Abdur Raheem Green, Karena Saya Tak Percaya Tuhan Bisa Mati
Anthony
Vatswaf Galvin Green mengubah namanya menjadi Abdur Raheem Green
setelah memeluk Islam. Sejak kecil, lelaki kelahiran Dar As-Salam,
Tanzania ini, sering mempertanyakan konsep ajaran Katolik yang
menurutnya banyak yang tak masuk akal, hingga ia menemukan cahaya Islam.
Ibu Green yang asli Polandia dan
penganut Katolik Roma yang taat, membesarkan Green dan anak-anaknya
yang lain dengan didikan ala Katolik. Green bahkan sempat disekolahkan
di sebuah keuskupan Katolik Roma di Yorkshire di utara Inggris.
Hal pertama yang mengusik
pikirannya tentang ajaran Katolik adalah ketika ia mendengar ibunya
berdoa dan menyebut “Bunda Maria, ibu dari Tuhan Yesus”. Green merasa
aneh dengan doa itu, bagaimana bisa Tuhan punya ibu? Karena Yesus yang
ia kenal selama dalam konsep ajaran Katolik adalah Tuhan, bukan nabi
seperti dalam ajaran Islam.
“Saya duduk dan memikirkan
tentang ibu dari tuhan itu. Jika Bunda Maria adalah ibu dari tuhan
(Yesus), ia pastilah lebih juga tuhan yang lebih baik dari tuhan itu
sendiri. Itulah pertanyaan pertama yang muncul di kepala saya,” tutur
Green mengenang pengalaman masa kecilnya.
Saat masuk sekolah di keuskupan,
Green mulai lebih banyak memikirkan banyak hal, mempelajarinya dan
melakukan riset terhadap ajaran Katolik yang dianutnya. Salah satunya
tentang “kewajiban” pengakuan dosa yang ditetapkan oleh para pendeta di
keuskupannya. Green masih ingat, seluruh siswa diwajibkan paling tidak
sekali setahun untuk melakukan pengakuan dosa.
“Para pendeta selalu mengatakan,
‘kalian harus mengakui semua dosa kalian, jika tidak mengakui semua
dosa, pengakuan di akhir nanti tak ada gunanya dan tak satu pun dosa
kalian yang akan diampuni’,” ujar Green menirukan ucapan para pendeta di
sekolahnya dulu.
Buat Green, doktrin pengakuan
dosa adalah doktrin aneh dan tidak lebih dari konspirasi besar untuk
mengendalikan orang lain. “Mengapa? Mengapa saya harus mengakui
dosa-dosa saya pada para pendeta itu? Tidak bisakah saya meminta pada
Tuhan saja untuk mengampuni saya? Apalagi menurut Alkitab Yesus berkata,
berdoalah pada Bapak (Tuhan Yesus) untuk meminta ampunan atas dosa-dosa
kita. Jika demikian, mengapa saya harus datang pada seorang pendeta
untuk meminta pengampunan dosa?” papar Green.
Green merasa ada persoalan besar dalam doktrin Katolik, doktrin inkarnasi dimana tuhan bisa menjelma menjadi manusia.
Mencari Jawaban
Ketika usia 11 tahun, ayah Green
mendapat pekerjaan sebagai Manajer Umum di Bank Barclays di Kairo.
Sejak itu, sampai 10 tahun kemudian, Mesir menjadi tempat Green
menghabiskan liburan sekolah, karena Green tetap bersekolah di Inggris.
Green selalu menikmati
liburannya di Mesir, dan ketika ia kembali ke Inggris, banyak pertanyaan
yang menghantui pikirannya. Doktrin ehidupan Barat yang ia kenal selama
ini, selalu mengukur kebahagiaan hidup dengan kecukupan dan terpenuhi
kebutuhan materi. Membandingkannya dengan kehidupan masyarakat Muslim di
Mesir, Green jadi bertanya-tanya, mengapa ia harus tinggal di sini
(Inggris)? Apa tujuan hidupnya? Untuk alasan apa manusia ada? Apa arti
semua ini? apa artinya cinta? hidup itu untuk apa?
Green merenungi semua pertanyaan
dalam benaknya. Bukan, hidupnya bukan hanya untuk sekolah, lulus ujian
dengan nilai bagus, lalu kuliah, dapat gelar sarjana, kemudian dapat
pekerjaan yang bisa memberikannya banyak uang. Lalu menikah, punya anak,
mengirim mereka ke sekolah terbaik, dan seterusnya …
“Tidak, saya tidak percaya hidup hanya untuk melakukan itu semua,” tukas Green.
Green termotivasi untuk mencari
jawaban sesungguhnya. Ia pun mulai mencari tahu tentang ajaran agama
lain, yang ia pikir bisa memberikan pandangan dan pemahaman padanya
tentang apa hidup itu dan apa tujuan hidup sebenarnya.
Sebuah peristiwa penting pun
terjadi. Selama 10 tahun bolak-balik berlibur di Mesir, Green hanya
mengenal satu orang yang mau ngobrol dengannya secara terbuka tentang
Islam. Suatu hari Green terlibat perbincangan dengan orang itu, dan ia
seperti merasa tinju seorang Mike Tyson mendarat di mukanya.
Dalam perbicangan selama 40
menit, orang itu akhirnya bertanya pada Green, “Kamu percaya Yesus itu
Tuhan?” Green menjawab, “Ya.” Lalu orang itu bertanya lagi, “Dan kamu
percaya Yesus mati di salib?”.
Green menjawab, “Ya.”
“Jadi kamu percaya Tuhan itu mati,” tanya orang itu lagi.
Pertanyaan itu seakan menampar
muka Green, dan ia tiba-tiba menyadari bahwa fakta itu sangat bodoh dan
tidak masuk akal, bagaimana Tuhan bisa mati, mana mungkin manusia bisa
membunuh Tuhan. Mendadak Green tersadar bahwa selama ini ajaran Katolik
telah mengindoktrinasinya dengan doktrin-doktrin yang membuat hidupnya
tak nyaman.
Dalam usia muda, antara 19-20
tahun, Green menjalani kehidupannya sebagai hippis. “Saya berkata pada
diri sendiri, lupakan soal agama, soal spiritualitas, lupakan semuanya.
Mungkin hidup itu tidak ada maknanya, tak ada yang lebih penting dalam
hidup kecuali menjadi orang kaya,” ujar Green.
Persoalannya kala itu, Green
tidak punya uang banyak. Ia lalu berpikir untuk mendapatkan uang banyak.
Ia berpikir tentang negara-negara yang dianggapnya kaya dan mudah untuk
mendapatkan uang, mulai dari Inggris, Amerika yang menjadi negeri
impian, Jepang si negara kaya dari hasil kemajuan teknologinya, sampai
Arab Saudi yang juga salah satu negara kaya.
Di titik Arab Saudi, Green mulai
berpikir tentang apa agama yang dianut orang Arab, apa kita suci
mereka? Green langsung mengingat Al-Quran dan ia pun pergi ke sebuah
toko buku untuk membeli Al-Quran yang dilengkap dengan terjemahannya.
“Saya adalah seorang yang bisa
membaca dengan cepat. Saya masih ingat dengan jelas, saat itu saya naik
kereta, duduk dekat jendela dan membaca terjemahan Al-Quran. Saya
memandang ke luar jendela sejenak, lalu membaca lagi. Saya bisa
mengatakan inilah momen ketika saya menyadari dan memercayai bahwa Quran
berasal dari Allah Swt,” tutur Green.
Tak sekedar membaca, Green ingin
mencoba apa yang diajarkan dalam Al-Quran. Pulang ke rumah, Green
mencoba menunaikan salat meski ia tak tahu caranya. Ia cuma ingat pernah
melihat juru masak keluarganya di Mesir menunaikan salat, dan Green
mencoba meniru gerakan salat yang pernah dilihatnya itu.
Menjadi Seorang Muslim
Di hari selanjutnya, Green pergi
ke sebuah toko buku yang merupakan bagian dari sebuah bangunan masjid.
Ia melihat buku-buku tentang Nabi Muhammad dan buku tentang salat.
Ketika melihat buku-buku itu Green berdecak kagum, “Wow, fantastis !”
Seorang lelaki lalu menyapanya, “Maaf, apakah Anda muslim?”
Green lalu menjawab, “Dengar, saya percaya hanya ada satu Tuhan dialah Allah Swt dan saya percaya Muhammad adalah utusan-Nya,”
“Kamu seorang Muslim !” pekik orang tadi
“Terima kasih,” jawab Green.
Orang itu lalu berkata lagi, “Ini hampir masuk waktu salat, Kamu mau salat bersama-sama?”
Hari itu hari Jumat, karenanya
masjid penuh dengan jamaah yang akan salat Jumat. Green ikut salat meski
masih bingung dan gerakannya banyak yang salah. Tapi hari itu menjadi
hari bersejarah bagi Green, hanya dalam waktu lima menit, ia mendapatkan
banyak saudara baru, yang bersedia mengajarinya tentang Islam. Ya, hari
itu juga, Green secara resmi mengucapkan dua kalimat syahadat yang
menandai kemuslimannya.
Source: EraMuslim