Datangnya Zaman Yang Didominasi Penjahat Dan Tersingkirkannya Orang Shalih
(Dari Hidayatullah.com)
oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
Dari Ibnu Umar rhadiallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Ketahuilah, di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah orang-orang
jahat dan kejam diangkat menjadi pemimpin, sedangkan orang-orang
pilihan dihinakan."
Dalam perintah shalat berjama’ah, banyak ibrah dan pelajaran tentang
kepemimpinan yang bisa diambil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar
seorang imam itu dipilih yang paling baik bacaannya, paling paham
terhadap sunnah nabi, paling dahulu masuk Islam dan paling tua usianya.
Jika itu merupakan standar dalam imamatus shughra (kepemimpinan kecil), lalu bagaimana dengan imamatul udzma (kepemiminan besar)?
Lihatlah bagaimana seorang imam itu harus yang paling baik akhlak dan
ilmunya, paling tua (dewasa secara psikologis dan spiritualnya) dan
paling dahulu dalam kebajikan. Dalam shalat Imam harus merapikan barisan
jamaahnya, yang berarti seorang pemimpin harus punya kemampuan untuk
menata masyarakatnya. Imam harus ditaati makmum, dimana makmum tidak
boleh menyamai apalagi mendahului imam. Meski demikian imam juga harus tahu diri, tidak boleh lama berdiri dalam shalatnya hingga memberatkan makmum yang mengikutinya. Jika imam salah maka makmum harus menegurnya, tentu saja dengan cara
yang sopan, bukan dengan kalimat kasar. Hal lain yang juga sangat
penting diperhatikan oleh imam adalah bahwa orang-orang di shaf pertama,
yaitu jamaah yang ada di belakangnya adalah mereka yang punya kapasitas
mirip dengan imam. Dimana bila suatu saat imam udzur atau batal, merekalah yang paling pantas menggantikannya.
Dalam kontek kepemimpinan masyarakat, maka seorang pemimpin harus
memilih orang-orang terdekat yang punya kapasitas layak; ilmu, akhlak,
usia dan kontribusi perjuangan yang jelas. Demikianlah gambaran
sederhana tentang kepemimpinan dalam Islam yang bisa diambil dari konsep
shalat berjamaah.
Berubahnya pola kepemimpinan di akhir zaman
Sekian tahun lamanya para sahabat dibina oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang kepemimpinan yang salah satunya dengan pembinaan shalat
berjamaah. Sehingga jadilah mereka para pemimpin handal yang bisa
memakmurkan dunia.
Di era khilafah rasyidah, langit dan bumi mengalirkan
keberkahan yang tiada henti, keadilan dan kesejahteraan bisa dirasakan
banyak rakyat. Semua bersumber dari keberadaan orang-orang shalih yang
memimpin umat.
Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
mengingatkan kepada umatnya akan datangnya suatu masa dimana semua
sumber keberkahan dan kebahagiaan hidup itu akan berakhir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan
datangnya suatu zaman yang umat manusia justru menyingkirkan
manusia-manusia shalih dan memilih para penjahat dan perusak agama
sebagai pemimpin mereka. Siapapun tahu bahwa para pemangku kekuasaan itu lebih didominasi oleh
orang-orang yang gila jabatan dan kedudukan, pemburu popularitas dan
kekuasaan. Kita tidak melihat tanda-tanda keshalihan yang nyata, baik
individual apalagi sosial. Jikapun terlihat, maka fenomena yang
sesungguhnya adalah upaya pencitraan yang penuh dengan manipulasi dan
rekayasa. Tentu saja kita tidak mengabaikan adanya segelintir dari
mereka yang boleh jadi hatinya masih ‘bersih’, ikhlas bekerja dan punya
niat untuk memperbaiki umat.
Namun, lihatlah fakta yang terjadi; jumlah orang-orang ‘baik’ itu
tidak sebanding dengan para penguasa yang rusak moral dan iradahnya. Ketika ada di antara mereka hendak menegakkan keadilan dan perbaikan
moral, maka para penjegalnya adalah kelompok mayoritas yang tidak rela
kesenangan mereka dirampas. Karena negeri ini menggunakan sistem
demokrasi yang berpihak kepada suara terbanyak, maka suara kebenaran itu
terdengar lirih bahkan nyaris tak berdampak.
Lihatlah upaya penegakkan undang-undang anti minuman keras (Miras),
anti prostitusi dan anti pornografi, para penguasa yang amoral selalu
menjadi batu penghalang yang mementahkan keinginan orang-orang ‘baik’
itu. Jikapun akhirnya undang-undang itu disetujui, maka para penguasa
bejat itu akan menggunakan kekuatan tangan besinya untuk bermain licik
melalui jaringannya. Hingga akhirnya undang-undang itu hanya menjadi
macan kertas yang tidak berdampak untuk perbaikan masyarakat.
Melihat fenomena pemilu dan pilpres di negeri ini, nampaknya fenomena
semakin menguatkan kebenaran nubuwat di atas. Lihatlah orang-orang yang
terpilih sebagai anggota legislatif maupun eksekutif. Mereka didominasi oleh para kapitalis berkantong tebal yang membeli
kekuasaan untuk kemudian mereka jadikan sebagai tambang emas untuk
mengeruk kekayaan. Tak heran jika pasca terpilihnya bukan kemudian
berbenah memperbaiki kehidupan rakyat, namun segera menjalankan mesin
kekuasaannya untuk mendulang rupiah untuk menebus mahalnya harga
demokrasi yang terlanjur dibelinya dengan cara hutang. Dr. Ahmad Al-Mubayyadh menjelaskan bahwa fenomena terpilihnya para
penjahat dan tersingkirnya orang-orang shalih menggambarkan bahwa
kondisi masyarakat saat itu memang sudah rusak dan parah.
Kerusakan masyarakat sacara moral dan spiritual membuat mereka juga
menolak jika orang-orang baik memimpin mereka, sebab masyarakat yang
telah rusak juga sangat keberatan jika berbagai kesenangan dan syahwat
yang selama ini telah menjadi kebiasaan mereka tiba-tiba dihapuskan.
Lalu, apa yang dapat kita perbuat?
Berat sekali fitnah yang harus dihadapi oleh kaum muslimin di akhir
zaman, terutama bila sudah berhadapan dengan kekuasaan yang berada di
tangan orang-orang zalim. Fenomena rakyat dan pemimpin yang zalim adalah
lingkaran setan yang terus berputar tanpa diketahui jalan untuk
memutusnya. Semua saling ketergantungan. Mungkin tidak banyak yang dapat
kita lakukan, namun mudah-mudahan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bisa diperhatikan oleh setiap Muslim: ”Benar-benar akan datang kepada kalian suatu zaman yang para
penguasanya menjadikan orang-orang jahat sebagai orang-orang kepercayaan
mereka dan mereka menunda-nunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya.
Barangsiapa mendapati masa mereka, janganlah sekali-kali ia menjadi
seorang penasehat, polisi, penarik pajak, atau bendahara bagi mereka.”
Ya, menghindar sekuat mungkin untuk tidak berdekat-dekatan dengan mereka adalah solusi yang harus ditempuh oleh setiap Muslim. Setidaknya, cara itu sedikit meringankan fitnah yang menimpanya.
Wallahu a’lam bish shawab.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar