompleks, kita bersatu untuk menyelesaikan masalah ini,” pungkasnya.*

Samsu Rizal Panggabean, M. Sc.

(Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Dosen Fisipol UGM)

“Silakan di Pra-peradilankan”

Bagaimana peta konflik di Poso pasca kerusuhan tahun 2006?

Kalau konflik Muslim dan Kristen di Poso bisa dianggap selesai. Mereka sudah kembali ke masyarakat, menjadi warga biasa dan bekerja. Ada memang sebagian kecil yang masih memiliki dendam dan permusuhan, terutama dengan polisi. Ini yang kita lihat sekarang. 

Beberapa waktu lalu sempat mencuat video penyiksaan Densus 88 terhadap Muslim Poso. Menurut Anda?

Sebagian video itu sebenarnya berasal dari serangan ke Tanah Runtuh Januari 2007. Sebagian lagi video lama. 
 
Itu panjang ceritanya. Ada proses negosiasi. Ada yang menyerah dan ada yang bertahan dan melawan. Ketika serangan terjadi, itu akhir dari proses negosiasi. Terjadi kontak, lalu belasan ikhwan meninggal. Aparat juga ada yang mati. Foto-foto dan video itu berasal dari kejadian itu.

Bagaimana bisa terjadi salah tangkap terhadap umat Islam yang diduga sebagai teroris?

Salah tangkap itu memang satu hal yang keliru. Semestinya polisi tidak boleh lagi salah tangkap, karena mereka sudah punya data tentang siapa ikhwan yang sudah kembali ke masyarakat, dan siapa yang masih seperti dulu: menggunakan kekerasan. Itu semestinya aparat sudah tahu. Jangan ada lagi salah tangkap, apalagi disertai pemukulan. Ini kritik kita kepada Densus 88.

Saya kenal secara pribadi dengan beberapa orang yang salah tangkap itu. Ada di antara mereka yang sebenarnya tinggal di tempat yang cukup jauh dari lokasi kejadian. Mereka sudah kembali ke masyarakat.

Nah, kejadian salah tangkap ini saya duga karena anggota Densus yang bertugas menyisir dan menangkap tidak punya informasi lengkap tentang siapa yang harus ditangkap. Bisa jadi mereka adalah anggota baru di Densus.

Bukankah mereka menerapkan sistem komando dan informasi tidak mungkin terputus?

Iya memang ini agak mengherankan. Meski sistem komandonya jalan, tapi di dalam dunia intelijen kadang-kadang pengetahuan yang dimiliki oleh petugas yang baru belum tentu sama dengan yang dimiliki oleh petugas sebelumnya. Belum tentu mereka memiliki informasi yang setara. 

Umat Islam di Poso saat ini takut menjadi korban salah tangkap. Tanggapan Anda?

Itu yang harus dihindari oleh Densus dan polisi. Mereka tidak boleh salah tangkap, karena konsekuensinya bisa dipra-peradilankan dan tuntutan lainnya, termasuk tuntutan yang paling keras: meminta Densus dibubarkan.

Selama ini saya tidak mendengar ada proses yang mempraperadilankan Densus. Sebenarnya itu bisa dilakukan, apalagi jika terbukti salah tangkap. Jangan karena dia Densus lalu bisa melakukan tindakan-tindakan yang melanggar undang-undang, hak-hak tersangka, dan prosedur pemeriksaan yang sudah berlaku.

Apa solusi untuk penyelesaian konflik aparat dengan umat Islam di Poso?

Pertama, operasi Densus memang harus lebih terarah, misalnya ke unsur-unsur yang masih menggunakan kekerasan bersenjata terhadap polisi, dan juga yang masih melakukan teror. Jadi sederhananya, kekuatan dilawan dengan kekuatan. 

Kedua, ada ketidakpercayaan di kalangan tokoh-tokoh Muslim terhadap polisi, khususnya Densus 88. Mereka dianggap tidak selektif, memojokkan umat Islam, dan lain-lain. Itu sejarahnya lama, sejak zaman konflik dulu. Jadi yang harus dilakukan adalah rekonsiliasi antara tokoh-tokoh Muslim dengan polisi. Kedua belah pihak harus saling bertemu untuk meng-clear-kan permasalahan yang terjadi, sehingga timbul saling mempercayai.* SUARA HIDAYATULLAH, JUNI 2013

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar