Hutang Dan Gadai
Ada pertanyaan tentang hukum menggadaikan
sawah yang terjadi di Minangkabau. Ada yang menganggap bahwa tatacara gadai
sawah yang berlaku di sana itu sebagi praktek riba. Benarkah demikian?
Gadai sejatinya adalah
meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai jaminan kepada yang
meminjamkan. Praktek gadai ini sudah ada sejak lama. Bahkan menurut riwayat,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menggadaikan baju perang beliau.
Islam mengajarkan tatacara
bermuamalah yang melibatkan hutang piutang dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat
282. Intinya, dalam pelaksanaan hutang piutang tersebut hendaklah dituliskan
persyaratan dan ketentuannya yang kemudian disaksikan oleh dua orang saksi
laki-laki. Artinya perjanjian hutang piutang itu ditulis dengan jelas sedemikian
rupa agar masing-masing si pemberi pinjaman dan si peminjam tidak dirugikan di
kemudian hari di saat hutang itu dikembalikan. Perjanjian yang ditulis itu
haruslah halal dan adil. Tidak boleh disyaratkan bahwa si peminjam harus
membayar hutangnya dengan tambahan atau bunga, karena yang seperti itu riba
namanya. Sebaliknya tidak boleh pula si peminjam membayar hutangnya dengan
nilai yang kurang dari yang dipinjamnya.
Contoh yang terakhir ini sangat mungkin terjadi ketika yang dipinjam
uang kertas yang nilainya dipengaruhi inflasi. Si A meminjam uang kepada si B
sebanyak satu juta rupiah, yang ketika dia menyerahkan uang tersebut nilainya
seharga seekor kambing. Si A membayar hutangnya tiga tahun kemudian tetap satu
juta rupiah yang nilainya setara dengan setengah ekor kambing.
Gadai artinya meminjam (uang)
dengan memberikan barang sebagai jaminan. Jumlah yang dipinjam biasanya kurang
dari harga barang jaminan. Dalam melakukan penggadaian ini tetap perlu
dituliskan aturan yang tidak berpotensi merugikan kedua belah pihak. Di
Minangkabau, yang menggadaikan sawah biasanya menerima pinjaman gadai dalam
satuan rupiah emas. Karena nilai rupiah emas itu bebas dari pengaruh inflasi.
Kalau dia menebus sawahnya suatu saat nanti dia harus mengembalikan sebanyak
rupiah emas yang dipinjamnya di awal perjanjian gadai.
Lalu bagaimana pengaturan
untuk barang jaminan? Inipun harus dijelaskan secara adil. Pada waktu si A
menggadaikan sawahnya kepada si B, lalu si B ‘memegang’ (dalam Bahasa Minang
disebut ‘mamagang’) bolehkah dia mengambil hasil sawah tersebut? Ini yang
sementara orang menganggap sebagai praktek riba, karena seolah-olah, si B
memakan bunga dari uang yang dipinjamkannya.
Kalau yang digadaikan itu
barang misalnya baju, si pemilik uang akan memegang baju itu tapi mungkin tidak
menggunakannya. Si peminjam uang sementara dia masih berhutang juga tidak bisa
memakai baju yang digadaikannya itu. Tapi kalau sawah? Apakah selama sawah itu
tergadai maka sawah itu tidak boleh diusahakan? Kalau tetap diusahakan oleh si
peminjam, berarti yang meminjamkan uang (yang memagang) tidak mendapat jaminan
apa-apa dari uang yang dipinjamkannya.
Seandainya dibandingkan dengan
barang, yang hanya disimpan saja sebagai jaminan, tentunya sawah yang tergadai
juga dibiarkan saja tapi di bawah pengawasan yang punya uang. Dan ini tentu
mubazir karena kalau diusahakan sawah itu bisa memberikan hasil. Sedangkan
biasanya hutang gadai ini berlangsung dalam waktu lama. Mungkin jalan tengahnya
(tapi sepertinya belum ada yang mempraktekkan) berbagi hasil selama sawah itu
tergadai, antara yang punya sawah dengan yang memagangnya. Dengan demikian
sawah itu tidak tersia-sia. Seolah-olah selama masa gadai sawah itu jadi milik
berdua. Kalau yang punya sawah sudah sanggup membayar pinjaman gadainya, maka
sawah itu kembali jadi miliknya seutuhnya.
Ada pula yang menganjurkan dan
bahkan mempraktekkan, setelah sekian puluh tahun sawah itu tergadai, dan selama
itu hasilnya diambil seutuhnya oleh yang memagang, maka setelah sekian tahun
itu tadi si pemagang diminta mengikhlaskan saja uangnya dan mengembalikan sawah
itu kembali kepada pemiliknya. Cara seperti ini belum tentu juga benar. Kecuali
kalau sejak awal disetujui bahwa hutang gadai itu dicicil membayarnya dengan
hasil sawah.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar