Rabu, 08 Juni 2011

Sampai Kapan Kita Hanya Jadi Konsumen????


Apa yang anda bayangkan ketika melihat suatu iklan? Iklan apa saja? Dari barang tetek bengek sampai barang gembul besar? Sampai mobil wah dan rumah yang harganya hanya 2M dan besok harganya naik pula? Apakah anda segera tergiur untuk membeli dan lalu menghitung-hitung sekian DP lalu sekian cicilan yang harus dibayar tiap bulan sampai sekian lama? Apakah anda pernah terpikir (sebelum hanyut dengan mimpi kepingin sangat membeli itu) untuk mengingat-ingat apakah barang yang ditawarkan itu benar-benar perlu atau tidak? Atau anda tidak terlalu pusing dengan kegunaan atau manfaatnya tapi tetap ngotot saja mau membeli karena saking kagumnya dengan rayuan gombal sang iklan?

Jawabannya pastilah akan sangat beragam.

Aku hanya ingin sekedar terheran-heran dengan semangat atau lebih tepatnya nafsu konsumptif 'kita' bangsa Indonesia ini. Apa saja yang tidak dijual orang di sini. Rumah mewah, apartemen kondo, mobil seharga 3M, barang elektronik keluaran terakhir dari ukuran sebesar entah-entah apa sampai sekecil entah-entah apa. Dan semua laku. Semua dibeli orang. Semua dibeli orang baik tunai maupun mencicil.

Kan itu berarti orang-orang pada berduit. Orang-orang pada kaya. Selama dia mampu membeli dengan uangnya sendiri apa urusan kita? Begitu komentar seorang teman. Kalau itu sih, benar. Tidak ada urusan kita selama mereka, orang-orang berduit itu berbelanja dengan uang mereka. Dengan hasil keringat mereka sendiri. Iya kan?

Tidak. Kataku pelan-pelan dalam hati. Takut terdengar oleh teman yang memang agak pemburansang itu. Tidak, sekali lagi tidak. Bukan itu maksudnya. Cobalah tengok sebuah 'mode'. Sekarang ini 'mode' mempunyai BB. Sangat banyak manfaat dari memiliki BB. Banyak sekali. Dia lebih dari sekedar teka-teki 'dibuka selebar alam, ditutup selebar kuku'. Kata seorang professor, dunia tergenggam di tangan awak, kalau awak memiliki BB. Mau apa saja. Mau mencari informasi apa saja. Mau mengirim berita, foto, makalah, apa saja, kemana saja. Semua terletak di ujung jari. Cukuplah pencet-pencet apa yang mau dikirim, yang mau dicari, yang mau dibaca, yang mau didengar, yang mau ditonton. Semua ada.

Berapa harga sebuah BB? Ah tidak mahal-mahal sangat. Terjangkau. Hanya sekitar 4 juta saja. Masak mau sempilit dengan uang 4 juta untuk manfaat sebegitu besar?

Di sinilah kita mulai coba berhitung kanti!. Jangan kau katakan uang 4 juta itu hanya sekian jam bekerja sudah dapat kau hasilkan. Tahukah kau berapa arti 4 juta itu sebenarnya? Di negeri kita yang kita cintai ini? Kalau kau mau memakai takaran minyak bumi, karena minyak bumi ini masih tersedia di perut bumi negeri ini, maka uang itu lebih kurang setara dengan 4 barrel minyak mentah. Lho? Berapa itu? Satu barrel itu setara dengan 159 liter minyak. Berapa orang pemakai BB di Indonesia Raya ini sekarang? 5 juta? (Aku mana pula tahu). Seandainya sekian, maka ketahuilah wahai kanti, kita terpaksa menyerahkan 4 x 5 juta barrel minyak mentah kita ke Kanada sana. Untuk BB yang akan dipakai setahun dua tahun. Karena sebentar lagi akan keluar lagi BB jenis lain yang lebih canggih. Kalau harganya mau dihitung dengan hasil beras atau padi (karena memang padi ini yang di antara lain bangsa kita mampu menanamnya), seandainya harga beras kita anggap 8000 rupiah sekilo, maka untuk sebuah BB perlu kita jual 500 kilo beras. Jadi berapa kilo beras untuk 5 juta buah BB? 2500 juta kilo. Hitunglah sendiri! Berapa besar sawah diperlukan untuk menghasilkan beras sebanyak itu.

Lha! Orang memang kita perlu. Memang ada manfaatnya. Situ aja yang sirik......

Bukan kawan. Bukan sirik. Lihatlah betapa kita ini tidak belajar dari pengalaman. Dari dulu sampai sekarang hanya bisa jadi konsumen. Jadi pembeli. Jadi penikmat. Kita tidak pernah berpikir untuk menutupi keperluan kita sendiri. Memproduksi sendiri barang keperluan kita, kalaulah tidak mungkin untuk menjualnya ke negeri orang. Dari dulu sampai sekarang. Dulu 40 tahun yang lalu kita sama-sama tarafnya dengan Korea. Sama-sama negara berkembang. Kini? Mereka sudah menjadi negara maju, kita masih negara kembang-kempis. Kita harus mendongak menengadah melihat kemandirian mereka. Contoh di atas baru sekedar BB. Padahal di segala aspek kita seperti itu. Ada betulpun iklan yang berbunyi, 'cintailah produk-produk Eindonesia'. Kita tahu produk itu masih bermerek asing. Berlogo dan berlambang asing. Kita bahkan tidak tergugah ketika sebuah iklan berbunyi bahwa, dia (maskapai besar itu) 'inspire the next'. Kita masih berpikir, 'will buy the next when it comes'.

Jadi sampai kapan? Kita hanya akan jadi konsumen? Membeli sebuah produk orang dengan berjuta-juta kilo beras? Yang padahal bangsa kita kelaparan? Atau berjuta-juta barrel minyak? Yang padahal untuk dipakai sendiri saja sudah tidak mencukupi? Atau berton-ton kayu? Sementara hutan kita sudah semakin gundul......

Ah...... Sebegitu sajalah.....

***** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar