Sekilas Tentang Pemimpin
Alhamdulillah, saya tidak pernah menjadi pemimpin yang
berat-berat. Tidak pernah jadi lurah. Tidak pernah jadi camat, apa lagi yang
lebih tinggi dari itu. Saya hanya pernah jadi Ketua RT, dan setelah tugas itu
selesai, alhamdulillah, saya benar-benar lega. Betapa beratnya resiko dan
tanggung jawab jadi pemimpin, seandainya kita mengerti. Nanti di akhirat, kita
akan ditanya atas kepemimpinan kita. Apakah kita memimpin dengan adil pada
jalan yang diridhai Allah, ataukah kita berlaku sewenang-wenang. Apakah pangkat
kepemimpinan itu kita jolok-jolok agar diberikan orang kepada kita, atau karena
masyarakat menginginkan kita untuk menjadi pemimpin mereka. Tanggung jawabnya
sangat berat. Kelak di hadapan Allah setiap detil yang berhubungan dengan
kepemimpinan itu akan ditanya. Pantaslah Umar bin Khaththab mengatakan ketika dia diangkat jadi pemimpin,
seandainya seekor keledai tersandung di jalan di Baghdad karena kelalaian yang
mengurus negeri, maka dia pun akan diminta tanggung jawab pula sebagai pemimpin
umat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan agar orang
(para sahabat dan umat beliau) jangan meminta-minta jabatan, karena jabatan itu
besar tanggung jawabnya. Tapi seandainya diberi amanah untuk memimpin, maka
lakukanlah dengan amanah dan hati-hati. Beliau berwasiat agar umat beliau mengangkat
pemimpin. Bahkan seandainya dua orang melakukan perjalanan, hendaklah salah satu
menjadi pemimpin dalam perjalanan itu. Hendaklah dijadikan pemimpin orang yang
berilmu untuk memimpin.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk
pengganti untuk memimpin umat. Ketika beliau wafat di hari Senin, jenazah
beliau belum dimakamkan (baru dimakamkan dua hari kemudian di hari Rabu), karena
para sahabat sedang menyelesaikan tugas mencari pemimpin pengganti beliau. Panjang
pembahasan dan banyak pertimbangan untuk mencari pemimpin pengganti. Dalam sebuah musyawarah
yang tidak mudah, karena ada berbagai harapan dan kepentingan yang bertabrakan
antara kaum Anshar (penduduk asli Madinah) dan kaum Muhajirin. Adalah dengan
rahmat Allah semata bahwa musyawarah itu akhirnya menjadikan Abu Bakar sebagai
khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Abu Bakar telah
membuktikan bahwa pilihan para sahabat itu tidak salah. Beliau mengemban tugas
kekhalifahan setelah terlebih dahulu berpesan, agar beliau ditegur jika saja beliau keluar dari tuntunan al Quran dan
sunnah Rasulullah.
Ketika Abu Bakar sakit menjelang wafat, beliau menunjuk Umar
untuk menjadi khalifah penerus, pengganti beliau. Setelah Abu Bakar meninggal,
orang pun membai’at Umar untuk menjadi khalifah. Umar memproklamirkan dirinya
sebagai Amirul Mukminin, sebagai pemimpin orang-orang yang beriman. Umar
menunjukkan keteladan yang luar biasa sebagai pemimpin. Beliau sangat sederhana
untuk diri dan keluarganya. Banyak sekali kisah tentang kesederhanaan Umar. Umar
lah yang memikul sendiri sekarung gandum untuk sebuah keluarga yang didapatinya
sedang merebus batu, untuk mengecoh perhatian anak-anaknya yang kelaparan. Umar
lah yang bergantian naik keledai dengan pengawalnya ketika pergi menerima
penyerahan kunci kota Al Quds. Dan Umar pula lah yang didapati Hamuzham (panglima
perang Kerajaan Parsi yang ingin menghadap Amiril Mukminin di istananya, dalam
bayangan Hamuzham, setelah dia menyerah) sedang tidur beristirahat di serambi
mesjid dalam kesederhanaannya.
Umar ditikam Abu Lu’lu’ di suatu subuh. Dia masih bertahan
beberapa hari sebelum meninggal. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Umar
meminta umat memilih penggantinya di antara enam orang sahabat. Termasuk di
dalam keenam calon usulan Umar itu adalah Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Ketika beberapa sahabat mengingatkan agar Abdullah bin Umar yang lebih
dikenal sebagai Ibnu Umar (yang penampilan dan perilakunya sangat meniru
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), ditambahkan sebagai calon, Umar
menolaknya. Cukuplah aku saja di antara keluargaku yang pernah mengemban tugas
yang sangat berat ini, begitu kata beliau.
Hasil pemilihan ke enam kandidat pengganti Umar akhirnya
mengerucut kepada Utsman dan Ali, karena calon lainnya dengan sukarela mengundurkan
diri. Sejarah menunjukkan bahwa Utsman lah yang menjadi khalifah ketiga.
Utsman juga terbunuh di akhir kekhalifahannya. Beliau tidak
menunjuk pengganti. Sebahagian sahabat ketika itu membai’at Ali, mungkin
sebagai calon kuat pengganti Umar sebelumnya. Tapi ada golongan yang tidak suka
dengan kepemimpinan Ali. Golongan yang tidak suka ini dipimpin oleh Mu’awiyah,
yang ketika itu jadi ‘gubernur’ di Syam. Mu’awiyah beralasan agar pembunuh
Utsman serta golongan yang menggerakkan pembunuhan itu diadili terlebih dahulu.
Padahal Ali telah memaafkan mereka.
Maka jadi catatan sejarah pula bahwa ketidak-senangan Mu’awiyah
terhadap Ali berkelanjutan dalam sebuah peperangan yang panjang. Peperangan
sesama umat Islam. Sesuatu yang sebenarnya sudah dibayangkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam akan terjadi.
Ali pun terbunuh pula. Sebenarnya pada subuh yang sama, Mu’awiyah
juga jadi target pembunuhan, sesuai dengan rencana mereka yang sudah benci
melihat perseteruan beliau berdua. Mu’awiyah selamat karena di subuh yang
direncanakan itu dia berhalangan untuk pergi ke mesjid. Maka Mu’awiyah
memproklamirkan dirinya sebagai Amiril Mukminin yang baru sepeninggal Ali bin
Abi Thalib. Dia dibai’at oleh orang-orang dekatnya saja di Syam.
Sebelum akhir hayatnya, Mu’awiyah menunjuk puteranya Yazid
sebagai pengganti. Begitulah awal dari dinasti Umayah yang memerintah selama berabad-abad. Dinasti, yang diperintah
oleh raja yang menurunkan kekuasan kepada anaknya sebagai pengganti.
Sultan Muhammad Al Fatih, penakluk Konstatinopel di tahun
1492, adalah seorang panglima perang dan raja yang sangat salih. Beliau
digantikan oleh putera dan anak cucunya, sampai berakhirnya kesultanan Ottoman
di tahun 1924. Banyak di antara sultan-sultan di kerajaan Ottoman itu bukanlah
pemimpin-pemimpin yang meniru jejak Muhammad Al Fatih dalam kesalihan, meski
mereka dianggap kebanyakan orang sebagai penerus kekhalifahan dalam Islam.
*****